BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya memang
diperlukan karena bangsa kita telah melakukan perubahan-perubahan yang mendasar
atas dasar undang-undang dasar 1945. Dalam rangka perubahan pertama sampai
dengan perubahan keempat UUD 1945. Bangsa itu telah mengadopsi prinsip-prinsip
baru dalam system ketenegaraan, yaitu antara lain dengan adanya system prinsip
“Pemisahan kekuasaan dan cheeks and balance” sebagai pengganti system supremasi
parlemen yang berlaku sebelumnya.
Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu diadakan
mekanisme untuk memutuskan sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antara
lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat
sederajat, yang kewenanganya ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Maka dari
itu MA di bentuk agar (the supreme law of the land ) benar-benar dijalankan
atau ditegakan dalam penyelenggaran kehidupan kenegaraan sesuai dengan
prinsip-prinsip negara Hukum modern, dimana Hukumlah yang menjadi factor bagi
penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu
bangsa.
B.
Tujuan Penulisan
Makalah ini di buat untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran PKn.
C.
Rumusan Masalah
a.
Apa yang di maksud dengan Mahkamah Agung ?
b.
Apa saja tugas, fungsi, dan wewenang Mahkamah Agung ?
c.
Bagaimana sejarah Mahkamah Agung ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mahkamah Agung
Mahkamah agung adalah lembaga tertinggi dalam system
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah agung membawahi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara.
Saat ini lembaga Mahkamah Agung berdasarkan pada UU. No. 48
Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman UU ini juga telah mencabut dan
membatalkan berlakunya UU No. 4 tahun 2004. Undang-undang ini di susun karena
UU No.4 Tahun 2004 secara substansi dinilai kurang mengakomodir masalah
kekuasaan kehakiman yang cakupannya cukup luas, selain itu juga karena adanya
judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas pasal 34 UU No.4 Tahun 2004, karena
setelah pasal dalam undang-undang yang di-review tersebut diputus bertentangan
dengan UUD, maka saat itu juga pasal dalam undang-undang tersebut tidak
berlaku, sehingga untuk mengisi kekosongan aturan/hukum, maka perlu segera
melakukan perubahan pada undang-undang dimaksud.
B.
Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung
Menurut Undang-undang Dasar 1945, wewenang Mahkamah Agung adalah:
Ø Mengadili pada tingkat kasasi
terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah
Ø Mahkamah Agung, kecuali
undang-undang menentukan lain;
Ø menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
Ø kewenangan lainnya yang diberikan
undang-undang.
Ø Sedangkan Fungsi Mahkamah Agung
menurut UUD 1945 ada 5, yaitu:
1. Fungsi Peradilan
Ø Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi,
Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman
dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga
agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan
secara adil, tepat dan benar.
Ø Disamping tugasnya sebagai
Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada
tingkat pertama dan terakhir
Ø semua sengketa tentang kewenangan
mengadili. permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang
Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)
Ø semua sengketa yang timbul karena
perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang
Ø Republik Indonesia berdasarkan
peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No
14 Tahun 1985)
Ø Erat kaitannya dengan fungsi
peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara
materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu
peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari
tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun
1985).
2. Fungsi Pengawasan
Ø Mahkamah Agung melakukan pengawasan
tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan
tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan
dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
Ø Mahkamah Agung juga melakukan
pengawasan :
Ø Terhadap pekerjaan Pengadilan dan
tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan
tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni
dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan
Ø setiap perkara yang diajukan
kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan
teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan
tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor
14 Tahun 1985).
Ø Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris
sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung
Nomor 14 Tahun 1985).
3. Fungsi Mengatur
Ø Mahkamah Agung dapat mengatur lebih
lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan
apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang
Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum
yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27
Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
Ø Mahkamah Agung dapat membuat
peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara
yang sudah diatur Undang-undang.
4. Fungsi Nasehat
Ø Mahkamah Agung memberikan
nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada
Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun
1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara
dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah
Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan
untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi
juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai
rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur pelaksanaannya.
Ø Mahkamah Agung berwenang meminta
keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga
peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38
Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
5. Fungsi Administratif
Ø Badan-badan Peradilan (Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara)
sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara
organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada
dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1)
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah
Agung.
