BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Terciptanya kehidupan yang kondusif, nyaman, dan tentram dalam berbangsa
dan bernegara merupan suatu momentum yang dinanti-nantikan oleh sebagian
besar penghunyi republik ini. Adapun untuk mewujudkan cita-cita
tersebut adalah dengan cara mensterilisasi serta memperbaiki beberapa
hal yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat di
Negara ini, salah satunya adalah
masalah penegakan hukum. Penegakan hukum pada
hakikatnya merupakan interaksi antara berbagaiperilaku
manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalambingkai aturan yang
telah disepakati bersama. Oleh karena
itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai
proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik.
Namun proses penegakan hukum
mempunyai dimensi yang lebihluas daripada
pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi
perilaku manusia.
Secara konseptual, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar dalam kaidah-kaidah yang
mantap,mengejewantah, dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup.
Namun yang terjadi pada saat ini jika
kita mengamati, melihat dan
merasakan bahwapenegakan hukum di Negara ini berada pada kondisi yang tidak
menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan
kinerja aparat penegak hukum, contohnya dalampemberantasan korupsi,
merebaknya mafia peradilan, pelanggaran hukum dalam penelitian
APBN dan
APBD di kalangan birokrasi. Daftar ketidakpuasan masyarakatdalam penegakan hukum semakin bertambah panjang apabila
membuka kembalilembaran-lembaran lama seperti kasus pengambilan tiga buah
kakao oleh Minah, kasus pencurian dua buah semangka di Kediri, kasus
pengambilan dua buah kapas di Jawa Timur, dan kasus Prita Mulyasari, serta
masih banyak kasus-kasus lain.
Pengadilan yang merupakan representasi utama
wajah penegakan hukumdituntut untuk mampu
melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula
keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial
melalui putusan-putusanhakimnya. Kegagalan lembaga
peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum di atastelah
mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata
hukumdan lembaga-lembaga hukum. Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian
masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum telah
berada pada titik jenuh. Hampir setiap saat kita dapat
menemukan berita, informasi, laporan atau ulasan
yangberhubungan dengan lembaga-lembaga hukum kita. Salah satu
permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua adalah
merosotnya rasa hormat masyarakatterhadap wibawa hukum.
Bertitik tolak dari kenyataan di atas, maka perlu dikaji lebih eklusif
mengenai masalah penegakan hukum, lebih spesifiknya mengenai keadilan karena
banyak spekulasi-spekulasi negatif yang berkembang di tengah masyarakat yang
mengatakan bahwa penegakan hukum saat ini sudah mulai menjauh dari
keadilan yang dicita-citakan oleh masyarakat
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan
latar belakang di atas, maka dapat di tarik beberapa rumusanmasalah yang akan
dibahas dalam makalah ini, antara lain:
a. Apakah
hubungan hukum dan keadilan?
b. Apakah
Pengadilan sudah berfungsi sebagai tempat mencari keadilan?
c. Apakah
penegakan hukum saat ini sudah relevan dengan keadilan yang dicita-citakan oleh
masyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum dan Keadilan
a. Teori
Keadilan
Berbicara mengenai keadilan, kiranya perlu meninjau berbagai teori para
ahli. Salah satunya adalah Plato. Muslehuddin di dalam bukunya Philosophy
of Islamic Law and Orientalists, sebagaimana dikutip oleh Abdul Ghafur
Anshori menyebutkan pandangan Plato sebagai berikut:
In his view, justice
consists in a harmonious relation, between the various parts of the social
organism . Every citizen must do his duty in his appointed place and do the
thing for which his nature is best suited.
Dalam mengartikan keadilan, Plato sangat dipengaruhi oleh eita-eita
kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai
organisme sosial. Setiap warga Negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan
posisi dan sifat alamiahnya.[7] Dari
sini terkesan pemahaman bahwa, keadilan dalam konsep Plato sangat terkait
dengan peran dan fungsi individu dalam masyarakat.
