PERISTIWA TANJUNG PRIOK 12
SEPTEMBER 1984
Peristiwa
Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12
September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah
korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok
massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok
dengan aparat yang kemudian menembaki mereka. Setidaknya 9 orang tewas
terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat. Pada
tahun 1985, sejumlah orang yang terlibat dalam defile tersebut diadili dengan
tuduhan melakukan tindakan subversif, lalu pada tahun 2004 sejumlah aparat
militer diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa
tersebut.
Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang dorongan
pemerintah Orde Baru waktu itu agar semua organisasi masyarakat menggunakan
azas tunggal Pancasila . Penyebab dari peristiwa ini adalah tindakan perampasan
brosur yang mengkritik pemerintah di salahsatu mesjid di kawasan Tanjung Priok
dan penyerangan oleh massa kepada aparat.
Kronologi Peristiwa Tanjung Priok 1984
Kronologi Peristiwa Tanjung Priok 1984
Versi
Abdul Qadir Djaelani
Abdul
Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan
sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap
dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat
Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok.
Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa
Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul
“Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.
Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984
Dua
orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala
as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram
pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan).
Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan
Sindang.
Tanjung
Priok, Ahad, 9 September 1984
Peristiwa
hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran
masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan
penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin.
Tanjung
Priok, Senin, 10 September 1984
Beberapa
anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas
Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang
akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan
lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima.
Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.
Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.
Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984
Amir
Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang
jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir
Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko
66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi
penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir
Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984
Dalam
suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang
Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah,
terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang
bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan
latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian
mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu,
Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita
meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes
pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak
membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak
dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita
tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di tengah-tengah perjalanan,
berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada
waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan
sebagian menuju Kodim.
PELANGGARAN HAM DI DAERAH KONPLIK DOM ACEH
Sosok Aceh kini bagaikan bidadari
yang tak lagi berseri dan keharumannya pun
tak lagi semerbak, seperti layaknya Bungong Jeumpa yang selalu dilatunkan oleh
para biduan. Betapa tidak, kini rakyat Aceh masih berada di bawah cengkeraman
Daerah Operasi Militer (DOM). Terutama
di daerah Aceh Timur, Aceh Utara, dan
Pidie, hingga tidak lah mengherankan, bahkan menyedihkan, munculnya cerita-cerita rakyat yang memilukan
kalbu setiap orang yang mendengarnya, banyak
wanita-wanita yang telah menjadi janda, korban-korban represi militer
yang tak kenal batas kemanusiaan.
Yang lebih parah lagi, rakyat
yang tidak tahu apa-apa dijadikan tameng untuk melegitimasi kepentingan aparat,
sehingga hari demi hari, waktu demi waktu, rakyat pun selalu dihantui oleh
keadaan vang mencekam, ditambah lagi dengan berlakunya jam malam, aktifitas
publik dan roda ekonomi rakyat dapat dikatakan terhenti. Banyak lagi
rentetan-rentetan peristiwa yang diungkapkan secara sistematik kronologis
tentang kondisi ini.
Media nasional pun sempat mengangkat fenomena pelanggaran HAM di Aceh sebagai
tajuknya, seperti "Membongkar Pembantaian Warga Aceh", "Gejolak
Aceh Belum Juga Reda", Nasib HAM Tanpa Tekanan Asing". (UMMAT No.
48/1998).
Inikah
peninggalan rezim yang lalu? Pemimpin yang dianggap oleh beberapa pihak
menganut teologi kekerasan, bagian praktek menghalalkan segala cara ala
Machiavelli. Kata Machiavelli:- tokoh filsafat politik – demi mempertahankan
kekuasaanya, seorang pemimpin harus memiliki kekuasaan untuk menjadi tidak
baik, tahu kapan memanfaatkan dan kapan tidak memanfaatkan kekuatan tersebut.
Seorang penguasa yang bijak, berpegang pada apa yang benar sewaktu dia dapat
melakukannva, namun dia juga tahu bagaimana bertindak salah bila perlu.
Drama pembasmian etnis (genocide)
telah banyak diperankan dalam beberapa
pentas
negara dunia, dan ini adalah sebuah ilustrasi yang hamper mendekatinya. Sebab
peristiwa berdarah di Timtim, Lampung, Tanjung Priok, dan Irian Jaya, tidaklah
cukup mewakili untuk memberikan sebuah deskripsi menyeluruh tentang sebuah
keteledoran yang dilakukan aparat.
Aparat keamanan telah semena-mena
membuat ke-(tidak)bijakan dalam menyikapi segala fenomena sosial-politik di
Aceh, padahal persoalan di sana bukanlah persoalan disintegrasi nasional,
apalagi sengketa etnik atau pun wilayah. Lihatlah sejarah bangsa ini, bukanlah
cerita baru, bahwa nasionalisme Aceh-sebagai empat besar penyumbang devisa negara dari zaman penjajah hingga
hari ini tetap konsisten dengan isme
kebangsaan-keIndonesiaannya, terbukti Aceh menyumbang pesawat Seulawah untuk RI
dari hasil emas rakyat.
Juga kini terbukti tatkala
Indonesia mengalami krisis moneter, Aceh pun menempati urutan pertama sebagai
penyumbang emas. Namun sangatlah ironis, rakyat Aceh -yang tidak pernah dijajah
oleh Jepang dan Belanda kini harus terjajah oleh negara tempat ia berhamba
selama ini.
Bentuk penjajahan yang paling
konkret dan begitu terasa, terutama pada era 90-an ke atas adalah penjajahan
mental yang terefleksikan dari sikap pemerintah yang secara sporadis mengklaim
Aceh sebagai wilayah exposed.
Bahkan
tak tanggung-tanggung, pemerintah pun menjadikan Aceh sebagai Daerah
Operasi
Militer (DOM).Hak azasi manusia tidak mempunyai tempat di sana, dan dunia
internasional pun tak sedikitpun mempublikasikan derita rakyat Aceh. Apa karena
Islam? Termasuk juga hukum, banyak cerita-cerita tentang ketertindasan rakyat dengan
pengerahan pasukan yang sama sekali tidak bisa berpikir dengan kepala dingin,
tapi cenderung mempergunakan politik "bumi hangus".
Begitu pula dalam hal Ekonomi, terasa
sangat lamban, sebab masyarakat sulit menjalankan aktifitas ekonomi secara
lancar. Juga wilayah Politik dan Hukum, kebebasan berkumpul dan berbicara
dipangkas habis, apapun kegiatan yang dapat menimbulkan kecurigaan -tanpa
melalui azas praduga tak bersalah-harus siap dihukum sebelum terlebih dahulu
melewati fase "pengakuan dosa" yang penuh gebukan, tamparan dan
tendangan, plus rekayasa yang rapi.
Dalam wilayah intelektual,
mahasiswa dikekang dan dipaksa untuk tidak berpikir secara kritis analitis, sensitif
dan responsi=A3 Sedikit anda vocal berarti telah membuka diri untuk siap
diklaim sebagai intelektual GPK. Dunia kampus terasa mati dan tertutup untuk
wahana pengabdian masyarakat, sehingga kampus menjadi sebuah bangunan tua,
tempat para murid harus belajar dengan tekun tanpa kepekaan sosial apa pun.
