BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ukhuwah pada awalnya memang dipakai dalam konteks
ke-Islaman, yakni hubungan sosial antara sesama muslim. Hal demikian dapat
dimaklumi mengingat tumbuh dan berkembangnya ukhuwah. Tentu saja hubungan
sosial yang seagama akan lebih banyak ditemukan kesamaan dan kebutuhan,
dibanding hubungan bukan seagama. Namun dalam perkembangan sosial yang lebih
kompleks (masyarakat modern), ternyata seseorang akan sulit untuk mengelak dari
beberapa hubungan sosial jenis lain, seperti hubungan sebangsa dan setanah air,
hubungan sesama umat manusia dalam konteks internasional.
Oleh sebab itu, ukhuwah menjadi berkembang horizonnya,
bukan hanya terbatas pada ukhuwah Islamiyah, namun disamping itu ada pula
ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah insaniyah , yang kesemuanya masih dalam kerangka
pengamalan ajaran Islam, meskipun mempunyai perbedaan bobot dan konotasi makna.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna
Ukhuwah
Ukhuwah biasa diartikan sebagai persaudaraan. Terambil
dari akar kata yang pada mulanya berarti memperhatikan. Makna asal ini memberi
kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa
bersaudara.[1]
Ukhuwah (brotherhood) adalah persamaan di antara
umat manusia. Dalam arti luas, ukhuwah melampaui batas-batas etnik, rasial,
agama, latar belakang sosial, keturunan dan sebagainya. Ukhuwah secara hierarki
mencari saling pengertian dan membangun kerja sama keduniaan seoptimal mungkin
dalam menunaikan tugas-tugas kekhalifahan. Dengan konsep ukhuwah diharapkan
ada persaudaraan dan persamaan yang tidak membeda-bedakan umat manusia
atas jenis kelamin, asal-usul, etnis, warna kulit, latar belakang historis,
sosial, status ekonomi, mengingat umat Muhammad adalah umat yang satu.[2]
Ukhuwah berarti persamaan dan keserasian dalam banyak
hal. Karena itu, persamaan dan keserasian dalam keturunan mengakibatkan
persaudaraan dan persamaan dalam sifat-sifat juga mengakibatkan persaudaraan,
sebagaimana yang terdapat dalam surah Al-Isra’ ayat 27 yang berbunyi:[3]
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ
الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Artinya:
“Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Isra’:27)
Dalam Al-Quran term ukhuwah terdapat dua bentuk. Pertama
ikhwan yang digunakan untuk persaudaraan dalam arti tidak sekandung (QS.
At-Taubah:11).
فَإِن تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا
الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ ۗ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya:
“Jika
mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu)
adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum
yang mengetahui”. (QS. At-Taubah:11).
Kedua ikhwat yang digunakan untuk makna persaudaraan
seketurunan, kecuali satu ayat dalam QS. Al-Hujurat: 10
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS.
Al-Hujurat:10).
Konsep ukhuwah yang dikembangkan menjadi suatu istilah
sekarang “inklusifisme” berarti kesediaan untuk merangkul semuanya
sambil meningkatkan pemahaman yang bersifat lebih prinsip dan ideologis. Dengan
begitu, maka yang dimaksud dengan “ukhuwah Islamiyah” berarti hubungan
persaudaraan yang didasarkan atas persamaan dan keserasian prinsip kehidupan
dan ditopang oleh pemahaman Islam secara universal. Karena itu dalam ukhuwah
Islamiyah tidak diisyaratkan adanya kesamaan pendapat umat secara keseluruhan,
karena dalam ukhuwah dimungkinkan adanya perbedaan dan ketidaksesuaian, hanya
saja semua itu tidak bersifat esensi dan prinsipil dan tidak menyalahi kaidah
pokok Islam. Ukhuwah Islamiyah hanya menghendaki sikap hidup yang toleran dan
menghormati hasil kreasi serta pandangan hidup seseorang, selama pandangan
hidup itu masih dalam kategori furu’iyah (cabang).[4]
B. Bentuk-Bentuk
Ukhuwah
Term ukhuwah yang berkembang banyak dinisbatkan pada term
“Islamiyah” yang secara esensial mencakup totalitas makhluk Allah yang
menyerahkan diri (taslim), ia tidak hanya dinisbatkan pada “muslim” yang
terkesan hanya mencakup manusia, sehingga ia mencakup alam abiotik (ghairu
nami), karena pada prinsipnya alam abiotik selalu tunduk, pasrah pada
hukum-hukum Allah dengan cara mengikuti sunnah-sunnahnya. Penyelewengan
kepasrahan alam pada Sunnah-sunnah Allah SWT. Mengakibatkan kegoncangan dan
kehancuran dunia, padahal kehancuran itu bersumber dari ulah manusia sendiri.