Lain halnya dengan Aristoteles, menurutnya keadilan berisi suatu unsur
kesamaan, bahwa semua benda-benda yang ada di alam ini dibagi secara rata yang
pelaksanaannya dikontrol oleh hukum. Dalam pandangan Aristoteles keadilan
dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, keadilan distributif,
adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya
memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip
kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu
keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan
serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh
hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara
mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi
atas milik nya yang hilang.
Aristoteles dalam mengartikan keadilan sangat dipengaruhi oleh unsur
kepemilikan benda tertentu. Keadilan ideal dalam pandangan Aristoteles adalah
ketika semua unsur masyarakat mendapat bagian yang sama dari semua benda yang
ada di alam. Manusia oleh Aristoteles dipandang sejajar dan mempunyai hak yang
sama atas kepemilikan suatu barang (materi).
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa
yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain
berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh
jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya
bagi masyarakat.
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang
salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan
korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan;
jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu
diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan
terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan
korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak
bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan
distributif merupakan bidangnya pemerintah.
Sementara itu Soekanto menyebut dua kutub citra keadilan yang harus melekat
dalam setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagai tindakan adil. Pertama,
Naminem Laedere, yakni "jangan merugikan orang lain", secara
luas azas ini berarti " Apa yang anda tidak ingin alami, janganlah
menyebabkan orang lain mengalaminya". Kedua, Suum Cuique
Tribuere, yakni "bertindaklah sebanding". Secara luas azas
ini berarti "Apa yang boleh anda dapat, biarkanlah orang lain berusaha
mendapatkannya". Azas pertama merupakan sendi equality yang
ditujukan kepada umum sebagai azas pergaulan hidup. Sedangkan azas kedua
merupakan azas equity yang diarahkan pada penyamaan apa yang
tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak sama.
Terlepas dari beberapa pendapat dari para ahli di atas maka perlu diambil
benang merah tentang teori keadilan tersebut, agar pertanyaan apa itu keadilan
dapat dijawab dengan gamblang dan komplit serta universal. Keadilan baru dapat
dikatakan bersifat universal jika dapat mencakup semua persoalan keadilan
sosial dan individual yang muncul. Universal dalam penerapannya mempunyai arti tuntutan-tuntutannya
harus berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Dapat diuniversalkan dalam arti
harus menjadi prinsip yang universalitas penerimaannya dapat dikembangkan
seluruh warga masyarakat.
Agar dapat dikembangkan dan membimbing tindakan warga masyarakat, maka
prinsip-prinsip tersebut harus dapat diumumkan dan dimengerti setiap orang.
Masalah keadilan muncul ketika individu-individu yang berlainan mengalami
konflik atas kepentingan mereka, maka prinsip-prinsip keadilan harus mampu
tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan masalah
keadilan. Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan menjadi
prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata "setuju", tetapi
benar-benar merupakan jelmaan kesepakatan yang mengikat dan mengandung isyarat
komitmen menjaga kelestarian prinsip keadilan tersebut.
b. Hukum dan Keadilan
Tujuan akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang
terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum
yang paling cocok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat
dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum
konkrit, yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka
hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum
lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan.
Dengan kata lain, adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang
hukum. Sifat adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum adalah karena hukum
dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya manusia wajib
membentuk hidup bersama yang baik dengan mengaturnya secara adil. Dengan kata
lain kesadaran manusia yang timbul dari hati nurani tentang tugas sesui
pengemban misi keadilan secara spontan adalah penyebab mengapa keadilan menjadi
unsur konstitutif hukum. Huijbers menambahkan alasan penunjang mengapa keadilan
menjadi unsur konstitutif hukum:
a. Pemerintah
negara manapun selalu membela tindakan dengan memperlihatkan keadilan yang
nyata di dalamnya
b. Undang-undang
yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan seringkali dianggap sebagai
undang-undang yang telah usang dan tidak berlaku lagi.
c. Dengan
bertindak tidak adil, suatu pemerintahan sebenamya bertindak di luar
wewenangnya yang tidak sah seeara hukum.
