A.
KASUMEDANGAN
Kasumedangan
merupakan muatan local yang kini tengah dipakai untuk terwujudnya Sumedang
sebagai puseur budaya sunda dan pembentukan generasi muda berkarakter budaya
lokal.
Pokok-pokok pembahasan
diantaranya :
Asal mula nama Sumedang
Sumedang berasal dari kata
“INSUN MEDAL” yang berarti Aku Lahir dan “INSUN MADANGAN” yaitu Aku Menerangi .
Di ikrarkan oleh Prabu Tajimalela ketika melihat malela (selendang) menyerupai
taji di angkasa.
Batas-batas Sumedang :
1. Dari
Barat yaitu sampai tangerang tepatnya di sungai Cisadane
2. Dari
Timur yaitu sampai brebes tepatnya di sungai atau kali Cipamali.
3. Dari Utara
yaitu Laut Jawa.
4. Dari
selatan yaitu Samudra Hindia.
Tonggak sejarah bagi
kerajaan Sumedang Larang, sebagai kerajaan sunda terbesar, setelah kerajaan
Padjadjaran runtuh akibat serangan gabungan banten dan Cirebon, maka kerajaan
Sumedang Larang mencakup wilayah bekas kerajaan Padjadjaran. Tonggak
sejarah itulah menjadi dasar : Hari Jadi Sumedang.
Pada waktu itu di Kerajaan
Sumedang Larang akan diadakan pengangkatan seorang raja, yang bernama Raden
Wijaya, di Padjadjaran sedang ditempa kekacauan karena mendapat serangan yang
mendadak dari Kerajaan Banten. Serangan tersebut bertujuan untuk menghancurkan
kekuasaan agama hindu dan digantikan oleh Dinul Islam. Pada penyerangan dari
Banten dipimpin oleh Syeh Maulana Yusuf.
Ketika mendapat serangan
dari Banten yang mendadak itu Padjadjaran tibak bisa berbuat banyak, kecuali
menerima kekalahan. Kerajaan Padjadjaran porak-poranda masyarakat banyak
mengungsi sehingga rajanya pun (Prabu Siliwangi) berangkat meninggalkan
kerajaan. Hanya sebelum berangkat beliau memanggil dulu empat patih kepercayaan
Kerajaan (Kandaga Lante) , yang masing-masing ialah :
1.
Sanghiyang Hawu (Embah Jaya Perkasa)
2.
Bantara Dipatiwijaya (Embah Nanganan)
3.
Sanghiyang Kondang Hapa
4. Batara
Pancer Buana (Eyang Terong Peot)
Panggilan Sang Prabu
Siliwangi berisikan yang berupa amanat yaitu :
a. Memberikan
Mahkota Kerajaan Padjadjaran yang berupa :
-Mahkota Kerajaan yang dibuat dari emas
-Siger tampekan kilat bahu
-Kalung bersusun dua dan bersusun tiga
Semuanya dibuat dari emas
dan sekarang masih ada di Museum Sumedang.
b. Memohon
perlindungan untuk dirinya dan seluruh rakyatnya yang masih berada di wilayah
Padjadjaran. Menurut bahasa Prabu Siliwangi ialah Geusan Ulun yang berarti
Geusan Kumaula (Tempat Kumaula).
Setelah menerima amanat
tersebut maka Kandaga Lante yang empat orang tadi sepakat bahwa yang pantas
menjalankan amanat tersebut tiada lain adalah Raden Angkawijaya. Ini
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diantaranya :
1.
Karena Raden Angkawijaya
adalah asli keturunan Prabu Siliwangi .
2.
Sangat pantas sekali (payus
tur pantes) wilayah kekuasaan Padjadjaran dijadikan Kekuasaan Sumedang Larang.
B.
SEJARAH SUMEDANG
Ibukotanya
adalah kecamatan Sumedang Utara, Sumedang, sekitar 45 km Timur
Laut Kota
Bandung. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten
Indramayu di Utara, Kabupaten
Majalengka di Timur, Kabupaten Garut di
Selatan, Kabupaten
Bandung di Barat Daya, serta Kabupaten Subang di
Barat.