Ø Mahkamah Agung berwenang mengatur
tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan
Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman).
C.
Sejarah Mahkamah Agung
Masa
Penjajahan Belanda
Justitie Hooggerechtshof Kriminil : Landraad Raad van
justitie Hooggerechtshof.
Pengadilan
Hooggerechtshof merupakan Pengadilan Tertinggi dan berkedudukan di Jakarta
dengan daerah hukum meliputi seluruh Indonesia. Hooggerechtshof terdiri dari
seorang Ketua dan 2 orang anggota, seorang Pokrol jendral dan 2 orang Advokat
Jendral, seorang Panitera dimana perlu dibantu seorang Panitera Muda atau
lebih. Jikalau perlu Gubernur Jendral dapat menambah susunan Hooggerechtshof
tersebut dengan seorang Wakil Ketua dan seorang/lebih anggota lagi.
Tugas/kewenangan
Hooggerechtshof :
1) mengawasi jalannya peradilan di
seluruh Indonesia sehingga dapat berjalan secara patut dan wajar.
2) Mengawasi perbuatan/kelakuan Hakim
serta Pengadilan-pengadilan.
3) Memberi tegoran-tegoran apabila
diperlukan.
4) Berhak minta laporan,
keterangan-keterangan dari semua pengadilan baik sipil maupun militer, Pokrol
Jendral dan lain pejabat Penuntut Umum.
5) Sebagai tingkat pertama dan terakhir
mengadili perselisihan-perselisihan tentang kekuasaan mengadili diantara,
pertama: pengadilan-pengadilan yang melakukan peradilan atas nama Raja,
diantara pengadilan-pengadilan ini dengan pengadilan-pengadilan adat di dalam
daerah yang langsung diperintah oleh Gubernemen, dimana rakyat dibiarkan
mempunyai peradilan sendiri. Kedua: diantara pengadilan-pengadilan tersebut
diatas, dengan pengadilan-pengadilan Swapraja, sepanjang ini dimungkinkan
menurut perjanjian-perjanjian politik dengan daerah-daerah pengadilan yang
berselisih tidak ada di dalam daerah hukum appelraad yang sama, dan mengadili
di antara appelraad-appelradd. Dan Ketiga: diantara pengadilan sipil dan
pengadilan militer, kecuali jikalau perselisihan itu timbul diantara
Hooggerechtshof sendiri dengan Hoogmilitairgerechtshof, didalam hal mana
diputuskan oleh Gubernur Jendral.
Masa Penjajahan Jepang
Pada jaman penjajahan Jepang, badan Kehakiman ter¬tinggi
disebut Saikoo Hooin. Kemudian dihapuskan pada tahun 1944 dengan Osamu Seirei
(Undang-Undang) No. 2 tahun 1944, sehingga segala tugasnya dilimpahkan kepada
Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi).
Berikut
ini isi Osamu Seirei (Undang-undang Jepang) No. 2 tahun 1944 :
OSAMU
SEIREI No. 2
Ø Tentang mengoebah soesoenan
pengadilan dan sebagainja
Pasal
1
Ø Oentoek sementara waktoe, pekerdjaan
Saikoo Hooin (Pengadilan Agoeng) den Saikoo Kensatu Kyuku (Kedjaksaan
Pengadilan Agoeng) dihentikan, serta hal-hal jang termasoek dalam kekoeasaannja
dioeroes menoeroet atoeran pasal 2 sampai pasal 6.
Pasal
2
Ø Perkara jang diadili lagi oleh
Saikoo Hooin, jang dimaksoed dalam pasal 9, Oendang-oendang No. 34, tahoen 2602
(Osamu Seirei No. 3), jaitoe perkara jang telah diadili oleh Gunsei Hooin
(Pengadilan Pemerin¬tah Balatentera, ketjuali Kaikyoo Kootoo Hooin atau
Mahkamah Islam Tinggi den Sooryo Hooin atau Pengadilan Agama, selandjoetnja
demi¬kian) - dalamnja tidak tennasoek Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi) -,jang
ada didaerah kekoeasaan Kootoo Hooin, diadili oleh Kootoo Hooin itoe dengan
permoesyawaratan tiga orang hakim; akan tetapi djika dipandang perloe oleh
Kootoo Hooin itoe, maka perkara itoe boleh Diserahkan kepada Kootoo Hooin lain.