Yang lebih tragis lagi adalah
wilayah pembangunan mental, bayang-bayang ketakutan tak berwujud selalu
menghinggapi masyarakat, sajian yang dihidangkan dalam setiap pembicaraan
selalu berkisah tentang cerita dan fakta tentang kebrutalan serdadu. Gelimpangan mayat yang
dengan sengaja, selalu menghiasi jalan-jalan dan tempat-tempat umum seakan –dengan
angkuhnya ingin berkata-- yang membangkang akan mendapat "seperti
ini". Trauma itu pun sampai kini selalu menghantui rakyat Aceh.
Masyarakat selalu menjadi obyek
kesewenangan aparat, dengan tanpa malu dan segan mereka menggunakan hak milik
individu masyarakat tanpa sedikitpun menghormati properti yang dipakai
tersebut. Yang paling kurang ajar lagi adalah, perampasan kehormatan
wanita-wanita kampung, warga sipil yang tidak berdosa Dimana lagi hati nurani?
Apa kah mereka kira keperawanan itu juga milik negara yang bisa dipakai secara
bebas?
Trauma apalagi yang harus
dipikul. Puluhan remaja kehilangan masa depan, ratusan ibu-ibu menjadi janda
tanpa keterangan yang jelas tentang kehilangan atau penculikan atau pun
kematian, ribuan anak kehilangan kasih sayang orang tua. Kisah ini sangat
memiriskan hati dan telah menjadikan wilayah ujung Sumatera itu semakin teralienasi
dari nasionalitasnya.
Namun demikian, angin reformasi
rupanya mulai berhembus ke Aceh, terbukti
TIM KOMNAS telah terjun, meskipun masih belum
maksimal, juga yang terakhir diprakarsai oleh
DPR RI dengan membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) DPR RI ke Aceh, yang
diketuai oleh Hari Sabarno. Juga pro aktifnya mahasiswa, LSM, LBH, dan
sebagainya untuk membentuk Forum Peduli HAM (Care Human Rights Forum) di Aceh.
Sehingga angin tersebut dapat benar-benar menyegarkan suasana
sosial-politik Aceh khususnya, dan dapat
menguak pelanggaran Hak Azasi manusia (HAM) yang selama ini ditutup-tutupi.
Semoga. Rus.
PETRUS (PENEMBAKAN MISTERIUS)
Penembakan
misterius atau sering disingkat Petrus (operasi clurit) adalah suatu operasi
rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi
tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu.
Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus", penembak misterius.
Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus", penembak misterius.
Sejarah
Petrus
berawal dari operasi pe nang gulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982,
Soeharto memberikan peng har gaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton
Soedjarwo atas keber ha silan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret tahun yang sama, di hadap an Rapim ABRI, Soehar to meminta polisi
dan ABRI mengambil lang kah pemberantasan yang efektif me ne kan angka
kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16
Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pang opkamtib Laksamana Soedomo
da lam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan
Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Ja ya tanggal 19 Januari 1983. Dalam
rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini
kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di ma sing-masing kota dan provinsi
lainnya
Akibat
Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an taranya 15 orang tewas ditembak. Ta hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an taranya tewas ditembak. Para korban Pe trus sendiri saat ditemukan masyarakat da lam kondisi tangan dan lehernya te ri kat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, la ut, hutan dan kebun. Pola pengambilan pa ra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke*amanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang Dandim 0734 Letkol CZI M Hasbi (kini Wakil Ketua DPRD Jateng, red) sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.musnahkan penjahat sampai ke akar2 nya
Kontroversi
Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra, baik dari kalangan hukum, politisi sampai pe megang kekuasaan. Amnesti Internasional pun juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan pemerintah Indonesia ini.
Awal mulanya
Ketika
tahun 80 an, Para preman dan para perampok akan ketakutan kala mendengan kata
"Petrus". Petrus sebenarnya adalah singkatan dari Penembak Misterius.
Tahun 1980-an. Ketika itu, ratusan residivis, khususnya di Jakarta dan Jawa
Tengah, mati ditembak. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena
itu muncul istilah "petrus", penembak misterius.
Tahun
1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka
tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak.
Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban
Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya
terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir
jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola
pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput
aparat keamanan.
Salah satu korban Petrus
Salah satu korban Petrus
Sebagian
besar korban para petrus adalah preman-preman kelas teri yang biasanya menjadi
pemalak, perampok, dan Bromocorah atau mereka yang dianggap melawan peraturan
kekuasaan rezim soeharto. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Galli. Petrus
biasanya mengambil para pemuda yang dianggap sebagai preman. Meraka biasanya
dibawa dengan mobil jeep gelap dan dibawa ke tempat yang jauh dari keramaian.
setelah itu mereka dibunuh dan mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja. Pada
masa itu, para preman menjadi sangat takut untuk keluar rumah, bahkan pemuda
bukan preman tapi mempuanyai tato di badanya kadang juga sering menjadi incaran
para petrus. maka tak heran jka pada masa itu, Rumah sakit kewalahan menerima
para pemuda yang ingin menghapus tato mereka.
Dari data yang diterima, petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret di tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI (sekarang TNI), Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.
Permintaannya ini disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodak Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.
PNEMBAKAN
MAHASISWA TRISAKTI 12 Mei 1998
Tragedi Trisakti merupakan peristiwa penembakan mahasiswa pada
saat demontrasi yang menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Perisiwa tersebut
terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 dan menewaskan empat
mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan
lainnya luka-luka. Mereka yang tewas tersebut adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di
dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala,
leher, dan dada. Mahasiswa menuntut pemerintah untuk secepatnya
melaksanakan reformasi politik, ekonomi, dan hukum, serta menuntut
dilaksanakannya Sidang Umum Istimewa MPR.
Kejatuhan
perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan pemerintahan
Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi bangsa ini supaya
dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu walaupun
ditentang oleh mahasiswa dan sebagian masyarakat tetap menetapkan Soeharto
sebagai Presiden. Tentu saja ini membuat mahasiswa terpanggil untuk
menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan menolak terpilihnya kembali
Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada jalan demonstrasi supaya suara mereka
didengarkan.
Demonstrasi
digulirkan sejak sebelum Sidang Umum (SU) MPR 1998 diadakan oleh mahasiswa
Yogyakarta dan menjelang serta saat diselenggarakan SU MPR 1998 demonstrasi
mahasiswa semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta,
sampai akhirnya berlanjut terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama
kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta
karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak
masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi
gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk
secara serentak melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar
Jabotabek.Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di
Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka
dan masuk rumah sakit.
Setelah
keadaan semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap
Brimob dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani
turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan
demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presinden Indonesia saat
itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga
menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun
1997.
Mahasiswa
bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi.
Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore
harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu
berlansung sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal
dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit
karena terluka.