Kabupaten
Sumedang terdiri atas 26 kecamatan,
yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan.
Sumedang, ibukota kabupaten ini, terletak sekitar 45 km dari Kota Bandung.
Kota ini meliputi kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Sumedang dilintasi jalur
utama Bandung - Cirebon.
Bagian
Barat Daya wilayah Kabupaten Sumedang merupakan kawasan perkembangan Kota Bandung. IPDN (Institut
Pemerintahan Dalam Negeri), sebelumnya bernama STPDN (Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri), serta Universitas Padjadjaran berlokasi di
Kecamatan Jatinangor.
Sebagian
besar wilayah Sumedang adalah pegunungan, kecuali di sebagian kecil wilayah
Utara berupa dataran rendah. Gunung Tampomas (1.684
m), berada di Utara Sumedang.
Pada
mulanya Kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Raja Galuh.
Didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas
perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pakuan Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan
zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang
pertama, yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya
luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke-12.
Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana yang
berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Sumedang Larang (Sumedang berasal
dari kata Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan; aku menerangi
dan larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya).
Sumedang
Larang mengalami masa kejayaan pada waktu dipimpin oleh Pangeran Angkawijaya
atau Prabu Geusan Ulun sekitar tahun 1578, dan dikenal luas hingga
ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Selatan sampai
dengan Samudera
Hindia, wilayah Utara sampai Laut Jawa, wilayah
Barat sampai dengan Cisadane,
dan wilayah Timur sampai dengan Kali Pamali.
Kerajaan
ini kemudian menjadi vazal Kesultanan
Cirebon, dan selanjutnya berada di bawah
kendali Kesultanan
Mataram, di masa Sultan Agung. Pada masa Mataram
inilah teknik persawahan diperkenalkan di tanah Pasundan dan menjadi awal
istilah "gudang beras" untuk daerah antara Indramayu hingga
Karawang/Bekasi. Dalam strategi penyerangan Sultan Agung ke Batavia wilayah
Sumedang dijadikan wilayah penyedia logistik pangan. Selain itu, aksara Hanacaraka juga
diperkenalkan di wilayah Pasundan pada masa ini, dan dikenal sebagai Cacarakan.
Pusat kota Sumedang juga dirancang pada masa ini, mengikuti pola dasar
kota-kota Mataraman lainnya. Sebelum Bandung dibangun pada abad ke-19, Sumedang
adalah salah satu pusat budaya Pasundan yang penting.
Ketika Pakubuwono-I harus
memberikan konsesi kepada VOC,
wilayah kekuasaan Sumedang diberikan kepada VOC, yang kemudian dipecah-pecah,
sehingga wilayah Sumedang menjadi seperti yang sekarang ini.
Sumedang
mempunyai ciri khas sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa, yaitu terdapat
Alun-alun sebagai pusat yang dikelilingi Mesjid Agung, rumah penjara, dan
kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun terdapat bangunan yang bernama Lingga,
tugu peringatan yang dibangun pada tahun 1922. Dibuat oleh Pangeran Siching
dari Negeri Belanda dan
dipersembahkan untuk Pangeran Aria Soeriaatmadja atas jasa-jasanya dalam
mengembangkan Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada tanggal 22 Juli 1922 oleh Gubernur
Jenderal Mr. Dr. Dirk
Fock Sampai saat ini Lingga dijadikan
lambang daerah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati sebagai hari
jadi Kabupaten Sumedang. Lambang Kabupaten Sumedang, Lingga, diciptakan oleh R.
Maharmartanagara, putra seorang Bupati Bandung Rd. Adipati Aria Martanegara,
keturunan Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi lambang Sumedang pada
tanggal 13 Mei 1959.
Hal-hal yang terkandung
pada logo Lingga:
1.
Perisai : Melambangkan
jiwa ksatria utama, percaya kepada diri sendiri
2.
Sisi Merah :
Melambangkan semangat keberanian
3.