Karena itu, keislaman alam abiotik lebih mendalam daripada keislaman alam
manusia.[5]
Sesuai dengan pemaknaan ukhuwah menurut Al-Qur’an dan
al-Sunnah, maka ukhuwah dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu:[6]
Pertama, ukhuwah fi al-ubudiyah, yaitu
seluruh makhluk adalah bersaudara dalam arti memiliki kesamaan (QS.
Al-An’am:3).
وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الْأَرْضِ ۖ يَعْلَمُ
سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ
Artinya:
“Dan
Dialah Allah (yang disembah), baik dilangit maupun di bumi; Dia mengetahui apa
yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan dan mengetahui (pula) apa yang
kamu usahakan.” (QS. Al-An’am:3)
Persamaan ini antara lain, bahwa semua manusia
merupakan ciptaan Allah dan tunduk kepada-Nya (QS. Al-Baqarah: 28).
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنتُمْ
أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ
إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya:
“Mengapa
kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan
kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah:28)
Bentuk ukhuwah ini mirip dengan ukhuwah alamiyah, yaitu
adanya kesesuaian manusia dengan alam semesta, mengingat manusia merupakan
bagian kecil (alam mikro) dari alam makro, walaupun alam mikro sebagai intinya.
Konsekuensi bentuk ukhuwah ini adalah keharusan manusia untuk melestarikan semua
ciptaan Allah SWT. menggunakan karunia Allah melalui pemanfaatan alam secara
proporsional, tidak kikir dan tidak berlebihan, mengingat alam bukan merupakan
warisan nenek moyang tetapi merupakan pinjaman dari anak cucu kita. Dan tidak
membuat kerusakan, karena kerusakan alam pada dasarnya akibat ulah manusia
sendiri. Sebagaimana yang tercantum dalam QS. Ar-Rum:41 yang berbunyi:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya:
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum:41).
Kedua, ukhuwah fi al-insaniyah, yaitu
seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka bersumber dari ayah ibu
yang satu (QS. Al-Hujurat:12).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم
بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ
تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain
dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah
seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat:12)
Lagi pula Nabi SAW. pernah bersabda:
ﻜﻭ ﻨﻮﺍ ﻋﺑﺎﺪ ﷲ ﺍﺨﻭﺍﻨﺎ . ﺍﻠﻌﺑﺎﺪ ﻜﻠﻬﻢ ﺍﺨﻮﺍﻥ
“ Jadilah
kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara, karena semua hamba itu semuanya
bersaudara”
Ukhuwah kedua ini cakupannya lebih sempit dari ukhuwah
yang pertama, karena lingkup persaudaraan sebatas manusia dengan manusia yang
hidup di dunia, tanpa dibedakan bangsa, ras, suku, bahasa, dan adat istiadat,
semuanya adalah saudara tanpa terkecuali. Implikasi ukhuwah kedua ini adalah
anjuran interaksi sosial secara makro, mengadakan transaksi sosial yang global,
sehingga semua manusia di dunia ini benar-benar bersaudara dalam rangka
menunaikan tugas-tugas kekhalifahan dan tugas-tugas kemanusiaan.
Ketiga, ukhuwah fi al-wathaniyah wa al-nasab, yaitu
saudara dalam seketurunan dan kebangsaan seperti yang diisyaratkan dalam QS.
Al-A’raf:65, QS. Hud:50 yang berbunyi:
وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا ۗ…….