Atjara mengadili perkara jang
diadili lagi dan hal-hal jang perloe tentang oeroesan jang dimaksoed pada ajat
diatas, heroes menoeroet petoendjoek Gunseikan.
Pasal
3.
Ø Kekoeasaan Saikoo Hooin jang
ditetapkan dalam pasal 157, ,, Reglement op de Rechterlbke Organisatie"
dilakoekan oleh Kootoo Hooin terhadap Gunsei; Hooin jang ada dalam daerah
kekoeasannja.
Ø Kekoeasaan Saikoo Hooin jang.
ditetapkan dalam pasal 162, „Reglement op de Rechterlijke Organiwtie"
dilakoekan oleh Djakarta Kootoo Hooin.
Pasal
4
Ø Kekoeasaan djabatan ketoea. Saikoo
Hooin menoeroet atoeran kalimat penghabisan dalam ajat 2, pasal 5,
Oendang-oendang No. 34, tahom 2602 (Owmu Seirei No. 30) dilakoekan oleh ketoea
Kootoo Hooin.
Pasal
5
Ø Kekoeasam djabaan ketoea Saikoo
Kenwtu Kyoku, termasoek djoega kekoeawan tentang hal-hal jang ditetapkan lalam
pasai 180 „Reglement op de Rechterlijke Organiwtie" dilakoekan oleh
Gunsei¬kaobu Sihoobutyoo atas perintah Gunseikm.
Pasal
6
Ø Selain dari pada atoeran jang
ditetapkan dalam pasal 2 sampai pasal 5, maka hal-hal jang termasoek dalam
kekoesaan Saikoo Hooin, Saikoo Kensatu Kyoku atau kekoeasaan ketoenja
masing-masing dilakoekan oleh Gunseikanbu Sihoobutyoo, atau Kootoo Hooin,
Kootoo Kensatu Kyoku ataupoen oleh ketoea Kootoo Hooin atau Kootoo Kensatu
Kyoku menoeroet petoendjoek Gunseilran.
Pasal
7
Ø Oentoek mengoeroes segala sebahagian
pekerdjaan Kootoo Hooin atau
Kootoo Kensstu Kyoku, maka Gunseikan
boleh menjoeroeh Simpankan, Kensatukan atau pegawai lain dari Kootoo Hooin atau
Ken¬satu Kyoku oentoek bekerdja ditempat jang perloe, jang boekan tempat
kedoedoekan Kootoo Hooin atau Kootoo Kensatu Kyoku.
Pasal
8
Ø Dalam hal atjara mengadili parkara,
maka hal-hal jang tidak dapat dioeroes menoeroet atoeran jang soedah-soedah
haroes dioeroes menoe¬roet petoendjoek Gunseikan, demikian djoega hal-hal jang
tidak dapat dioeroes menoeroet atoeran jang soedah-soedah delam hal oeroesan
kehakiman jang lain dari pada atjara mengadili perkara.
Atoeran
tambahan
Ø Oendang-oendang ini moelai berlakoe
pada tanggal 15, boelan 1, tahoen Syoowa 19 (2604).
Djakarta,
tanggal 14, boelan 1, tahoen Syoowa 19, (2604)
(Saikoo
Sikikan)
Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia Merdeka, pada saat berlakunya
Undang-undang Dasar 1945 belum ada badan Kehakiman yang tertinggi. Satu satunya
ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24
ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Maka dengan keluarnya Penetapan Pemerintah No.
9, sampai dengan tahun 1946 ditunjuk kota Jakarta Raya sebagai kedudukan
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan tersebut hanya penunjukan
tempatnya saja. Penetapan Pemerintah tersebut pada alinea II berbunyi
“Menundjukkan sebagai tempat kedudukan Mahkamah Agung tersebut ibu-kota
DJAKARTA-RAJA.”
Eksistensi Mahkamah Agung ditetapkan setelah diundangkannya
Undang-Undang No. 7 tahun 1947 tentang susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan
Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.
Undang-Undang
No. 7 tahun 1947 kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948 yang
dalam pasal 50 ayat 1 menyebutkan :
1. Mahkamah Agung Indonesia ialah
pengadilan federal tertinggi.