Khan, seorang Professor and Head Department of Political Science
Univesity of Sind sebagaimana dikutip Abdul Ghofur Anshori,
mengunggkapkan:
Every state has
undertaken to eradicate the scourges of ignorance disease, squalor, hunger and
every type of injustice from among its citizens so that everybody may pursue a
happy life in a free way.
Dari ungkapan tersebut tergambar sebuah pengertian, bahwa tujuan akhir
hukum berupa keadilan harus dicapai melalui sebuah institusi legal dan
independen dalam sebuah negara. Hal tersebut menunjukkan pentingnya mewujudkan
keadilan bagi setiap warga negara (manusia) sebagai orientasi hukum. Terutama
setelah perang dunia kedua, seringkali akibat pengalaman pahit yang
ditinggalkan kaum Nazi yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk membentuk
undang-undang yang melanggar norma-norma keadilan, makin banyak orang yang
sampai pada keyakinan bahwa hukum harus berkaitan dengan prinsip-prinsip keadilan,
untuk dapat dipandang sebagai hukum. Bila tidak, maka hukum hanya pantas
disebut sebagai tindakan kekerasan belaka.[15]
Penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum
tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya adalah keadilan.
Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di masyarakat
tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan proses yang
bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata
bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang
berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di antara dua
kutub tersebut. Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan
pada saat yang lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya. Keadilan yang
mendekati kutub Naminem Laedere adalah pada saat manusia
berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi
jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka
yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Suum Cuique
Tribuere. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui suatu
tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan
jasmani maupun rohani.
B. Pengadilah Sebagai Tempat Mencari Keadilan
Bagi Masyarakat
Satjipto Rahardjo berpendapat, untuk menyebarkan fora pendistribusi
keadilan tidak semestinya terkonsentrasi hanya pada satu lembaga yang bernama
pengadilan. Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi
keadilan tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum modern di
Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu
institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari
luar. Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern
yang kita pakai tetap merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.” Oleh
sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa Indonesia
disebabkan menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum modern sebagai
kaidah positif menjadi kaidah cultural.
Persoalannya, karena sistem hukum modern yang liberal itu tidak
dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat,
melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu. Di samping itu juga, akibat
sistem hukum liberal tidak dirancang untuk memberikan keadilan substantif, maka
seorang dengan kelebihan materil akan memperoleh “keadilan” yang lebih daripada
yang tidak.
Apabila kita terus menerus berpegang kepada doktrin liberal, maka kita akan
tetap berputar-putar dalam pusaran kesulitan untuk mendatangkan atau
menciptakan keadilan dalam masyarakat. Dalam rangka melepaskan diri dari
doktrin liberal itulah, maka gagasan orang-orang atau pihak-pihak untuk mencari
dan menemukan keadilan melalui forum alternatif di luar lembaga pengadilan
modern sesungguhnya merupakan upaya penolakan terhadap cara berpikir hukum yang
tertutup. Hal itu disebabkan para pencari keadilan masih sangat merasakan,
betapa pun tidak sekuat seperti pada abad ke-sembilanbelas, filsafat liberal
dalam hukum dewasa ini masih sangat besar memberi saham terhadap kesulitan
menegakkan keadilan substansial (substantial justice).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Pengadilan di sini bukan
diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai
pengertian yang abstrak, yaitu “hal memberikan keadilan”. Hal memberikan
keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam
memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan. Konkritnya kepada
yang mohon keadilan apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.[21] Eksistensi
pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses peradilan
dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat, tugas-tuganya
diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum
serta institusi peradilan di negara ini ditentukan oleh kredibilitas dan
profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa serta
menegakkan keadilan.