Artinya:
“Dan
kepada kaum ‘Aad (Kami utus) saudara mereka...”( QS. Al-A’raf:65, QS. Hud:50)
QS. Hud:61, al-A’raf:73
وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ
صَالِحًا ۚ……
Artinya:
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka
Shaleh...”(QS. Hud:61, al-A’raf:73)
QS. Al-A’raf:85, Hud:84
وَإِلَىٰ
مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا…….
Artinya:
“Dan
kepada penduduk Mad-yan (Kami utus) saudara mereka Syu’aib…”( QS. Al-A’raf:85,
Hud:84)
Ukhuwah ketiga ini juga lebih sempit dari bentuk kedua
ukhuwah di atas, karena lingkup persaudaraan hanya meliputi persaudaraan
sebangsa dan setanah air. Lebih lanjut ukhuwah ini tidak mengkonsentrasikan
pada pemerintahan Islam, hanya saja masing-masing warga Negara mempunyai
kewenangan untuk berpartisipasi dalam mengembangkan Negara, dapat menunaikan
kewajiban dan menuntut haknya, tanpa membedakan perbedaan agama, bagi warga
yang tidak menganut agama resmi Negara mempunyai jaminan (dzimi)
keselamatannya, asal warga tersebut memenuhi peraturan yang ada.
Prinsip paling cocok dalam ukhuwah ini adalah berpijak
pada“al-tasamuh” (toleransi), yaitu adanya interaksi timbal balik
antar umat beragama, menghargai kebebasan beragama bagi orang yang tidak
sepaham, tidak mengganggu peribadatan serta tetap menjaga ukhuwah
wathaniyah nya.
Keempat, ukhuwah fi din al-Islam, yaitu
persaudaraan antarintern umat Islam, sebagaimana yang tercantum dalam QS.
Al-Ahzab:5
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ
هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ ۚ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَـٰكِن مَّا تَعَمَّدَتْ
قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Artinya:
“Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, (maka panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab:5).
Dan
juga Sabda Nabi SAW., “Antum Ashaby, ikhwanuna al-ladzina yu’tuna
ba’dhi” (kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah
yang dating setelah wafatku).
Dilihat dari sifatnya, ukhuwah bentuk terakhir ini
lingkupnya lebih sempit, karena hanya mencakup umat Islam saja. Namun jika
dilihat dari isinya, maka cakupan ukhuwah fi dinil Islam lebih
luas, karena tidak dibatasi wilayah Negara bahkan tidak dibatasi alam yang
ditempati, apakah masih hidup atau sudah mati, kesemuanya saudara dalam
seagama, sehingga masing-masing orang muslim mempunyai kewajiban terhadap
muslim lainnya. Misalnya mengucapkan dan menjawab salam, mengantarkan dan
mengurus jenazah, mendatangi undangan perkawinan, member nasihat tentang
kebenaran dan kesabaran, mengembalikan bacaan hamdallah ketika ada orang
bersin, dan menjenguk sesama orang sakit. (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Keempat bentuk ukhuwah di atas esensial mempunyai
kesamaan, yaitu adanya anjuran untuk hidup rukun, saling menghormati,
bantu-membantu, kerja sama, tenggang rasa, solidaritas, sosial, dengan
mendudukkan pada posisinya masing-masing sesuai dengan cirri khas bentuk
ukhuwah yang dilakukan. Tentunya bentuk pelaksanaan ukhuwah pertama tidak sama
persis dengan bentuk pelaksanaan ukhuwah yang lain, mengingat masing-masing
ukhuwah mempunyai ciri tersendiri.
C. Prinsip-Prinsip
Ukhuwah dalam Islam
Berbicara tentang prinsip ukhuwah dalam Islam dapat
diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Prinsip
ukhuwah fi din al-Islam;
2. Prinsip
ukhuwah diniyah (antarumat beragama); dan
3. Prinsip
ukhuwah alamiyah
Prinsip ukhuwah fi dinil Islam harus diorientasikan pada
delapan prinsip pokok, yaitu:[7]
1. Ukhuwah
Islamiyah ditegakkan atas akidah yang mantap, yakni akidah yang disimpulkan
dalam kalimat “La ilah illa Allah wa Muhammad Rasul Allah”. Perwujudan
ukhuwah tersebut harus ditopang oleh persamaan konsep antropologi, yaitu siapa
manusia, dan kosmologi, yaitu alam fana, dan teologis, yaitu siapa Tuhan.
