I.
PENDAHULUAN
Salah satu hasil dari
reformasi pada tahun 1998 adalah adanya perubahan yang mendasar pada
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dari sejak awal berdirinya
negara yang telah mengalami empat kali pergantian konstitusi dari UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, konstitusi RIS Tahun 1949, UUDS Tahun 1950 dan
kembali ke UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dari sejak dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 juli tahun 1950. Pada tahun 1999 sampai tahun 2002
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami empat
kali perubahan. Salah satu hasil dari perubahan Undang-undang Dasar Negara
Repulik Indonesia Tahun 1945 adalah pada lembaga Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia dari kedudukan tugas dan wewenangnya telah mengalami
perubahan.
Dengan menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif, yaitu menganalisis obyek penelitian dengan
menggunakan peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum yang ada dalam
Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan memperbandingkan
kedudukan tugas dan wewenangnya MPR yang diatur dalam Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan hasil perbandingan,
kedudukan tugas dan wewenang MPR sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka penulis menyimpulkan bahwa
kedudukan MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara melainkan
sebagai lembaga tinggi negara yang sama dengan lembaga-lembaga negara yang
lain, tugas MPR yang sebelumnya Menetapkan UUD dan GBHN (pasal 3) dan Memilih
Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6), berubah menjadi Melantik Presiden dan
Wakil Presiden (pasal 3 ayat 2) dan melakukan peninjuan materi dari status
hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR (pasal I aturan peralihan), sebelum
perubahan wewenang MPR ada sembilan macam salah satunya adalah mengubah UUD,
setelah perubahan wewenang MPR mengubah dan menetapkan UUD. Jadi setelah adanya
perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 lembaga
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia banyak mengalami perubahan
dan mempengaruhi sistem ketatanegaraan indonesia.
II.
KEDUDUKAN
TUGAS DAN WEWENANG MPR SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945
1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
MPR berwenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam
mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR
tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Usul pengubahan pasal Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3
(satu pertiga) dari jumlah anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara
tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta
alasannya.
Usul pengubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR. Setelah
menerima usul pengubahan, pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya,
yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan diubah yang disertai alasan
pengubahan yang paling lama dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari sejak usul
diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan MPR mengadakan rapat dengan
pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan
persyaratan.
Jika usul pengubahan tidak memenuhi
kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan
secara tertulis kepada pihak pengusul beserta alasannya. Namun, jika pengubahan
dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR
wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari.
Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan
persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang
paripurna MPR.
Sidang paripurna MPR dapat
memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah
anggota ditambah 1 (satu) anggota.
2.
Melantik
Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum
MPR melantik Presiden dan Wakil
Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR. Sebelum reformasi,
MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara memiliki kewenangan untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak, namun sejak reformasi
bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri oleh MPR. Perubahan kewenangan
tersebut diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 09 November 2001, yang memutuskan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat,
Pasal 6A ayat (1).
3.
Memutuskan usul
DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
MPR hanya dapat memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.
MPR wajib menyelenggarakan sidang
paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah
Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau
terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Keputusan MPR terhadap usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam sidang paripurna
MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota
dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota
yang hadir.
4.
Melantik Wakil
Presiden menjadi Presiden
Jika Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya,
ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya.
Jika terjadi kekosongan jabatan
Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil
Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang,
Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan
rapat,Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan
pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
5.
Memilih Wakil
Presiden
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil
Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60
(enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang
diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam
masa jabatannya.
6.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Apabila
Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR
menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan
wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa
jabatannya.
Dalam
hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana
tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan
Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
III.
KEDUDUKAN TUGAS DAN WEWENANG MPR
SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945
Pasca perubahan UUD 1945, maka ada 6 (enam) lembaga Negara yang diberikan
kekuasaan secara langsung oleh konstitusi. Undang-Undang Dasar merupakan hukum
tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya
menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6
Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah
Konstitusi (MK).
Dalam Bab I Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan rumusan itu dimaksudkan,
bahwa kedaulatan itu pada hakekatnya tetap melekat dan berada di tangan rakyat,
dan Undang-Undang Dasar yang mengatur pelaksanaannya. Sebagian kedaulatan itu
tetap dipegang dan dilaksanakan sendiri oleh rakyat, yaitu dalam hal memilih
Presiden dan Wakil Presiden, memilih anggota DPR, anggota DPRD, dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah.
Berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Dasar itu, Undang-undang kemudian juga menetapkan, rakyat tetap
memegang kedaulatannya secara langsung, yaitu dalam hal memilih Gubernur dan
Wakil Gubernur, memilih Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota. Untuk selebihnya Undang-Undang Dasar menetapkan dibentuknya
lembaga-lembaga negara (DPR, MPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Badan
Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi), dan kepada
masing-masing lembaga itu ditetapkan secara definitif fungsi dan kewenangannya
sesuai dengan posisi/kedudukannya. Lembaga-lembaga negara itu berada dalam
kedudukan yang setara. Antara lembaga yang satu dengan yang lain dilaksanakan
prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi atau checks and balances.
Tugas dan Wewenang MPR Pasca Perubahan
Salah satu perubahan penting setelah dilakukannya perubahan terhadap UUD
NRI Tahun 1945 adalah perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi:
“Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Rumusan Pasal 1 ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa, “Kedaulatan adalah di
tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Hal ini membawa implikasi
terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR yang sering menghadirkan
kesalahpahaman terhadap MPR dan Pimpinan MPR yang dahulu berkedudukan sebagai
lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat,
kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara
lainnya, yaitu: Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.
Berubahnya kedudukan MPR juga
berimplikasi kepada tugas dan wewenang MPR. MPR tidak lagi mempunyai tugas dan
wewenang untuk memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, kecuali jika
Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan tetap sebagaimana diatur dalam
Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, MPR juga tidak
mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan garis-garis besar daripada haluan
negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945 sebelum diubah.
Berubahnya kedudukan, tugas, dan
wewenang MPR tersebut memang tidak berarti menghilangkan peran penting MPR
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR
masih berwenang untuk:
a. Mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar;
b. melantik
Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam Sidang
Paripurna MPR;
c. memutuskan
usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang
Paripurna MPR;
d. melantik
Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa
jabatannya; memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden
apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya
selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
e. serta
memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan
dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon
Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam
waktu tiga puluh hari.
IV.
KESIMPULAN
Melihat kewenangan-kewenangan diatas, maka apabila ada
pendapat yang menyatakan bahwa MPR adalah “forum Joint Session” dan “tidak
dapat dilembagakan” adalah pendapat yang tidak berdasar dan tidak mempunyai
argumentasi yang kuat. Sebagai lembaga negara yang mempunyai eksistensi dalam
sebuah bangunan negara, MPR secara konstitusional diberikan fungsi dan wewenang
sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3), dan Pasal 8 ayat (1),
(2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun sebatas yang tercantum dalam
pasal-pasal dan ayat-ayat itu fungsi dan kewenangan MPR sekarang, substansinya
adalah menyangkut hal-hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan
bernegara, yang terkait dengan rujukan hukum tertinggi di Indonesia yaitu UUD
NRI 1945 dan terkait dengan kekuasaan eksekutif tertinggi yaitu Presiden dan
Wakilnya.
Kewenangan MPR yang sangat mendasar sebagaimana
tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945 semacam itu, tidak mungkin dapat dilaksanakan
apabila tanpa melalui mekanisme pengorganisasian. Oleh karena itu MPR
dibutuhkan keberadaannya secara permanen dan terus menerus sebagai sebuah
organisasi atau lembaga negara, bukan hanya terbentuk karena joint session dari
lembaga-lembaga negara lainnya. Hal ini juga bisa dilihat dalam melaksanakan
impeachment sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3). Setelah pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi
(MK) terbukti melanggar hukum atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden maka DPR menindaklanjutinya dengan menyampaikannya
kepada Pimpinan MPR yang selanjutnya wajib mengundang Sidang MPR.
Demikian juga dalam hal kalau sekurang-kurangnya
sepertiga anggota MPR mengajukan usul Perubahan UUD NRI 1945 yang harus
disampaikan pada Pimpinan MPR. Dengan adanya fakta-fakta dan argumentasi
sebagaimana terangkai di atas, jelas diperlukan Pimpinan MPR yang nyata dan
tidak dirangkap, atau hanya eksis kalau ada Joint Session saja.
Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
institusi negara secara eksplisit telah tertuang dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa “Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih
lanjut dengan undang-undang”. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa MPR adalah
lembaga yang nyata ada, dan bukan sekedar satu forum yang terbentuk sebagai
hasil joint session antara DPR dan DPD. Penegasan lebih lanjut bahwa MPR adalah
“lembaga negara yang nyata ada” tercermin dalam susunan dan kedudukan MPR itu
sendiri yang diatur secara implisit-eksplisit dalam konstitusi maupun peraturan
perundang-undangan.
0 comments:
Post a Comment