Dasar Hijau :
Melambangkan kesuburan pertanian
4.
Bentuk Setengah Bola dan
Bentuk Setengah Kubus Pada Lingga : Melambangkan bahwa manusia tidak
ada yang sempurna
5.
Sinar Matahari :
Melambangkan semangat dalam mencapai kemajuan
6.
Warna Kuning Emas :
Melambangkan keluhuran budi dan kebesaran jiwa
7.
Sinar yang ke 17
Angka : Melambangkan Angka Sakti tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia
8.
Delapan Bentuk Pada Lingga :
Lambang Bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
9.
19 Buah Batu Pada Lingga, 4
Buah Kaki Tembik dan 5 Buah Anak Tangga : Lambang Tahun Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945
10.
Tulisan Insun Medal :
Tulisan Insun Medal erat kaitannya dengan kata Sumedang yang mengandung
arti:
·
Berdasarkan Prabu Tajimalela, seorang tokoh
legendaris dalam sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun :
Aku,Medal : Keluar).
·
Berdasarkan data di Museum Prabu Geusan
Ulun; Insun berarti (Insun: Daya, Madangan: Terang) Kedua
pengertian ini bersifat mistik.
·
Berdasarkan keterangan Prof. Anwas
Adiwilaga, Insun Medal berasal dari kata Su dan Medang
(Su: bagus
dan Medang: sejenis kayu yang bagus pada Jati, yaitu huru yang
banyak tumbuh di Sumedang dulu), dan pengertian ini bersifat etimologi.
Menurut
Bujangga Manik, di dekat Gunung Tampomas terdapat Kerajaan Kahiyangan, yang
diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan Surawisesa.
Belum
jelas, adakah hubungan antara Medang Kahiyangan dan Sumedang Larang. Namun pada
saat Bujangga Manik memasuki Medang Kahiyangan, menurut versi lainnya, saat itu
sudah terdapat kerajaan yang disebut Sumedang Larang.
Dalam
Kropak 410 disbutkab, Pendiri Kerajaan Sumedang Larang tak lain adalah Prabu
Resi Tajimalela. Ia berkedudukan di Tembong Agung yang disebut Mandala Himbar
Buana.
Masih
belum jelas pula asal-usulnya tokoh Legendaris leluhur Sumedang ini. Sebab,
Tajimalela adalah nama lain dari Panji Romahyang, putra Damung Tabela Panji
Ronajaya dari Dayeuh Singapura (Rintisan Penelusuran silam sejarah Jawa Barat).
Sumber
lain menjelaskan, baik Kitab Waruga Jagat, Layang Darmaraja, maupun riwayat
yang berdasarkan tradisi lisan yang masih hidup, disebutkan bahwa Prabu
Tajimalela adalah putra Prabu Guru Aji Putih, salah seorang keturunan raja
Galuh yang masih bersaudara dengan Sri Baduga Maharaja. Ia melakukan
petualangan hingga ke kawasan Timur sekitar pinggiran Sungai Cimanuk.
Prabu
Tajimalela masih memiliki sejumlah nama, antara lain: Prabu Resi Agung
Cakrabuana, Batara Tuntang Buana, dan Aji Putih. Dalam Waruga Jagat yang telah
disalin dari huruf Arab ke dalam tulisan latin (1117 H), antara lain
dikatakan: "Ari putrana Sang Dewa Guru Haji Putih, nyaeta Sang Aji
Putih."
Kehadiran
Prabu Guru Haji Putih melahirkan perubahan-perubahan baru dalam kemasyarakatan,
yang telah dirintis sejak abad ke-8 oleh Sanghyang Resi Agung. Secara perlahan
dusun-dusun di sekitar pinggiran sungai Cimanuk itu diikat oleh suatu struktur
pemerintahan dan kemasyarakatan hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung yang
merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung
tersebut, menurut riwayat teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung,
Kecamatan Darmaraja.