Jadi, para hakim dituntut untuk secara totalitas melibatkan dirinya
pada saat membuat putusan, bukan hanya mengandalkan kemahirannya
mengenai perundang-undangan. Menurut Roeslan Saleh, seorang hakim
diharapkan senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum, sehingga hukum baginya
merupakan hakekat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum sebagai
suatu rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi kemerdekaannya,
melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang mengisi kemerdekaannya.
Oleh karena “hukum itu bukan semata-mata peraturan atau undang-undang, tetapi
lebih daripada itu: ‘perilaku.’ Undang-undang memang penting dalam negara
hukum, akan tetapi bukan segalanya dan proses memberi keadilan kepada
masyarakat tidak begitu saja berakhir melalui kelahiran pasal-pasal
undang-undang.”
Seperti telah diutarakan di muka, bahwa dalam sistem hukum di manapun di
dunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan melalui lembaga pengadilannya.
Namun demikian kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum
modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbul pertanyaan “apakah
pengadilan itu tempat mencari keadilan atau kemenangan?”
Keadilan memang barang yang abstrak dan karena itu perburuan terhadap
keadilan merupakan usaha yang berat dan melelahkan. Sementara itu, pengadilan
sebagai institusi pendistribusi keadilan telah menjadi institusi modern yang
dirancang secara spesifik bersamaan dengan munculnya negara modern sekitar abad
ke delapan belas. Oleh sebab itu, pekerjaan mengadili tidak lagi hanya bersifat
mengadili secara substansial seperti pada masa lampau ketika Khadi Justice, yaitu
suatu peradilan yang tidak berorientasi kepada “fixed rules of formally
rational law,” melainkan kepada hukum substantif yang bertolak dari
postulat-postulat etika, religi, politik, dan lain-lain pertimbangan
kemanfaatan. Setelah menjadi institusi modern, pengadilan merupakan penerapan
dari prosedur yang ketat.
Berdasarkan optik sosiologi hukum yang lebih memperhatikan fungsi dari
badan yang menjalankan fungsi mengadili, maka dalam rangka menemukan keadilan
serta dimana keadilan diputuskan, faktor lembaga atau badan pemutus keadilan
yang diakui menjadi tidak penting. Putusan tentang keadilan dapat dilakukan
dimana saja dalam masyarakat, tidak perlu harus di pengadilan. Oleh karenanya,
menegakkan dan menemukan keadilan tidak semata-mata harus dilakukan melalui
struktur formal lembaga pengadilan. Fungsi mengadili dapat dilakukan dan
berlangsung di banyak lokasi, sehingga Marc Galanter mengungkapkan dengan
sebutan “justice in many rooms.” Atas dasar hal itu,
maka memilih forum arbitrase atau mediasi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa
bisnis merupakan kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan
dari menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang
formatnya lebih tidak terstruktur secara formal.
Namun demikian, bentuk yang disebut terakhir itu diyakini oleh para
penggunanya akan mampu melahirkan keadilan substansial. Padahal selama beberapa
dekade masyarakat di sejumlah negara, termasuk di Indonesia memberikan
kepercayaan kepada lembaga pengadilan untuk mengelola sengketa yang sedang
dihadapi, dengan harapan akan memperoleh keadilan sebagaimana secara normatif
dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi
faktanya lembaga pengadilan telah terbukti tidak mampu memenuhi harapan
masyarakat pencari keadilan. Banyak faktor memang yang menyebabkan pengadilan
dalam perjalanan sejarahnya menjadi seperti itu.
C. Relevansi Penegakan
Hukum dengan Keadilan yang Dicita-Citakan Masyarakat
Jika kita amati potret penegakan hukum di Indonesia saat ini belumlah
berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan buruk. Lemahnya penegakan hukum di
Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus besar yang
belum tuntas salah satunya praktek korupsi yang menggurita, namun ironisnya
para pelakunya sangat sedikit yang terjerat oleh hukum.[27] Kenyataan
tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang melibatkan
rakyat kecil, dalam hal ini aparat penegakkan hukum cepat tanggap, karena
sebagaimana kita ketahui yang terlibat kasus korupsi merupakan kalangan berdasi
alias para pejabat dan orang-orang berduit yang memiliki kekuatan (power)
untuk menginterfensi efektifitas dari penegakan hukum itu sendiri.
