Thursday, 18 June 2015

DRAMA SITU BAGENDIT

Nyai Endit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya! Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada Nyai Endit.Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng suruhan nyai Endit. Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka harus membeli dari nyai Endit dengan harga yang melambung tinggi.

Petani 1       : “Wah kapan ya nasib kita berubah?.Tidak tahan saya hidup seperti ini. Kenapa   yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”

Petani 2       : “Sssst, jangan kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang denger!. Kita mah harus     sabar! Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”
Sementara itu Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.
Nyai Endit    : “Barja!!!! Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?”.
Barja              : “Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi!     Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di                               luar karena sudah tak muat lagi.”
Nyai Endit    : “Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan               membeli padiku. Aku akan semakin kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain.
Beri pelajaran  bagi siapa saja yang membangkang!”.
Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara Nyai Endit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.
Penduduk desa    : “Aduh pak, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita           terpaksa harus membeli beras ke Nyai Endit. Kata tetangga sebelah            harganya sekarang lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu.                   Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu membeli keperluan yang       lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami pikul.”
Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.
Suatu siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh iba.
Nenek             : “Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan   seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.
Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
Nenek             :“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.
Penduduk desa  :“Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi                tersebut
Nenek            : “Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya   si nenek
Nyi Asih         : “Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek                             akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?”
Nenek             : “Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.
Nyai Asih       : “Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek         lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.
Nenek             : “Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada             pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
Nyi Asih         : “Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”
Nenek             : “Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi       pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang  berharga milik kalian,” kata si nenek.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Sementara itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung dihadang oleh para centeng.

Para Centeng : “Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini         kotor terinjak kakimu!” bentak centeng.
Nenek             : “Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.
Para Centeng : “Apa peduliku,” bentak centeng. “Emangnya aku bapakmu? Kalau mau             makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”
Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya. 
Nenek             : “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!” teriak si nenek.
Centeng- centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
Nyi Endit       : “Siapa sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan   saja!”
Nyai Endit     :“Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah             orang?” bentak Nyai Endit.
Nenek             : “Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak       makan,” kata nenek.
Nyi Endit       : “Lah..ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti     banyak lalat nyium baumu,” kata Nyai Endit.
Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.
Nenek             : “Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak             bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah        menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek berapi-api. “Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena             ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”
Nyi Endit       : “Ha ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat       centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.
Nenek            : “Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”
Nyi Endit      : “Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!”   kata Nyai Endit sombong.
Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.
Nyi Endit       : “Sialan!” kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai         tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”
Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
Nenek             : “Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.
Nenek             : “Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang         sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”
Setelah berkata demikian si nenek tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.
Di desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah. Orang menamakannya ‘Situ Bagendit’. Situ artinya danau dan Bagendit berasal dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.


0 comments:

Post a Comment