Prabu
Guru Haji Putih berputra Prabu Resi Tajimalela. Berdasarkan perbandingan
generasi dalam Kropak 410 Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340-1350)
penguasa di Kawali dan tokoh Suryadewata, ayahanda Batara Gunung Bitung di
Majalengka.
Memang
belum diperoleh keterangan sumber yang menyebut-nyebut siapa gerangan istri
Sang Prabu Resi Tajimalela. Namun demikian, dalam beberapa sumber baik lisan
maupun tertulis, dikatakan Prabu Resi Tajimalela mempunyai dua orang putra:
Prabu Gajah Agung dan Lembu Agung.
Tahta
kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh putranya
bernama Atmabrata yang lebih dikenal dengan sebutan Gajah Agung yang
berkedudukan di Cicanting.
Kisah
awal raja ini memang mirip dengan kisah awal Kerajaan Mataram. Menurut versi
Babat Tanah Jawi, antara Ki Ageng Sela dengan Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Sela
memetik dan menyimpan buah kelapa muda, lalu ia pergi. Datang Ki Ageng
Pamanahan yang kemudian meminumnya. Maka kemudian yang menjadi raja Ki Ageng
Pamanahan.
Demikian
pula dalam naskah Layang Darmaraja, yang mengisahkan Prabu Lembu Agung dan Gajah
Agung yang melanjutkan tahta kepemimpinan dari Prabu Resi Tajimalela.
Dikisahkan,
pada suatu ketika Prabu Tajimalela memanggil kedua putra kembarnya Lembu Agung
dan Gajah Agung. Prabu Tajimalela berkata kepada mereka agar ada di antara
salah seorang putranya ini yang bersedia melanjutkan kepemimpinannya.
"Adinda,
adindalah kiranya yang lebih tepat menjadi raja," ujar Lembu Agung kepada
adiknya. "Kakanda, sungguh tidak pantas adinda yang masih muda usia, bila
harus menjadi raja. Kakandalah yang lebih tepat," jawab
Gajah Agung. Setelah di antara kedua putranya, masing-masing saling menunjuk
siapa di antara mereka yang pantas menjadi raja, akhirnya Prabu Resi Tajimalela
memetik buah kelapa muda lalu disimpannya kelapa tadi serta sebilah pedang.
Mereka
berdua disuruh menungguinya. "Adinda, tolong jaga kelapa ini.
Kakanda hendak pergi ke jamban dulu," kata Lembu Agung seraya
pergi meninggalkan Gajah Agung. Tiba-tiba sepeninggal Lembu Agung, Gajah Agung
merasakan haus yang bukan kepalang.
Apa
boleh buat, untuk menghilangkan dahaganya, Prabu Gajah Agung kemudian mengupas
kelapa itu dan diminumlah airnya. Karenanya, ketika Lembu Agung kembali lagi,
Gajah Agung langsung menyampaikan permohonan maaf kepada Lembu Agung karena
rasa bersalahnya telah meminum air kelapa yang semestinya dijaganya.
Semula
Prabu Gajah Agung menyangka, Prabu Lembu Agung akan memarahinya. Namun
ternyata, dengan kebesaran jiwa Prabu Lembu Agung malah berkata:"Adinda,
tampaknya suratan takdir telah menentukan, dengan diminumnya air kelapa tadi oleh
adinda, sudah barang tentu Adindalah yang sekarang terpilih menjadi raja," ucap
Lembu Agung.
Singkat
cerita, jadilah Prabu Gajah Agung meneruskan kepemimpinan Prabu Tajimalela,
yang kemudian ia meninggalkan tempat menuju daerah di pinggiran Kali Cipeles
untuk mendirikan kerajaan yang sekarang disebut Ciguling.
Kemudian
ia bergelar Prabu Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu Gajah Agung kemudian
digantikan oleh putranya , Wirajaya, yang lebih dikenal Sunan Pagulingan. Dalam
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Sunan Pagulingan
berkedudukan di Cipameungpeuk.