Realita penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati
rakyat kecil yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat pada hukum,
khususnya aparat penegak hukum itu sendiri. Sebagaimana sama-sama kita
ketahui para pencari keadilan yang note bene adalah masyarakat
kecil sering dibuat frustasi oleh para penegak hukum yang nyatanya lebih
memihak pada golongan berduit. Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum
Indonesia seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan-hewan
kecil, namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan besar tersebutlah
yang mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba.
Problematika penegakan hukum yang mengandung unsur ketidakadilan tersebut
mengakibatkan adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya
bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin
Menang), KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, tidaklah muncul
begitu saja. Kesemuanya ini merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga
hukum itu sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan
masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang tidak
profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata hanya
berlandaskan pada aspek yuridis. Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat,
mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan
pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya.
Untuk menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat, maka
pengadilan harus senantiasa mengedapankan tiga tujuan hukum di atas dalam
setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi dasar
berpijaknya hukum yaitu “hukum untuk kesejahteraan masyarakat”. Dengan
demikian, pada akhirnya tidak hanya dikatakan sebagai Law and
Order (Hukum dan Ketertiban) tetapi telah berubah menjadi Law, Order dan Justice (Hukum,
Ketertiban, dan Ketentraman). Adanya dimensi keadilan dan ketentraman yang
merupakan manifestasi bekerjanya lembaga pengadilan, akan semakin mendekatkan
cita-cita pengadilan sebagai pengayom masyarakat.
Penegakan hukum yang carut-marut, kacau, dan mengesampingkan keadilan
tersebut bisa saja diminimalisir kalau seandainya hukum dikembalikan kepada
fungsi aslinya, yaitu untuk untuk menciptakan keadilan, ketertiban serta
kenyaman. Selain itu sebagaimana menurut Soerjono Soekanto, hukum
dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dan hubungan antara empat
faktor, yakni:
1. Hukum
dan peraturan itu sendiri.
Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan
perundang-undangan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan
lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum
tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala ketidakserasian antara hukum
tertulis dengan hukum kebiasaan, dan seterusnya.
2. Mentalitas
Petugas yang menegakkan hukum.
Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas
pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik,
akan tetapi jika mental penegak hukum kurang baik, maka akan terjadi pada
sistem penegakkan hukum.
3. Fasilitas
yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Kalau peraturan
perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi
fasilitas kurang memadai, maka penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan
semestinya.
4. Kesadaran
dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
Menurut Lawrence Meir Friedman terdapat tiga unsur dalam sistem hukum,
yakni Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur
Hukum (Legal Culture). Kendala penegakkan hukum di Indonesia disebabkan
oleh keterpurukan dalam tiga unsur sistem hukum yang mengalami
pergeseran dari cita-cita dalam UUD 1945.Selanjutnya sekilas mengenai ketiga
unsur tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Substansi
Hukum (legal substance)
Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam
sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang
mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law),
bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Idealnya
tatanan hukum nasional mengarah pada penciptaan sebuah tatanan hukum nasional
yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan relasi antara warga negara,
pemerintah dan dunia internasional secara baik. Tujuan politik hukum yaitu
menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, transparan, demokratis,
otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat,
bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik.
Substansi hukum berkaitan dengan proses pembuatan suatu produk hukum yang
dilakukan oleh pembuat undang-undang. Nilai-nilai yang berpotensi menimbulkan
gejala hukum dimasyarakat dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pembuatan suatu produk perundang-undangan dipengaruhi oleh suasana
politik dalam suatu negara.
Seringkali substansi hukum yang termuat di dalam suatu produk
perundang-undangan dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.