Sepanjang
malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan
perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta.
Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta
geger dan mencekam.
Proses
Terjadinya Tragedi Trisakti
Tragedi
Trisakti yang di identikkan dengan demontrasi yang menuntut turunnya Soeharto
sebagai Presiden merupakan salah satu titik balik. Kematian yang terjadi dalam
tragedy tersebut bersama dengan keruntuhan ekonomi, kebrutalan ABRI, korupsi
rezim, dan kemustahilan akan adanya reformasi , telah memporak-porandakan
benteng terakhir keabsahan rezim dan ketertiban sosial. Kerusuhan missal
terjadi di berbagai tempat. Dan yang terparah adalah di Jakarta dan Surakarta.
Perusahaan para cukong dan keluarga Soeharto merupakan sasaran
utama pembakaran dan penjarahan. Bank Central Asia milik Liem Sioe
Liong merupakan obyek serangan utama. Rumah Liem di Jakarta dijarah dan
dibakar. Lebih dari seribu jiwa yang tewas di Jakarta.
Jika
diamati, peristiwa Trisakti tersebut dilator belakangi oleh Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal
1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial
Asia.
Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan
aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade
dari Polri--militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi
dengan pihak Polri.
Akhirnya,
pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya
aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah
mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung
di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan.
Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras. Satuan pengamanan
yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad,Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru
Hara Kodam seta Pasukan
Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.
Pada
pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang
dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah
menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.
TRAGEDI
SEMANGGI I TANGGAL 13 Nopember 1998
Pada bulan November 1998,
pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan
Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan.
Mahasiswa bergolak kembali
karena mereka tidak mengakui pemerintahan BJ Habibie dan tidak percaya dengan
para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan
militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa
menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang
diadakannya Sidang Istimewa itu, masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap
hari untuk melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar
lainnya di Indonesia.
Peristiwa ini mendapat
perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir
seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa
tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul.
Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa, mendapat perhatian
ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah
tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Pada 11 November 1998,
mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, dan terjadi bentrok
dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi.
Pada 12 November 1998, ratusan
ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju gedung DPR/MPR dari segala arah,
Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus karena dikawal
dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil
yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa).
Pada malam harinya terjadi
bentrok di daerah Slipi dan Jalan Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah
sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu
Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian dia
meninggal dunia.
Besok harinya, Jumat, 13
November 1998, mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah
Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus
Universitas Atma Jaya Jakarta.
Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam
hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang
laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung
dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan
lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung
diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja
bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara
mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan
membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan.
Saat itu
juga, beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalanan. Salah
satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia
yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa
terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat
kawan-kawan sekaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh
aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma
Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya
dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir
kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta.
Mulai dari jam 3 sore itu
sampai pagi hari sekira jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa
di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak
korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka.
Gelombang mahasiswa dan
masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru
dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang
meninggal mencapai 17 orang.
Korban lain yang meninggal
dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus
Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga
Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik,
Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh
Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6
orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA,
2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero
Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat.
Sementara 456 korban mengalami
luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras,
tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat
keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia,
termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru
nyasar di kepala.[wikipedia]
TRAGEDI
SEMANGGI II Tanggal 24 September 1999
Tanggal 24 September 2012 adalah tepat 13 tahun
terjadinya Tragedi Semanggi II yang menewaskan seorang mahasiswa dan 11 orang
lain serta menyebabkan 217 korban luka-luka.
Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS) Haris Azhar menilai selama delapan tahun pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belum ada langkah yang konstruktif yang
dilakukan Presiden untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu,
diantaranya kasus Semanggi II.
Presiden Yudhoyono, menurut Haris, harus segera
mendorong Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan demi kepastian hukum dan
keadilan bagi korban.
Padahal Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas
HAM), kata Haris, telah menyerahkan hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung
pada 29 April 2002, tetapi hingga kini belum ditindaklanjuti ke tahap
penyidikan.
Kondisi tersebut lanjut Haris merupakan sebuah
fenomena yang janggal dan ironis dalam proses penegakan hukum dimana 10 tahun
berkas hasil penyelidikan diendapkan tanpa adanya kepastian sehingga akses
korban untuk mendapatkan keadilan menjadi semakin kabur.
“Jaksa Agung dan Presiden memiliki tanggung jawab
konstitusional, tanggung jawab hukum terhadap kasus ini. Ini bukan sekedar
persoalan politis yang mencari solusinya dengan cara politis. Kewajiban hukum
sangat ada dan jelas didalam aturan hukum yang ada di Indonesia,” ujar Haris
pada jumpa pers di kantor KontraS di Jakarta, Minggu (23/9).
Di tempat yang sama, sejumlah mahasiswa dari
berbagai Universitas seperti Universitas Indonesia, Universitas Atmajaya,
Universitas YAI, dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menilai pemerintahan
Yudhoyono enggan menyelesaikan kasus semanggi II.
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Billy Aryo Nugroho menjelaskan pemerintah harus berani menindak siapapun yang
terlibat dalam kasus ini.
“Pemerintah, Presiden dan juga DPR untuk bersikap
netral untuk menempatkan semua orang setara dihadapan hukum agar ketidakadilan
ini dapat diluruskan, dapat diusut tuntas. Tidak ada lagi yang jadi korban dan
tidak ada lagi preseden buruk untuk masa depan negara kita ke depannya,” ujar
Billy.
Ho Kim Ngo, ibu dari Yap Yun Hap, mahasiswa
Universitas Indonesia yang tewas dalam peristiwa Semanggi II, berharap
Kejaksaan Agung konsisten akan meneruskan pengungkapan kasus ini. Ia
menambahkan Presiden Yudhoyono harus menepati janjinya kepada keluarga korban,
bahwa akan menyelesaikan kasus ini seperti dalam pertemuan 2008 lalu di Istana.
“Sekarang ini, hari ini juga aku mohon kepada
presiden, bukalah mata dan telinganya, dengarlah ucapan korban hari ini
bagaimana untuk menyelesaikan kasus anak-anak kami,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum
Kejaksaan Agung Adi Togarisman menyatakan banyaknya hasil penyelidikan Komnas
HAM terkait kasus pelanggaran HAM yang tidak ditindaklanjuti Kejaksaan Agung
disebabkan belum adanya pengadilan HAM Ad.hoc.
“Peristiwa yang terjadi sebelum 2000, jadi
masalah juga berarti kan untuk memroses itu nanti pengadilan Ad hoc untuk itu,”
ujar Adi.
Kasus Semanggi II terjadi pada 24-28 September
1999, saat maraknya aksi-aksi mahasiswa menentang Rancangan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan tuntutan mencabut dwi fungsi ABRI.
Pembunuhan
Munir Sebagai Aktifis HAM Indonesia
Tanggal 7 September 2004
Tahun 2004
*7 Sept 2004 Aktivis HAM dan pendiri KontraS dan Imparsial, Munir (39 thn) meninggal di ataspesawat Garuda dengan nomor GA-974 ketika sedang menuju Amsterdam untuk melanjutkan kuliah pasca-sarjana. Sesuai dengan hukum nasionalnya, pemerintah Belanda melakukan otopsi atas jenazah almarhum.