2. Al-Tasamuh
fi al-ikhtilaf, yaitu adanya toleransi dalam setiap perbedaan
pendapat. Karena, perbedaan pendapat pada dasarnya tidak berkaitan dengan ushuluddin (pokok
agama), dan perbedaan itu hakikatnya merupakan rahmat bagi kita umat
Muhammad“ikhtilaf ummati rahmah” (perbedaan pendapat antara umatku,
merupakan suatu rahmat). Dengan adanya ikhtilaf yang didasari sikap tasamuh,
maka umat Islam berlomba-lomba dalam mencari dan menemukan kebenaran.
3. Al-Ta’awwun, yakni
bekerja sama antarperson dan antarorganisasi keislaman. Masing-masing person
dan masing-masing organisasi bergerak di bidangnya sendiri, tanpa meninggalkan
konsolidasi terhadap person atau organisasi yang bergerak di lain bidang.
4. Al-Tawazun, yaitu
sikap perimbangan antara semua bidang, baik perimbangan antara kepentingan
person dengan kepentingan organisasi, kepentingan organisasi sendiri dengan
organisasi keislaman lain. Karena semua ibarat sayap burung yang saling
bergantian mengepak, suatu saat yang kanan tinggi, sedang yang kiri rendah.
Demikian juga sebaliknya.
5. Al-Tawassuth,
yaitu bersikap sederhana dan tidak memihak diantara sesama muslim atau sesama
organisasi . sabda Nabi SAW.,“khirul umur awsathuha” (sebaik-baik
perkara adalah yang paling sederhana).
6. Al-Wahdan
wa ittishal, yaitu adanya integritas dan konsoliditas antara umat
Islam, baik di bidang ibadah, muamalah, yang mencakup bidang ekonomi, politik,
budaya, pendidikan, sosial, pertahanan-keamanan, dan sebagainya.
7. Memandang
Islam sebagai agama yang “rahmah li ‘alamin”, yakni agama yang
memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia bahkan seluruh
kosmis, konsep tersebut harus ditopang dengan landasan yang kuat, yaitu
landasan kiblat umat yang disimpulkan dalam ka’bah sebagai sarana kesatuan
tauhid seluruh umat Islam, serta berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Sunnah
sebagai jalan hidup dan penengah bila terjadi perselisihan antara umat Islam.
8. Membentuk
pemerintah yang islami, dimana pemimpin dan undang-undang Allah dan Rasul-Nya.
D. Meningkatkan
Kesadaran Ukhuwah Islamiyah
Kiranya semua umat Islam menginginkan terwujudnya ukhuwah
Islamiyah dalam komunitas muslim dimana saja. Hal ini terlihat dari banyaknya
upaya baik struktural seperti adanya macam-macam lembaga konsultasi, lembaga
musyawarah dan lain-lain, maupun yang kultural dengan adanya usaha saling
memahami, sikap-sikap yang lebih terbuka, juga hubungan-hubungan individual
antara beberapa kelompok muslim.
Dalam rangka peningkatan dan pengembangan kesadaran
Ukhuwah Islamiyah diperlukan sikap-sikap dasar yang dapat mengkondisikan
tumbuhnya budaya ukhuwah, seperti sikap sabar, lapang dada, terbuka, maupun
mengakui kebenaran dan kebesaran dari manapun datangnya, juga tidak memaksakan
“keseragaman” yang tidak atau belum diterima pihak lain, tidak menilai
perbedaan pendapat sebagai permusuhan, lebih mengutamakan “kesamaan” yang ada
daripada perbedaannya, dan lain sebagainya.
Upaya-upaya pendekatan lebih lanjut memang masih perlu
disempurnakan. Masih cukup banyak jalan yang dapat ditempuh asal ada kemauan
yang sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan.[8]
Abdul Qodir Audah dalam bukunya “Al-Islam wa
Audha’una al-Qonuniyah” menyatakan 12 prinsip Islam, yaitu:[9]
1. Adanya
persamaan yang merata;
0 comments:
Post a Comment