Namun
ada pula yang mengisahkan, kedudukan Kerajaan Sumedang Larang pada saat itu
berada di Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan. Yang
jelas, ketiga raja Sumedang Larang yang pertama ini masing-masing berkedudukan
di tempat yang berbeda-beda. Ini merupakan suatu gejala, bahwa kerajaan
tersebut belum permanen yang dapat ditinggali turun temurun oleh para penerus
pemegang kekuasaannya. Keadaan tersebut berlangsung sampai beberapa generasi
berikutnya.
Putri
Sulung Pagulingan bernama Ratu Ratnasih alias Nyi Mas Rajamantri diperistri Sri
Baduga Maharaja. Karena itu, adiknya bernama Martalaya menggantikan kedudukan
ayahnya menjadi penguasa Sumedang yang keempat dengan gelar Sunan Guling.
Sunan
Guling digantikan oleh putranya bernama Tirta Kusumah atau Sunan Patuakan
sebagai raja kelima Sumedang Larang. Kemudian, ia digantikan lagi oleh putri
sulung bernama Shintawati alias Nyi Mas Patuakan.
Antara
Ibu dan anak ini mempunyai gelar yang sama, yaitu Patuakan.
Ratu
Shintawati berjodoh dengan Sunan Corenda, raja Talaga putra Ratu Simbar Kencana
dari Kusumalaya putra Dewa Niskala. Dengan demikian, ia menjadi cucu menantu
penguasa Galuh.
Sunan
Corenda mempunyai dua permaisuri, yakni Mayangsari putri Langlangbuana dari
Kuningandan, Shintawati dari Sumedang. Dari Mayangsari, Sunan Corenda
memperoleh putri Bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung.
Berjodoh
dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Talaga), putra Munding
Surya Ageung. Tokoh ini putra Sri Baduga. Sunan Parung Gangsa ditaklukkan oleh
Cirebon tahun 1530 dan masuk Islam.
Dari
Shintawati putri sulung Sunan Guling, Sunan Corenda mempunyai putri bernama
Setyasih, yang kemudian menjadi penguasa Sumedang dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun Menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan
nama Pangeran Santri. Pangeran ini adalah putra Pangeran Palakaran dari puteri
Sindangkasih. Pangeran Palakaran putra Maulana Abdurrahman alias Pangeran Panjunan.
Dengan
perkawinan antara Ratu Setyasih dan Ki Gedeng Sumedang inilah agama Islam mulai
menyebar di Sumedang pada tahun 1529.
Pangeran
Santri dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan
Asuji tahun 1452 Saka, atau kira-kira 21 Oktober 1530 M, tiga bulan setelah
penobatan Pangeran Santri.
Pada
tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 di Keraton Pakungwati
diselenggarakan perjamuan "syukuran" untuk merayakan kemenangan
Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri.
Hal
ini menunjukkan, bahwa Sumedang Larang telah masuk dalam lingkaran pengaruh
Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati. Pangeran Santri sebagai
penguasa Sumedang pertama yang menganut Islam. Ia pula yang membangun Kutamaya
sebagai Ibukota baru untuk pemerintahannya.
Dari
perkawinannya dengan Ratu Pucuk Umun alias Ratu Inten Dewata, Pangeran Santri
yang bergelar Pangeran Kusumahdinata-I ini dikaruniai enam orang anak, yaitu
Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun), Kiyai Rangga Haji, Kiyai Demang
Watang Walakung, Santowaan Wirakusumah, yang melahirkan keturunan anak-cucu di
Pagaden Subang, Santowaan Cikeruh dan Santowaan Awiluar.
Pangeran
Santri wafat 2 Oktober 1579. Di antara putra-putri Pangeran Santri dari Ratu Inten
Dewata (Pucuk Umun), yang melanjutkan pemerintahan di Sumedang Larang ialah
Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun. Menurut Babad, daerah
kekuasaan Geusan Ulun dibatasi kali Cipamali di sebelah Timur, Cisadane di
sebelah Barat, sedangkan di sebelah Selatan dan Utara dibatasi laut.