*12 Sept 2004 Jenazah Munir dimakamkan di kota Batu, Malang, Jawa Timur.
*7 Sept 2004 Aktivis HAM dan pendiri KontraS dan Imparsial, Munir (39 thn) meninggal di ataspesawat Garuda dengan nomor GA-974 ketika sedang menuju Amsterdam untuk melanjutkan kuliah pasca-sarjana. Sesuai dengan hukum nasionalnya, pemerintah Belanda melakukan otopsi atas jenazah almarhum.
*12 Sept 2004 Jenazah Munir dimakamkan di kota Batu, Malang, Jawa Timur.
*11 Nov 2004 Pihak keluarga almarhum mendapat informasi dari media Belanda bahwa hasil otopsi Munir oleh Institut Forensik Belanda (NFI) membuktikan bahwa beliau meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal.
*12 Nov 2004 Suciwati, istri Munir mendatangi Mabes Polri untuk meminta hasil otopsi namun gagal. Presiden SBY berjanji akan menindaklanjuti kasus pembunuhan Munir. Berlangsung siaran pers bersama sejumlah LSM di kantor KontraS mendesak pemerintah untuk segera melakukan investigasi dan menyerahkan hasil otopsi kepada keluarga dan membentuk tim penyelidikan independen yang melibatkan kalangan masyarakat sipil. Desakan serupa dikeluarkan oleh para tokoh masyarakat di berbagai daerah.
*18 Nov 2004 Markas Besar Polri memberangkatkan tim penyelidik (termasuk ahli forensik) dan Usman Hamid (Koordinator KontraS) ke Belanda. Pengiriman tim tersebut bertujuan meminta dokumen otentik, berikut mendiskusikan hasil otopsi dengan ahli-ahli forensik di Belanda. Tim ini gagal mendapatkan dokumen otopsi asli karena tidak memenuhi prosedur administrasi yang diminta pemerintah Belanda.
*20 Nov
2004 Istri Munir,
Suciwati mendapat teror di rumahnya di Bekasi.
*22 Nov 2004 Suciwati dan beberapa aktivis NGO
bertemu dengan Komisi III DPR RI. Komisi III setuju dengan usulan yang diajukan
oleh kerabat Munir untuk mendesak pemerintah segera membentuk tim investigasi
independen.
*23 Nov 2004 Rapat paripurna DPR sepakat untuk meminta
pemerintah membentuk tim independen kasus Munir dan segera menyerahkan hasil
autopsi kepada keluarga almarhum. Selain itu DPR juga membentuk tim pencari
fakta sendiri.
*24 Nov 2004 Suciwati bersama beberapa aktivis
LSM bertemu dengan Presiden SBY di Istana Negara. Presiden
berjanji akan membentuk tim independen
untuk menyelidiki kasus Munir.
*26 Nov 2004 Imparsial dan KontraS menyerahkan draft usulan
pembentukan tim independen kasus Munir kepada Presiden
melalui Juru Bicaranya, Andi Malarangeng.
Draft ini berisi bentuk tim, mekanisme tim, dan daftar nama
calon anggota tim.
*28 Nov
2004 Mabes
Polri melakukan pemeriksaan
terhadap 8 kru Garuda yang melakukan
penerbangan bersama almarhum Munir. Hingga kini sudah 21 orang yang diperiksa.
*2 Des
2004 Ratusan
aktivis dan korban pelanggaran HAM berdemo di depan istana untuk meminta
Presiden SBY agar segera membentuk tim investigasi independen kasus Munir.
*21 Des 2004 Di Mabes Polri
terjadi pertemuan antara Kepolisian, Kejaksaan
Agung, Dephuk dan HAM, serta aktivis HAM untuk membahas tindak
lanjut tim independen kasus Munir.
*23 Des 2004 Presiden SBY mengesahkan Tim Pencari Fakta
untuk Kasus Munir yang anggotanya melibatkan kalangan masyarakat sipil dan
berfungsi membantu Polri dalam menyelidiki kasus terbunuhnya Munir.
2005
*13 Jan 2005 TPF pertama kali bertemu dengan tim penyidik Polri. Dalam pertemuan tersebut, TPF menilai tim penyidik lambat dalam menetapkan tersangka.
2005
*13 Jan 2005 TPF pertama kali bertemu dengan tim penyidik Polri. Dalam pertemuan tersebut, TPF menilai tim penyidik lambat dalam menetapkan tersangka.
*11 Feb
2005 TPF
mendesak Polri untuk melakukan rekonstruksi.
Pihak Polri berkilah rekonstruksi tergantung kesiapan Garuda.
*24 Feb
2005 Ketua
TPF, Brigjen Marsudi Hanafi menilai Garuda tidak kooperatif dalam
melakukan rekonstruksi kematian Munir.
*28 Feb 2005 Ketua TPF, Brigjen
Marsudi Hanafi menilai Garuda menutupi
kematian Munir. Selain menghambat
rekonstruksi kematian Munir,
pihak manajemn Garuda juga diduga
memalsukan surat penugasan Pollycarpus, seorang pilot Garuda.
*3 Mar
2005 TPF
menemui Presiden SBY untuk melaporkan
perkembangan kasus Munir. TPF menemukan adanya
indikasi konspirasi dalam kasus kematian
pejuang hak asasi manusia (HAM) Munir. Ketua
TPF Kasus Munir, Brigjen (Pol) Marsudi
Hanafi TPF menyatakan terdapat indikasi kuat bahwa kematian Munir adalah
kejahatan konspiratif dan bukan perorangan, di mana di dalamnya terlibat oknum
PT Garuda Indonesia dan pejabat direksi PT Garuda Indonesia baik langsung
maupun tidak langsung.
*4 Mar
2005 Kapolri,
Da'I Bachtiar mendukung temuan TPF kasus Munir yang menyatakan direksi PT
Garuda terlibat dalam pembunuhan Munir.
*7 Mar
2005 Tim
Investigasi DPR berpendapat Pollycarpus banyak berbohong dalam pertemuannya di
DPR.
*8 Mar
2005 Sejumlah
organisasi HAM Indonesia akan membawa kasus Munir ke Komisi HAM PBB dalam
sidangnya yang ke-16 di Jenewa, Swiss 14 Maret-22 April 2005 mengingat Munir
sudah menjadi tokoh HAM internasional.
*10 Mar
2005 Pollycarpus
tidak memenuhi panggilan I Mabes Polri dengan alasan sakit.
*12 Mar
2005 Brigjen
Pol Marsudi Hanafi (KetuaTPF) mengeluarkan pernyataan yang menyayangkan
lambannya kerja tim Badan Reserse dan
Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dalam mengusut kasus
kematian Munir.
*14 Mar
2005 Penyidik
dari Bareskrim Polri memeriksa Pollycarpus selama
13 jam lebih dengan lie detector.
*15 Mar
2005 Polri
kembali memeriksa Pollycarpus. TPF merekomendasikan 6 calon tersangka, 4 dari
lingkungan PT Garuda.