Sehingga hukum yang dihasilkan tidak responsif terhadap
perkembangan masyarakat. Akibat yang lebih luas adalah hukum dijadikan sebagai
alat kekuasaan dan bukan sebagai pengontrol kekuasaan atau membatasi kesewenangan
yang sedang berkuasa.
Peraturan perundang-undangan dibuat oleh kekuasaan yang diberikan wewenang
oleh undang-undang. Menurut UUD 1945 kekuasaan membuat undang-undang diberikan
kepada DPR sebagai legislatif dan Presiden sebagai Eksekutif.
Dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD
1945 menyebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang”. Rancangan undang-undang tersebut dibahas secara bersama-sama
antara DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan secara bersama.
DPR sebagai lembaga legislatif yang salah satu tugasnya
adalah membuat undang-undang. Produk undang-undang yang dihasilkan harus sesuai
dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang tidak
bertentangan dengan konstitusi negara. Untuk saat ini, hampir sebahagian besar
produk perundang-undangan yang dihasilkan lembaga DPR masih jauh dari harapan.
Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang tidak relefan dan cendrung
dipaksakan serta tidak responsif.Bahkan dalam UU kesehatan yang baru
dikeluarkan salah satu contoh, ayat yang mengatur tentang tembakau tidak
tercantum. Tidak diaturnya (hilangnya) ayat tentang tembakau dalam UU Kesehatan
mencerminkan bahwa kualitas dari anggota DPR patut diragukan.
Menurut Satjipto Rahardjo yang mengutib dari Radbruch, terdapat nilai-nilai
dasar dari hukum, yaitu Keadilan, Kegunaan dan Kepastian hukum. Tidak
jarang ketiga nilai dasar hukum tersebut saling bertentangan dalam penegakkan
hukum. Bila hal tersebut terjadi maka yang harus diutamakan adalah keadilan,
mengingat tujuan hukum adalah terciptanya rasa keadilan dimasyarakat.
Peraturan perundang-undangan yang tidak responsif dan demokratis hanya akan
menimbulkan opini di masyarakat yang dapat menggangu stabilitas hukum,
keamanan ekonomi dan politik. Sehingga untuk membentuk peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat
harus bebas dari intervensi dan kepentingan pihak-pihak atau kelompok tertentu.
2. Struktur
Hukum (legal structure)
Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian
yang memberi semacam bentuk dan batasan secara keseluruhan. Struktur hukum
merupakan institusionalisasi dalam keberadaan hukum. Struktur hukum
di sini meliputi lembaga negara penegak hukum seperti Pengadilan,
Kejaksaan, Kepolisian, Advokat dan lembaga penegak
hukum yang secara khusus diatur oleh undang-undang seperti KPK, dan lain-lain.
Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam
melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Terdapat adagium yang menyatakan fiat justitia et pereat mundus (meskipun
dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak
bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen.
Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan
aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.
Sudah terlalu sering kita mendengar bahkan melihat di berbagai
pemberitaan media massa, adanya oknum aparat penegak hukum yang melakukan
penyelewengan terhadap perkara-perkara tertentu demi kepentingan pribadi maupun
kelompoknya. Ketika penegak hukum memiliki kepentingan terhadap suatu perkara
maka sejak saat itulah hukum dikesampingkan. Sungguh ironis, disaat masyarakat
menghendaki terciptanya keadilan tercoreng oleh perbuatan yang dilakukan oknum
aparat penegak hukum.
Kebebasan peradilan adalah merupakan essensilia daripada
suatu negara hukum, sehingga oleh karena tegaknya prinsip-prinsip daripada
suatu negara hukum sebagian besar adalah tergantung dari ada atau tidaknya
kebebasan peradilan didalam negara tersebut. Sebagai sarana parameter penerapan
demokrasi, kebebasan badan peradilan dalam memeriksa dan memutus perkara harus
dijamin oleh konstitusi.
Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi yang bukan saja sebagai
tempat terakhir menentukan hukum dalam arti konkret akan tetapi juga sebagai
tempat melahirkan asas dan kaedah hukum baru serta teori-teori baru mengenai
hukum. Makamah Agung juga memiliki kewenangan membatalkan putusan atau
penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan pada tingkat
kasasi, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 30 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung.
Penegak hukum yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang
sangat luas, meliputi: petugas strata atas, menengah dan bawah. Maksudnya
adalah sampai sejauhmana petugas harus memiliki suatu pedoman salah satunya
peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya. Dalam penegakkan
hukum, kemungkinan penegak hukum mengahadapi hal-hal sebagai berikut:[41]
a). Sampai
sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang ada,
b). Sampai
batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan,
c). Teladan
macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat,
d). Sampai
sejauhmanakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada para petugas
sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.
Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya
mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi,
proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat
dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam
memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah
maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan
kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
3. Budaya Hukum (legal culture)
Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman adalah sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur
hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Hukum dipercaya
sebagai suatu lembaga penyeimbang yang kuat terhadap ancaman disintegrasi dalam
hidup bermasyarakat akibat benturan kekuatan yang sama-sama ingin berkuasa dan
sekaligus membatasi kesewenangan yang sedang berkuasa. Hukum dalam bentuknya
yang asli bersifat membatasi kekuasaan dan berusaha untuk memungkinkan
terjadinya keseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Berbeda dengan kekuasaan
yang agresif dan ekspansionis, hukum cendrung bersifat kompromistis, damai dan
penuh dengan kesepakatan-kesepakatan dalam kehidupan sosial dan politik.
Hukum bisa bekerja sesuai dengan fungsinya jika masyarakat patuh dan tunduk
terhadap hukum yang berlaku. Hal ini bukan berarti penyelesaian sengketa
dimasyarakat diluar institusi hukum tidak dibenarkan. Konstitusi sendiri
mengakui hal tersebut, yakni dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa:
Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
Undang-undang.
Peristiwa penyelesaian sengketa diluar institusi hukum oleh masyarakat
dibenarkan dan dijamin oleh konstitusi sepanjang penyelesaian tersebut sesuai
dengan undang-undang yang berlaku serta norma-norma yang ada
di masyarakat. Sengketa masyarakat adat yang telah diselesaikan melalui
mekanisme hukum adat hendaknya negara tidak mencapurinya, dalam arti tidak
diproses kembali lewat pengadilan. Bila hal tersebut terjadi akan menimbulkan
sengketa antara masyarakat adat dengan negara.
Masyarakat yang menyerahkan sengketa atau permasalahan hukumnya kepada
institusi hukum kecuali didorong oleh kepentingan terlihat juga adanya
faktor-faktor seperti ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai
hukum. Orang secara sadar datang kepada hukum (pengadilan) disebabkan oleh
penilaian yang positif mengenai institusi hukum. Dengan demikian, keputusan
untuk membawa sengketa tersebut kedepan pengadilan pada hakikatnya merupakan
hasil positif dari bekerjanya berbagai faktor tersebut.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan wujud kepercayaan
masyarakat terhadap tegaknya hukum di Indonesia. Kepercayaan masyarakat
terhadap hukum akan bergeser manakala hukum tersebut tidak dapat memberikan
jaminan keadilan dan menimbulkan kerugian baik materi maupun non materi.
Berbelit-belitnya proses peradilan menyebabkan para pihak yang terlibat
menghendaki penyelesaian secara cepat dengan berbagai
cara. Adapun cara yang ditempuh tersebut terkadang bertentangan
dengan aturan hukum yang berlaku dan aparat penegak hukum sendiri membuka
peluang terhadap cara yang dilakukan para pihak. Sehingga dampak yang lebih
luas adalah budaya hukum yang terbentuk dimasyarakat tidak selaras dengan
tujuan dan cita-cita hukum. Hukum dijadikan bisnis bagi para pihak yang
terlibat beserta aparat penegak hukum yang didalamnya terdapat tawar-menawar
perkara.