Daerah
kekuasaan Geusan Ulun dapat disimak dari isi surat Rangga Gempol-III yang
dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn. Surat ini dibuat hari
Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun Je atau 4 Desember 1690, yang dimuat dalam buku
harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari 1691.
Dalam
surat tadi, Rangga Gempol-III (Pangeran Panembahan Kusumahdinata-VI) menuntut
agar kekuasannya dipulihkan kembali seperti kekuasaan buyutnya, yaitu Geusan
Ulun. Rangga Gempol-III mengungkapkan bahwa kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44
penguasa daerah Parahyangan yang terdiri dari 22 kandaga lante
dan 18 umbul.
Ke-44 daerah di bawah
kekuasaan Geusan Ulun meliputi:
I. Di Kabupaten Bandung
1. Timbanganten
2. Batulayang
3. Kahuripan
4. Tarogong
5. Curugagung
6. Ukur
7. Marunjung
8. Daerah
Ngabei Astramanggala
II. Di Kabupaten
Parakanmuncang
1. Selacau
2. Daerah
Ngabei Cucuk
3. Manabaya
4. Kadungora
5. Kandangwesi
(Bungbulang)
6. Galunggung
(Singaparna)
7. Sindangkasih
8. Cihaur
9. Taraju
III. Di Kabupaten Sukapura
1. Karang
2. Parung
3. Panembong
4. Batuwangi
5. Saung
Watang (Mangunreja)
6. Daerah
Ngabei Indawangsa di Taraju
7. Suci
8. Cipiniha
9. Mandala
10. Nagara
(Pameungpeuk)
11. Cidamar
12. Parakan
Tiga
13. Muara
14. Cisalak
15. Sukakerta
Berdasarkan
data yang dikirimkan Rangga Gempol-III pada masa VOC, maka kekuasaan Prabu
Geusan Ulun meliputi Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung. Batas di sebelah
Timur adalah Garis Cimanuk - Cilutung ditambah Sindangkasih (daerah muara
Cideres ke Cilutung).
Di
sebelah Barat garis Citarum - Cisokan. Batas di sebelah Selatan laut. Namun di
sebelah Utara diperkirakan tidak meliputi wilayah yang telah dikuasai oleh Cirebon.
Masa
kekuasaan Prabu Geusan Ulun (1579-1601) bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan
Pajajaran akibat serangan Banten di bawah Sultan Maulana Yusuf.
Sebelum
Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandaga lante untuk
menyerahkan Mahkota serta menyampaikan amanat untuk Prabu Geusan Ulun yang pada
dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya melanjutkan kekuasaan Pajajaran.
Geusan Ulun harus menjadi penerus Pajajaran.
Dalam
Pustaka Kertabhumi I/2 yang berbunyi: "Ghesan Ulun nyakrawartti mandala
ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang
kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala" (Geusan Ulun
memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi
Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah
Sumedang), selanjutnya diberitakan "Rakyan Samanteng Parahyangan
mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun" (Para penguasa lain di
Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
Keempat
orang bersaudara, senapati dan pembesar Pajajaran yang diutus ke Sumedang
tersebut, yaitu Jayaperkosa (Sanghyang Hawu); Wirajaya (Nangganan); Kondang
Hapa; dan Pancar Buana (Embah Terong Peot).
Dalam
Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan keempat bersaudara itu: "Sira paniwi
dening Prabu Ghesan Ulun, Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti
kaprabhun mwang salwirnya" (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di
sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan
lain-lain), sehingga peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Nalendra
penerus Kerajaan Sunda Pajajaran dan Raja Sumedang Larang ke-9 mendapat restu
dari 44 penguasa daerah Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga
Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat)
dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi Nalendra baru
pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Pemberian pusaka
Pajajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya ditetapkan sebagai Hari Jadi
Kabupaten Sumedang.
Jayaperkosa
adalah bekas senapati Pajajaran, sedangkan Batara Wiradijaya sesuai julukannya
bekas Nangganan. Menurut Kropak 630, jabatan Nangganan lebih tinggi setingkat
dari menteri, namun setingkat lebih rendah dari Mangkubumi.
