Nyai
Endit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat
luas karena harus cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di
desa itu. Ya! Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual
hasil panennya kepada Nyai Endit.Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya
dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng
suruhan nyai Endit. Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka harus membeli
dari nyai Endit dengan harga yang melambung tinggi.
Petani 1 : “Wah kapan ya nasib kita berubah?.Tidak
tahan saya hidup seperti ini. Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si
lintah darat itu?”
Petani 2 : “Sssst, jangan
kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang denger!. Kita mah harus sabar!
Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat
aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”
Sementara itu Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.
Sementara itu Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.
Nyai Endit : “Barja!!!! Bagaimana? Apakah semua padi
sudah dibeli?”.
Barja : “Beres
Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi!
Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di
luar karena sudah tak muat lagi.”
Nyai Endit : “Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan
kehabisan beras dan akan
membeli padiku. Aku akan semakin kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu,
jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain.
Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!”.
Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara Nyai Endit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.
Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara Nyai Endit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.
Penduduk desa : “Aduh pak, persediaan beras
kita sudah menipis. Sebentar lagi kita
terpaksa harus membeli beras ke Nyai Endit. Kata tetangga sebelah
harganya sekarang
lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu.
Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu
membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami
keringanan atas beban yang kami pikul.”
Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.
Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.
Suatu siang yang panas, dari ujung desa nampak
seorang nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk
dengan tatapan penuh iba.
Nenek : “Hmm, kasihan
para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang saja.
Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.
Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
Nenek
:“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.
Penduduk desa :“Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih
yang sedang menumbuk padi
tersebut
Nenek : “Dimanakah
saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek
Nyi Asih : “Oh,
maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal
lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek
akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek
ada perlu apa sama Nyi Endit?”
Nenek
: “Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.
Nyai Asih : “Ah percuma saja
nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek
lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.
Nenek : “Tidak
perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada
pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu
beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi
akan ada banjir besar.”
Nyi Asih : “Nenek
bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”
Nenek
: “Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi
pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera
mengungsilah, bawalah barang berharga
milik kalian,” kata si nenek.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Sementara itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung dihadang oleh para centeng.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Sementara itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung dihadang oleh para centeng.
Para Centeng : “Hei pengemis tua! Cepat pergi dari
sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak
kakimu!” bentak centeng.
Nenek
: “Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah
tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.
Para Centeng : “Apa peduliku,” bentak centeng.
“Emangnya aku bapakmu? Kalau mau
makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”
Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya.
Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya.
Nenek
: “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!” teriak si
nenek.
Centeng- centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
Centeng- centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
Nyi Endit : “Siapa sih yang
berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan saja!”
Nyai Endit :“Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa
berteriak-teriak di depan rumah
orang?” bentak Nyai Endit.
Nenek
: “Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak
makan,” kata nenek.
Nyi Endit : “Lah..ga makan kok
minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak
lalat nyium baumu,” kata Nyai Endit.
Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.
Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.
Nenek
: “Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu
rijki berlimpah tapi kau tidak
bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah
menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek berapi-api. “Aku
datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena
ulahmu! Kini bersiaplah menerima
hukumanmu.”
Nyi Endit : “Ha ha ha … Kau
mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat
centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.
Nenek : “Tidak perlu
repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa
mencabut tongkatku dari tanah.”
Nyi Endit : “Dasar nenek gila. Apa susahnya
nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai Endit sombong.
Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.
Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.
Nyi Endit
: “Sialan!”
kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai
tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”
Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
Nenek
: “Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian
tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.
Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.
Nenek
: “Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang
sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan
tenggelam oleh air ini!”
Setelah berkata demikian si nenek tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.
Setelah berkata demikian si nenek tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.
Di desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil
yang indah. Orang menamakannya ‘Situ Bagendit’. Situ artinya danau dan Bagendit
berasal dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa
melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai
Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.
0 comments:
Post a Comment