*16 Mar
2005 Kepala
BIN, Syamsir Siregar membantah adanya keterlibatan
anggota BIN dalam pembunuhan Munir.
*18 Mar
2005 Pollycarpus
resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di rumah tahanan Mabes Polri.
*23 Mar 2005 Suciwati memberikan kesaksian di hadapan siding Komisi
HAM PBB di Jenewa.
*26 Mar 2005 Kepala BIN, Syamsir Siregar membantah bahwa
Pollycarpus adalah anggota BIN.
*28 Mar
2005 Presiden
SBY memperpanjang masa kerja TPF hingga 23 Juni 2005. Jaksa Agung, Abdurahman
Saleh telah mengirim surat ke pemerintah Belanda yang
menjamin tidak akan memvonis hukuman mati
bagi terpidana kasus Munir. Surat ini dibuat agar
pemerintah Belanda bersedia memberika data hasil forensik.
*5 Apr
2005 Polri
menetapkan dua kru Garuda -Oedi
Irianto (kru pantry) dan Yeti Susmiarti
(pramugari)- menjadi tersangka
kasus Munir. Mereka adalah
kru kabin selama penerbangan Garuda Jakarta-Singapura
di kelas bisnis, tempat Munir duduk.
*6 Apr
2005 Dalam
siaran persnya, Suciwati menyatakan mendapat
dukungan dari komunitas internasional, termasuk Ketua Komisi HAM
PBB, Makarim Wibisono selama kunjungan kampanyenya di Eropa. Setelah gagal dua
kali, akhirnya TPF berhasil bertemu dengan jajaran tinggi BIN.
Hasil kesepakatannya adalah TPF-BIN akan bentuk tim khusus. Usman
Hamid (TPF) mempertanyakan polisi yang
tidak memeriksa sebagian nama yang telah
direkomendasikan TPF dan mempertanyakan penetapan
dua tersangka baru.
*7 Apr 2005 Tiga Deputi BIN diikutsertakan dalam kerja
TPF.Ketua TPF, Marsudhi Hanafi mengusulkan agar
penyidik menjadikan Vice-President Security AviationGaruda,
Ramelgia Anwar sebagai tersangka.
*8 Apr 2005 Lima orang karyawan Garuda
diperiksa oleh penyidik Direktorat Kriminal
Umum dan Transnasional Polri.
Kelimannya adalah Indra
Setiawan (mantan Dirut Garuda), Ramelgia
Anwar (Vice-President Security
AviationGaruda), Rohainil Aini (Chief
Secretary Pilot Airbus 330), Carmel Sembiring (Chief Pilot Airbus 330), dan
Hermawan (Staf Jadwal Penerbangan Garuda). Pada pemeriksaan
tersebut dibahas soal surat penugasan
Polllycarpus yang banyak kejanggalannya.
*11 Apr 2005 Mantan Sekretaris Utama (Sesma) BIN,
Nurhadi menolak hadir dalam pemeriksaan TPF. Nurhadi meminta
pertemuannya di kantor BIN. Ini merupakan penolakkan kedua kalinya.
Nurhadi diduga mengangkat Pollycarpus sebagai
agen utama BIN. Syamsir membantah adanya
surat pengangkatan Pollycarpus sebagai anggota
BIN (Skep Ka BIN No.113/2/2002). Saat ini
Nurhadi merupakan Dubes RI untuk Nigeria.
Namun ia mengakui masih sebagai anggota BIN. Penyidik
Polri memeriksa Brahmani Astawati (pramugari Garuda), Sabur Taufik
(pilot Garuda GA 974, rute
Jakarta-Singapura), Eva Yulianti
Abbas (pramugari), dan Triwiryasmadi (awak kabin).
*15 Apr 2005 Penyidik Mabes Polri
memeriksa dua orang warga negara
Belanda yang duduk di sebelah Munir.
*19 Apr 2005 TPF menolak permintaan BIN ajukan pertanyaan secara
tertulis kepada anggota BIN.
*21 Apr 2005 Nurhadi menolak pemeriksaan untuk ketiga kalinya.
*27 Apr 2005 Dalam Siaran Persnya Nurhadi menegaskan
tidak akan memenuhi panggilan TPF dengan alasan tidak
ada dasar hukum. Nurhadi juga membantah
mengenal dan mengangkat Pollycarpus sebagai anggota BIN.
*28 Apr
2005 Deplu
menunda keberangkatan Nurhadi ke Nigeria.
*29 Apr 2005 Kapolri Da'I Bachtiar meminta Nurhadi
penuhi panggilan TPF. Polri memeriksa Tia
Dewi Ambari, pramugari Garuda
GA 974 rute Singapura- Amsterdam
yang melihat Munir mengalami kesakitan
sesaat sebelum pesawatnya lepas landas dari Bandara Changi,
Singapura.
*30 Apr
2005 Lewat
Sudi Silalahi -Sekretaris Kabinet- Presiden
SBY minta Nurhadi memberikan keterangan kepada TPF.
*2 Mei 2005 Protokol kerjasama TPF-BIN
ditandatangani. Protokol ini diharapkan bisa
mempermudah kerja TPF dalam meminta
keterangan para anggota dan mantan anggota BIN.
*3 Mei 2005 Kuasa hukum Nurhadi, Sudjono menyatakan kliennya
akan tidak memenuhi panggilan TPF karena isi protokol tidak sejalan dengan
mandat Keppres pembentukan TPF. Sejumlah anggota DPR
Komisi Pertahanan dan Luar Negeri meminta
Nurhadi untuk kooperatif. DPR mengancam akan
meninjau ulang posisi Nurhadi sebagai Dubes Nigeria.
TPF mengancam Nurhadi akan dilaporkan ke Presiden jika tetap menolak panggilan
TPF.
*4 Mei 2005 Suciwati, istri Munir mendapat
ancaman teror lewat surat yang dikirim
ke kantor KontraS.
*6 Mei 2005 Penyidik Polri
mengkonfrontasikan kesaksian Brahmanie
Hastawati -awak kabin Garuda- dengan
Lie Fonny -saksi penumpang
dari Belanda- soal Pollycarpus. Brahmanie
mengaku melihat Pollycarpus
berbincang-bincang dengan Lie Fonny
sedangkan Lie Fonny membantah keterangan tersebut.
*9 Mei 2005 TPF akhirnya memeriksa
Nurhadi selama 2 jam dengan sekitar
20 pertanyaan. Dari hasil pemeriksaan, TPF makin yakiin bahwa BIN
terlibat pembunuhan Munir.
*11 Mei 2005 TPF melaporkan kerjanya ke Presiden
SBY. Menurut Presiden SBY kerja TPF belum memuaskan. Untuk
itu Presiden SBY akan memimpin
langsung pembicaraan antara TPF, Polri, dan IN.
Presiden SBY kemudian memanggil 3 menteri ke istana untuk
merespon laporan TPF. Mereka adalah Menko
Polhukam, Widodo AS, Menkumham, Hamid Awaluddin, dan Jaksa
Agung Abdulrahman Saleh. Penyidik Badan Reserse Kriminal Polri memeriksa
Nurhadi Djazuli terkait kasus Munir.