2. Pengadilan-pengadilan federal yang
lain dapat diadakan dengan Undang-Undang federal, dengan pengertian, bahwa
dalam Distrik Federal Jakarta akan dibentuk sekurang-kurangnya satu pengadilan
federal yang mengadili dalam tingkat pertama, dan sekuran¬kurangnya satu
pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat apel.
Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar Jakarta yaitu
pada bulan Juli 1946 di Jogyakarta dan kembali ke Jakarta pada tanggal 1
Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Dengan demikian
Mahkamah Agung berada dalam pengungsian selama tiga setengah tahun.
Mulai pertama kali berdirinya Mahkamah Agung, Kejaksaan
Agung itu berada dibawah satu atap dengan Mahkamah Agung, bahkan: bersama
dibawah satu departemen, yaitu: Departemen Kehakiman. Dulu namanya: Kehakiman
Agung pada Mahkamah Agung, seperti Kejaksaan Negeri dulu namanya: Kejaksaan
Pengadilan Negeri.
Kejaksaan Agung mulai memisahkan diri dari Mahkamah Agung
yaitu sejak lahirnya Undang-Undang Pokok Kejaksaan (Undang-Undang No. 15 tahun
1961) dibawah Jaksa Agung Gunawan, SH yang telah menjadi Menteri Jaksa Agung.
Para pejabat Mahkamah Agung (Ketua, Wakil Ketua, Hakim
Anggota dan Panitera) mulai diberikan pangkat militer tutiler adalah dengan
Peraturan Pemerintah 1946 No. 7 tanggal 1 Agustus 1946, sebagai pelaksanaan
pasal 21 Undang-Undang No. 7 tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara.
Pemerintah Belanda Federal yang mengusai daerah-daerah yang
dibentuk oleh Belanda sebagai negara-negara Bagian seperti Pasundan, Jawa
Timur, Sumatera Timur, Indonesia Timur, mendirikan Pengadilan Tertinggi yang
dinamakan Hoogierechtshof yang beralamat di Jl. Lapangan Banteng Timur 1
Jakarta, disamping Istana Gubemur Jenderal yang sekarang digunakan sebagai
gedung Departemen Keuangan.
Hooggerechtshof juga menjadi instansi banding terhadap
putusan Raad no Justitie.Mr. G. Wjjers adalah Ketua Hooggerechtshof terakhir,
yang sebelum perang dunia ke II terkenal sebagai Ketua dari Derde kamar Read
van Instills Jakarta yang memutusi perkara-perkara banding yang mengenai Hukum
Adat.
Pada
saat itu Mahkamah Agung masih tetap berkuasa di daerah-¬daerah Republik
Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan dipulihkan kembali kedaulatan
Republik Indonesia area seluruh wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat) maka
pekerjaan Hooggerechtshof harus diserahkan kepada Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Pada tanggal 1 Januari 1950 Mr. Dr. Kusumah Atmadja (Ketua
MA RIS) mengambil alih gedung dan personil serta pekerjaan Hooggerechtshof.
Dengan demikian maka para anggota Hooggerechtshof dan Procurer General
meletakkan jabatan masing-masing dan selanjutnya pekerjaannya diserahkan pada
Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat.
Mahkamah Agung pada saat itu tidak terbagi dalam
majelis-majelis. Semua Hakim Agung ikut memeriksa dan memutus baik
perkara-perkara Perdata maupun perkara-perkara Pida-na. Hanya penyelesaian
perkara pidana diserahkan kepada Wakil Ketua.
Sebagaimana lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk suatu
Federasi atau Serikat, maka demikian pula dalam negara Republik Indonesia
Serikat diadakan 2 macam Pengadilan; yaitu Pengadilan dari masing-masing negara
Bagian disatu pihak.
Pengadilan dari Federasi yang berkuasa disemua negara-negara
Bagian dilain pihak untuk seluruh wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS) ada
satu Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat sebagai Pengadilan Tertinggi,
sedang lain Badan-Badan pengadilan menjadi urusan. masing-masing negara Bagian.
Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung Republik Indo¬nesia Serikat adalah
Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tanggal 6 Mei 1950 (I-N. tahun 1950 No. 30)
yaitu tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat
yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950.