Di
samping itu, menurut tradisi hari pasaran Legi (Manis), merupakan saat baik
untuk memulainya suatu upaya besar dan sangat penting. Peristiwa itu dianggap
sangat penting karena pengukuhan Geusan Ulun "nyakrawartti" atau
Nalendra merupakan semacam proklamasi kebebasan Sumedang yang mensejajarkan diri
dengan Kerajaan Banten dan Cirebon. Arti penting lain yang terkandung dalam
peristiwa itu adalah pernyataan bahwa Sumedang Larang menjadi ahli waris serta
penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran, di Bumi Parahyangan.
Mahkota
dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh senapati Jayaperkosa dan
diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun merupakan bukti legalisasi kebesaran
Sumedang Larang, sama halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri
keabsahan Demak, Pajang, dan Mataram.
Berdasarkan
bukti-bukti sejarah baik yang tertulis maupun babad/cerita rakyat, maka
penetapan Hari Jadi Sumedang ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
sejarah.
Serangan
laskar gabungan Banten, Pakungwati, Demak, dan Angke pada abad XVI ke
Pajajaran, merupakan peristiwa yang membuat Kerajaan Pajajaran Runtag (runtuh).
Berakhirnya
Pajajaran pada waktu itu, tidak menyeret Sumedang Larang dibawah kepemimpinan
Pangeran Santri ikut runtuh pula. Soalnya, sebagian rakyat Sumedang Larang pada
itu sudah memeluk Agama Islam. Justru dengan berakhirnya masa kekuasaan
Pajajaran, Sumedang Larang kian berkembang.
Penetapan
Hari Jadi Kabupaten Sumedang erat kaitannya dengan peristiwa di atas. Terdapat
tiga sumber sejarah yang dijadikan pegangan dalam menentukan Hari Jadi
Kabupaten Sumedang:
Pertama :
Kitab Waruga Jagat, yang disusun Mas Ngabehi Perana tahun 1117 H. Kendati tak
begitu lengkap isinya, namun sangat membantu dalam upaya mencari tanggal tepat
untuk dijadikan pegangan/penentuan Hari Jadi Sumedang."Pajajaran Merad
Kang Merad Ing Dina Selasa Ping 14 Wulan Syafar Tahun Jim Akhir," artinya:
Kerajaan Pajajaran runtuh pada 14 Syafar tahun Jim Akhir.
Kedua :
Buku Rucatan Sejarah yang disusun Dr. R. Asikin Widjayakusumah yang menyertakan
antara lain: Pangeran Geusan Ulun Jumeneng Nalendra (harita teu kabawa
kasasaha) di Sumedang Larang sabada burak Pajajaran. Artinya, Pangeran
Geusan Ulun menjadi raja yang berdaulat di Sumedang Larang setelah Kerajaan
Pajajaran berakhir.
Tiga :
Dibuat Prof. Dr. Husein Djajadiningrat berjudul : Critise Beshuocing
van de Sejarah Banten. Desertasi ini antara lain menyebutkan serangan
tentara Islam ke Ibukota Pajajaran terjadi pada tahun 1579, tepatnya Ahad 1
Muharam tahun Alif.
Mengacu
pada ketiga sumber sejarah tadi, maka dalam diskusi untuk menentukan Hari Jadi
Sumedang yang dihadiri para sejarawan masing-masing Drs. Said Raksakusumah;
Drs. Amir Sutaarga; Drs. Saleh Dana Sasmita; Dr. Atja dan Drs. A Gurfani,
berhasil menyimpulkan bahwa 14 Syafar Tahun Jim Akhir itu jatuh pada tahun 1578
Masehi, bukan tahun 1579, tepatnya 22 April 1578.
Atas
dasar itu DPRD Daerah Tingkat-II Sumedang waktu itu, dalam Keputusan Nomor
1/Kprs/DPRD/Smd/1973, Tanggal 8 Oktober 1973, menetapkan tanggal 22 April 1578
sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang.
0 comments:
Post a Comment