Sebagai contoh kecil rusaknya budaya hukum dimasyarakat yakni penyelesaian
terhadap pelanggaran lalu lintas yang dilakukan melalui proses damai antara aparat
penegak hukum dengan masyarakat yang melanggar. Proses damai tersebut berisi
tawar-menawar harga sebuah pelanggaran. Selain itu juga usaha masyarakat untuk
menghidar bila sudah berhadapan dengan permasalahan hukum. Hal tersebut lebih
disebabkan karena masyarakat tidak percaya terhadap proses hukum di Indonesia.
Baik substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum saling
keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam
pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling
mendukung agar tercipta pola hidup aman, tertib, tentram dan
damai. Begitu juga dalam penegakan hukum ketiga unsur ini memegang peranan
yang signifikan untuk menciptakan penegakan hukum yang yang berorientasi pada
keadilan sebagaiman yang dicita-citakan oleh sebagian besar para pencari
kebenaran via pengadilan atau melalui lembaga penegakan hukum lainnya.
Beranjak dari fenomena-fenomena yang terjadi khususnya dalam penegakan
hukum, maka dapat diasumsikan bahwa penegakan hukum di Indonesia saat ini belum
berjalan secara efektif dan efisien. Hal ini karena beberapa unsur yang telah
disebutkan di atas belum menampakkan keselarasan dalam mewujudkan tujuan yang
paling mendasar dari penegakan hukum yaitu untuk menciptakan keadilan yang
dicita-citakan masyarakat. Kenyataan ini dapat dibuktikan dengan banyaknya
kasus besar seperti korupsi yang menjamur menggerogoti negeri ini, namun para
pelakunya sedikit sekali yang dijatuhi hukuman dan sanksi yang tegas.
Bahkan yang lebih mencengangkan dan membuat ngilu hati masyarakat ketika
kasus besar tersebut dibandingkan dengan kasus yang menimpa rakyat kecil yang
begitu cepat diselesaikan dengan penjatuhan hukuman, terkadang hukumannya pun
jauh dari rasa keadilan. Akibatnya sudah pasti banyak menimbulkan protes dan
gejolak di tengah-tengah masyarakat. Fenomena semacam ini apabila terus
berlanjut tentu akan mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada hukum
semakin luntur bahkan bisa hilang. Untuk membendung kemungkinan tersebut, maka
penegakan hukum harus dilakukan dengan menjunjung tinggi rasa keadilan, bukan
hanya keadilan berdasarkan undang-undang (yuridis) semata tetapi juga dengan
rasa keadilan yang dicita-citakan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Sebagai penutup dari
makalah ini, penulis menyimpulkan:
1. Antara
hukum dan keadilan merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, hal
ini karena hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan
damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.
2. Untuk
menegakkan dan menemukan keadilan tidak semata-mata harus dilakukan melalui
struktur formal lembaga pengadilan. Fungsi mengadili dapat dilakukan dan
berlangsung di banyak lokasi (justice in many rooms) seperti
melalui forum arbitrase atau mediasi juga bias mencari keadilan.
3. Proses
penegakan hukum di Indonesia belum relevan dengan keadilan yang dicita-citakan
oleh masyarakat. Hal ini karena penegakan hukum itu sendiri masih tebang-pilih.
Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring
laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan-hewan kecil, namun tidak mampu
menahan hewan besar tetapi hewan besar tersebutlah yang mungkin menghancurkan
seluruh jaring laba-laba. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum tersebut adalah:
a. Hukum
dan peraturan itu sendiri.
b. Mentalitas
Petugas yang menegakkan hukum.
c. Fasilitas
yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
d. Kesadaran
dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
[7] Abdul Ghofur
Anshori, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 2006), hlm. 46-47
[9] Carl Joachim
Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004), hlm. 24
0 comments:
Post a Comment