Undang-Undang tersebut adalah hasil pemikiran Mr. Supomo
yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat,
yang pertama (Menteri Kehakiman dari negara Bagian Republik Indonesia di Yogya
adalah Mr. Abdul Gafar Pringgodig¬do menggantikan Mr. Susanto Tirtoprodjo -
lihat halaman 34. "Kenang-kenangan sebagai Hakim selama 40 tahun mengalami
tiga jaman" Oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro - terbitan tahun 1974). Menurut
Undang-Undang Dasar RIS pasal 148 ayat 1 Mahkamah Agung merupakan forum
privilegiatum bagi pejabat-pejabat tertinggi negara. Fungsi ini telah
dihapuskan sewaktu kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Beruntunglah dengan keluarnya Undang-Undang No. 1 tahun 1950
(I.N. tahun 1950 No. 30) lembaga kasasi diatur lebih lanjut yang terbatas pada
lingkungan peradilan umum saja. Pada tahun 1965 diundangkan sebuah
Undang-Undang No. 13 ta¬hun 1965 yang mengatur tentang: Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Sayang sekali bahwa Undang-Undang
tersebut tidak memikirkan lebih jauh mengenai akibat hukum yang timbul setelah
diundangkannya tanggal 6 Juni 1965, terbukti pasal 70 Undang-Undang tersebut
menyatakan Undang-Undang Mahkamah Agung No. 1 tahun 1950 tidak berlaku lagi.
Sedangkan acara berkasasi di Mahkamah Agung diatur secara lengkap dalam
Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut. Timbullah suatu problema hukum yaitu
adanya kekosongan hukum acara kasasi. Jalan keluar yang diambil oleh Mahkamah
Agung untuk mengatasi kekosongan tersebut adalah menafsirkan pasal 70 tersebut
sebagai berikut:
Oleh karena Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut
disamping mengatur tentang susunan, kekuasaan Mahkamah Agung, mengatur pula
tentang jalannya pengadilan di Mahkamah Agung, sedangkan Undang-Undang No. 13
tahun 1965 tersebut hanya mengatur tentang susunan, kedudukan Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, dan, tidak mengatur tentang
bagaimana beracara di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menganggap pasal 70
Undang-Undang No. 13 tahun 1965 hanya menghapus Undang-Undang No. 1 tahun 1950
sepanjang mengenai dan kedudukan Mahkamah Agung saja, sedangkan bagaimana jalan
peradilan di Mahkamah Agung masih tetap memperlakukan Undang-Undang No. 1 tahun
1950.
Pendapat
Mahkamah Agung tersebut dikukuhkan lebih lanjut dalam Jurisprudensi Mahkamah
Agung yaitu dengan berpijak pada pasal 131 Undang-Undang tersebut.
Perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undng No. 14 tahun
1970 tentang "Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman" tanggal
17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah
Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai
badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari
Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan
yang masing-masing terdiri dari:
1.
Peradilan Umum;
2.
Pemdilan Agama;
3.
Peradilan Militer;
4.
Peadilan Tata Usaha Negara.
Hakim
Agung harus mempunyai syarat sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia
b. Berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945
dan tidak pernah memusuhi Revolusi Indonesia
c. Berjiwa dan mengamalkan Pancasila
dan Manipol serta segala pedoman pelaksanaannya
d. Sarjana Hukum
e. Ahli Hukum-bukan Sarjana Hukum
f. Berumur serendah-rendahnya 35 tahun
g. Berpengalaman sedikit-dikitnya 10
tahun dalam bidang hukum
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Salah satu produk informasi ketatanegaraan yang kita bangun
setelah perubahan pertama (1999), kedua (2000), ketiga (2001), dan keempat
(2002), UUD 1945 adalah dibentuknya MA. Mahkamah agung membawahi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara. Maka dari
itu MA dibentuk agar (the supreme law of the land ) benar-benar dijalankan atau
ditegakan dalam penyelenggaran kehidupan kenegaraan sesuai dengan
prinsip-prinsip negara Hukum modern, dimana Hukumlah yang menjadi factor bagi
penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu
bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Zamroni,
2009. Sejarah Mahkamah Agung: (Online),
(http/www.zamroni.com/40-sejarah-mahkamah-agung.html, diakses tanggal 7 April
2011).
0 comments:
Post a Comment