*12 Mei 2005 TPF memeriksa dokumen BIN di kantornya
terkait dengan pemeriksaan Nurhadi. TPF juga memeriksa
Kolonel Sumarmo, Kepala Biro
Umum BIN di kantornya. TPF
memandang Sumarmo tidak kooperatif selama pemeriksaan.
*13 Mei 2005 Ketua TPF, Marsudhi Hanafi berencana
akan memeriksa Muchdi PR -mantan Deputi V BIN Bidang Penggalangan dan
Propaganda- dalam waktu dekat.
*16 Mei 2005 Penahanan Pollycarpus
diperpanjang 30 hari lagi. TPF memeriksa
satu lagi anggota BIN secara tertutup dan identitasnya
dirahasiakan. Muchdi PR datang ke Mabes Polri untuk memberikan keterangan
kepada penyidik Polri terkait kasus Munir. Polri tidak merinci hasil
pemeriksaannya kepada wartawan.
*17 Mei 2005 Garuda menskors karyawannya terkait
pemeriksaan Polri dan TPF. TPF bertemu kembali dengan Presiden
SBY -didampingi Jaksa Agung Abdurrahman
Saleh, Kapolri Da'I Bachtiar,
dan Sekretaris Kabinet Sudi
Silalahi. Kali ini TPF melaporkan adanya
kontrak berkali-kali antara Pollycarpus dengan
pejabat BIN, yaitu Muchdi PR antara September-Oktober 2004. Nurhadi
kembali diperiksa oleh TPF.
*19 Mei 2005 KontraS mendapat teror terkait dengan
kasus Munir. TPF mulai berencana memanggil mantan Kepala BIN, Hendropriyono.TPF
bertemu dengan Tim Munir DPR di Gedung MPR/DPR. Dalam pertemuan itu TPF
melaporkan bahwa kerja mereka dihambat oleh BIN.
*20 Mei 2005 Kepala BIN, Syamsir Siregar
membantah menghambat kerja BIN.
Syamsir juga meragukan temuan TPF. Syamsir juga menyatakan kontak
telepon antara Pollycarpus dengan Muchdi PR belum tentu soal Munir.
*24 Mei 2005 TPF mempertanyakan artikel yang dibuat
Hendropriyono di The Jakarta Post dan The Strait Times yang isinya merupakan
klarifikasi Hendropriyono untuk tidak akan menolak panggilan TPF.
Dalam artikel tersebut Hendropriyono membantah
keterlibatan BIN dalam kasus Munir. DPR mendukung pemanggilan
Hendropriyono oleh TPF.
*25 Mei 2005 Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim)
Mabes Polri, Komisaris Jendral Pol Suyitno Landung
menyatakan akan memanggil
anggota aktif Kopassus, Kolonel Bambang
Irawan terkait kasus Munir. Menurut seorang
sumber Bambang Irawan pernah latihan menembak bersama dengan
Pollycarpus. Kapolri berjanji akan tindak lanjuti temuan TPF.
*29 Mei
2005
Hendropriyono mengadukan dua anggota TPF -Usman Hamid dan Rachland Nashidik- ke
Polri dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik.
*30 Mei 2005 TPF mempercepat pemanggilan terhadap
Hendropriyono, dari tanggal 10 Juni menjadi 6 Juni 2005.Hendropriyono mengadu
ke DPR terkait masalahnya dengan TPF.
*31 Mei 2005 Kapolri Da'I Bachtiar berjanji akan
serius menyelesaikan kasus Munir. TPF mempertanyakan
Polri terhadap rekomendasi yang
belum ditindaklanjuti; digelarnya rekonstruksi,
pemeriksaan marathon terhadap
beberapa eksekutif TP Garuda, dan
pemeriksaan terhadap operator kamera pemantau
(CCTV) Bandara Soekarno-Hatta.
*1 Jun 2005 Beberapa LSM mengecam sikap Hendropriyono yang melecehkan
TPF. Hendropriyono dalam sebuah wawancara di Metro TV (31 Mei 2005), menyatakan
TPF sebagai "hantu blau" dan "tidak professional".
TPF gagal periksa dua pejabat BIN
-Nurhadi dan Suparto- setelah mereka menolakdengan
alasan tidak setuju dengan lokasi pertemuan.
*2 Jun
2005 TPF Munir
memeriksa dua awak kabin Garuda, Oedi Irianto dan Yeti Susmiarti.
*3 Jun 2005 TPF gagal memeriksa Muchdi PR.
*6 Jun
2005 Hendropriyono
tidak memenuhi panggilan TPF. Alasannya
pemanggilan dirinya tidak didasari oleh protokol TPF-BIN.
*7 Jun 2005 Tim penyidik Mabes Polri memeriksa kembali Indra
Setiawan, mantan Dirut PT Garuda. Kepala BIN,
Syamsir Siregar meminta
Hendropriyono untuk datang memenuhi
panggilan TPF. TPF menjadwalkan lagi pertemuan dengan Hendropriyono pada
tanggal 9 Juni 2005, kali ini sesuai dengan protokol TPF-BIN.
*8 Jun 2005 TPF gagal memeriksa Muchdi PR untuk
kedua kalinya.
*9 Jun 2005 TPF gagal memeriksa Hendropriyono untuk
kedua kalinya.
*13 Jun 2005 Hendropriyono, lewat
kuasa hukumnya, Syamsu Djalal menyatakan
tidak akan memenuhi panggilan TPF.Penyidik Mabes Polri
menyerahkan berkas perkara Pollycarpus ke
Kejaksaan Tinggi DKI. TPF menyatakan bahwa kasus Munir merupakan pembunuhan
konspiratif.
*14 Jun 2005 Hendropriyono
mendesak Polda Metro Jaya untuk
segera menuntaskan kasus pencemaran nama baiknya. TPF temukan dokumen 4
skenario pembunuhan Munir.
*15 Jun 2005 BIN mengaku tidak mengetahui adanya
dokumen 4 skenario pembunuhan Munir. BIN secara institusional menyurati
Hendropriyono untuk memenuhi panggilan TPF. Mabes Polri
berjanji akan menindaklanjuti temuan
TPF tentang 4 skenario pembunuhan Munir.
*16 Jun
2005
Hendropriyono melewati batas waktu pemanggilan
TPF. TPF memutuskan tidak
akan memanggil Hendropriyono lagi. Hendropriyono
telah menolak 3 kali panggilan TPF.
*17 Jun 2005 TPF bertemu secara tertutup
dengan DPR. Salah satu persoalan yang
disampaikan TPF adalah anggarannya yang belum
turun. Tim Munir DPR juga berjanji akan
memfasilitasi pertemuan antara TPF dengan Hendropriyono.Penyidik Mabes Polri
mengaku sudah memeriksa Hendropriyono terkait dengan kasus Munir. Pemeriksaan
ini diduga dilakukan secara diam-diam.
*19 Jun 2005 Presiden SBY mengaku kecewa kepada
Hendropriyono yang menolak panggilan TPF.
*20 Jun 2005 Hendropriyono bertemu dengan Tim Munir
DPR.
*21 Jun 2005 TPF Munir menolak undangan DPR untuk
dipertemukan dengan Hendropriyono. Unjuk rasa dilakukan
di depan Istana
Merdeka untuk meminta
penuntasan kasus Munir.
*22 Jun 2005 TPF menyelesaikan
laporan akhirnya untuk diserahkan kepada
Presiden SBY. TPF berjanji dalam
laporannya akan menyebutkan
nama-nama yang terlibat dalam pembunuhan
Munir.
*23 Jun 2005 Rekonstruksi kasus kematian Munir
dilakukan.
*24 Jun 2005 TPF menyerahkan laporannya kepada
Presiden SBY. Beberapa rekomendasi diajukan TPF seperti membentuk tim penyidik
baru dan pembentukan komisi khusus baru Presiden SBY berjanji akan
mengawal kasus Munir hingga selesai. Hendropriyono mengadu ke Dewan Pers karena
merasa dirinya mengalami trial by the press pada kasus Munir. DPR mendesak
Polri dan kejaksaan untuk memeriksa ulang mantan pejabat BIN.
*27 Jun
2005
Brigjen Pol Marsudhi -mantan ketua TPF-
ditunjuk menjadi ketua tim penyidik Polri yang
baru untuk kasus Munir. Laporan TPF didistribusikan ke
pejabat terkait oleh Sekretaris Kabinet,
Sudi Silalahi. Mereka adalah Jaksa Agung, Kapolri, Kepala BIN, Panglima
TNI, dan Menteri Hukum dan HAM.
*28 Jun 2005 Mabes Polri mengerahkan 30 penyidik untuk tuntaskan kasus
Munir pasca TPF. Mereka berasal dari Badan Reserse Kriminal, Interpol Polri,
dan Polda Metro Jaya.
*13 Jul 2005 Laporan TPF belum juga
diumumkan kepada publik oleh Presiden SBY.
Pollycarpus jadi tahanan Kejaksaan Tinggi DKI.
*18 Jul 2005 Suciwati bertemu Kapolri Jendral (Pol)
Sutanto dan menyatakan kekecewaannya atas lambannya proses penyidikan Polri.
*20 Jul 2005 Menko Politik, Hukum, dan Keamanan, Widodo AS menyatakan
seluruh temuan TPF untuk keperluan penyelidikan, penyelidikan, dan
penuntutan.
*21 Jul
2005 Juru
Bicara Kepresidenan, Andi Mallarangeng menyatakan tidak ada
keharusan bagi Presiden untuk mengumumkan
tindak lanjut TPF. Dia
juga menyatakan bahwa penanganan kasus Munir akan
dilanjutkan lewat mekanisme biasa.
*26 Jul 2005 Parlemen Uni Eropa
mempertanyakan lambannya perkembangan kasus Munir
dalam kunjungannya ke Komisi I DPR.
*29 Jul 2005 Jaksa Penuntut Umum (JPU)
dari Kejaksaan Negeri Jakarta
Pusat melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan 5 majelis hakim
untuk menangani kasus Munir dengan tersangka Pollycarpus. Mereka adalah Cicut
Sutiyarso (ketua), Sugito, Liliek Mulyadi, Agus Subroto, dan Ridwan Mansyur.
Kapolri Jendral (Pol) Sutanto menyatakan tetap akan melakukan upaya penyidikan.
*1 Ags
2005 Anggota DPR,
Lukman Hakim Saifuddin meminta Presiden SBY untuk mengumumkan temuan TPF.
*9 Ags 2005 Pengadilan untuk
kasus Munir dengan terdakwa
Pollycarpus mulai digelar di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pollycarpus didakwa melakukan pembunuhan
berencana dan diancam hukuman mati. Motif Pollycarpus
dalam membunuh Munir adalah demi menegakkan NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia) karena Munir
banyak mengkritik pemerintah.
Dakwaan ini dipertanyakan
banyak kalangan karena tidak mengikuti temuan TPF yang menyatakan
pembunuhan Munir sebagai kejahatan konspiratif.
Dengan dakwaan ini maka Pollycarpus dianggap sebagai pelaku utama
pembunuhan Munir. Mantan anggota TPF, Usman Hamid dan Rachland Nashidik
ditetapkan Polri sebagai tersangka pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan,
dan fitnah melalui tulisan terhadap Hendropriyono.
*11 Ags
2005 Polisi
menangkap lagi seorang tersangka kasus pembunuhan Munir. Orang itu adalah Ery
Bunyamin, penumpang ke-15 di kelas bisnis.
*12 Ags 2005 Polisi untuk sementara hanya menetapkan
Ery Bunyamin sebagai tersangka pemalsu dokumen.
*17 Ags 2005 Sidang Pollycarpus II.
Pembela Pollycarpus, Moh Assegaf
dalam eksepsinya menyatakan bahwa dakwaan JPU tidak
lengkap, tidak cermat, dan prematur.
*23 Ags 2005 Sidang Pollycarpus
III. JPU, Domu P Sihite (juga mantan
anggota TPF) meminta majelis hakim
untuk menolak eksepsi (nota
keberatan) yang diajukan terdakwa
Pollycarpus.
*30 Ags 2005 Sidang Pollycarpus IV. Majelis hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak eksepsi tim penasihat hukum
Pollycarpus. Dengan demikian siding terus dilanjutkan.
*6 Sep 2005 Sidang Pollycarpus V.
Suciwati (istri Munir) memberikan kesaksian
seputar upaya Pollycarpus untuk mengontak Munir
sebelum keberangkatannya ke Belanda. Saksi kedua
adalah Indra Setiawan (mantan Dirut PT
Garuda). Kesaksian Indra seputar penugasan Pollycarpus
sebagai extra crew pada penerbangan Jakarta-Singapura. Indra Setiawan
hanya mengakui adanya kesalahan administrative
dalam penugasan kerja Pollycarpus.
*7 Sep 2005 Satu tahun persis Munir dibunuh. Peringatan
untuk satu tahun kasus Munir diperingati di berbagai kota di Indonesia; di
Jakarta (di depan kantor BIN), Makasar, Semarang, dll. Aksi keprihatinan juga
dilakukan di Belanda oleh berbagai kelompok aktivis mahasiswa, NGO, dan anggota
parlemen Belanda. DPR lewat Slamet Effendy Yusuf
menyatakan kecewa atas hasil kerja tim
penyidik kasus Munir yang tidak mampu mengungkap keberadaan dalang pelakunya.
*13 Sep 2005 Sidang Pollycarpus VI. Ramelgia
Anwar (mantan Vice President
Corporate Security PT Garuda)
memberikan kesaksian bahwa dia
tidak pernah meminta penugasan Pollycarpus
sebagai extra crew kepada Indra Setiawan.
Hakim kemudian mengkonfrontasikan perbedaan keterangan
antara Ramelgia Anwar dengan Indra Setiawan.
*20 Sep 2005 Sidang Pollycarpus VII.
Pemeriksaan terhadap Rohainil Aini (sekretaris
Chief Pilot Airbus) dan Karmel Sembiring
(Chief Pilot Airbus). Mereka
menyatakan bahwa Pollycarpus sendiri yang meminta jadi extra crew
pada penerbangan GA 974 Jakarta- Singapura. Perubahan jadwal tersebut tidak diketahui
atasan.
*27 Sep 2005 Sidang Pollycarpus VIII. Pemeriksaan
terhadap Eddy Santoso dan Akhirina. Keduanya bagian
administrasi penjadwalan. Mereka
menyatakan bahwa Pollycarpus tidak
dijadwalkan berangkat ke Singapura.
*4 Okt 2005 Sidang
Pollycarpus IX. Pemeriksaan terhadap Hermawan (Crew
Tracking), Sabur Muhammad Taufiq (Kapten Pilot
GA 974
Jakarta-Singapura), dan Alex
Maneklarang.(keuangan Garuda). Pilot
Sabur mengaku tidak tahu
apapun soal penugasan Pollycarpus. Perpindahan
tempat duduk Munir juga tanpa sepengetahuan
Sabur. Munir mendapat penghargaan "Civil
Courage Prize 2005 " dari Yayasan
Northcote Parkinson Fund. Penghargaan tersebut
juga diberikan kepada Min Ko Naing (aktivis
oposisi Myanmar), dan Anna Politkovskaya (jurnalis Rusia).
*5 Okt 2005 Suciwati, istri
Munir mendapat penghargaan dari Time Asia
Magazine sebagai salah satu Asia's Heroes tahun ini.
*11 Okt 2005 Sidang Pollycarpus
X. Pemeriksaan terhadap saksi Brahmanie
Hastawati (purser GA 974) dan Oedi
Irianto (pramugara). Mereka bersaksi beberapa
kali Pollycarpus menghubungi mereka via telepon untuk menyamakan soal
persepsi soal penerbangan GA 974.
*18 Okt 2005 Sidang Pollycarpus
XI. Pemeriksaan terhadap Tri Wiryasmadi
(pramugara), Pantun Mathondang (kapten
pilot GA 974
Singapura-Amsterdam) dan Yeti Susmiarti
(pramugari). Mereka bersaksi bahwa Pollycarpus selama penerbangan jarang di
tempat duduk.
*21 Okt 2005 Sidang Pollycarpus XII. Pemeriksaan terhadap
Tia Ambari (Pramugari), Majib Nasution (Purser), dan Bondan
(Pramugara). Kesaksian mereka menerangkan bahwa
Munir mulai kesakitan sesaat setelah lepas landas dari Changi, Singapura.
*25 Okt
2005 Sidang
Pollycarpus XIII. Pemeriksaan terhadap DR. Tarmizi Hakim (dokter yang
duduk dekat Munir), Asep Rohman (Pramugara), Sri Suharni (Pramugari), dan
Dwi Purwati Titi (Pramugari). Kesaksian hanya
menerangkan bahwa Munir muntah-muntah sebelum meninggal.
Menurut DR Tarmizi kematian Munir memang tidak wajar.
28 Okt 2005 Sidang Pollycarpus XIV.
Kesaksian dari Addy Quresman (Puslabfor
Mabes Polri). Ia mengafirmasi temuan Tim
Forensik Belanda (NFI) bahwa Munir
meninggal karena racun arsenik.
*9 Nov 2005 68 anggota Konggres AS mengirimkan surat kepada Presiden SBY agar segera mempublikasikan laporan TPF. Para anggota Konggres AS tersebut mempertanyakan keserius pemerintah RI dalam menuntaskan kasus Munir.
*9 Nov 2005 68 anggota Konggres AS mengirimkan surat kepada Presiden SBY agar segera mempublikasikan laporan TPF. Para anggota Konggres AS tersebut mempertanyakan keserius pemerintah RI dalam menuntaskan kasus Munir.
*10 Nov 2005 Sidang Pollycarpus XV. Pemeriksaan
terhadap ahli racun (Ridla Bakri) dan ahli forensic (Budi Sampurna).
Ridla memprediksi arsen yang masuk ke Munir lewat makanan atau
minuman. Sementara menurut Budi
Sampurna arsen tidak mungkin diberikan di Jakarta.
*11 Nov 2005 Sidang Pollycarpus XVI.
Pemeriksaan terhadap Choirul Anam, rekan
Munir. Saksi menyatakan sebelum ke Belanda, Munir sering dikontak oleh
BIN.
*15 Nov 2005 Sidang Pollycarpus XVII. Sidang
ditunda karena tidak ada saksi yang hadir. Seharusnya yang hadir adalah Nurhadi
Djazuli (mantan sekretaris utama BIN, sekarang Dubes RI
untuk Nigeria) dan Muchdi PR (mantan Deputi V BIN).
untuk Nigeria) dan Muchdi PR (mantan Deputi V BIN).
*16 Nov 2005 Sidang Pollycarpus
XVIII. Pemeriksaa terhadap Chairul Huda,
ahli hukum pidana. Menurutnya surat tugas Pollycarpus sebagai extra
crew merupakan surat palsu.
*17 Nov 2005 Sidang Pollycarpus XIX.
Pemeriksaan kali ini mendengarkan kesaksian
Muchdi PR (mantan Deputi V BIN). Dia
menyangkal punya hubungan dengan Pollycarpus.
Soal hubungan melalui telepon genggam mereka, Muchdi berkata telepon genggamnya
bisa dipinjamkan kepada siapa saja.
Pembacaan BAP
saksi-saksi yang tidak bisa hadiR, Nurhadi
Djazuli, Agustinus Krismato, Hian Tian alias Eni, Lie Khie Ngian, Lie Fon
Nie, Meha Bob Hussain. Sebelum sidang terjadi aksi pemukulan oleh sekelompok
preman terhadap para aktivis Kontras yang menggelar mimbar bebas.
*18 Nov 2005 Sidang Pollycarpus
XX. Pemeriksaan terhadap
kesaksian terdakwa Pollycarpus. Pollycarpus mengatakan
tidak pernah mengontak Munir sebelum
penerbangan dan sebenarnya hanya basa basi memberikan kursi di kelas
bisnis.
*28 Nov 2005 Sidang Pollycarpus XXI. Sidang ditunda
karena tim JPU tidak hadir. Seharusnya sidang membacakan tuntutan terhadap
Pollycarpus.
*1 Des 2005 Sidang Pollycarpus
XXII. JPU menuntut hukuman
penjara seumur hidup untuk Pollycarpus.
*12 Des 2005 Sidang Pollycarpus XXIII.
Pollycarpus membacakan pledoinya dan menyatakan tidak bersalah. Kepala Bidang
Penerangan Umum Polri, Kombes Bambang Kuncoko menyatakan polisihanya menunggu
hasil persidangan Pollycarpus. Jika tidak ditemukan bukti baru, maka penyidikan
tidak akan dilanjutkan.
0 comments:
Post a Comment