Friday 19 June 2015

Makalah Ukuwah Persaudaraan


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Ukhuwah pada awalnya memang dipakai dalam konteks ke-Islaman, yakni hubungan sosial antara sesama muslim. Hal demikian dapat dimaklumi mengingat tumbuh dan berkembangnya ukhuwah. Tentu saja hubungan sosial yang seagama akan lebih banyak ditemukan kesamaan dan kebutuhan, dibanding hubungan bukan seagama. Namun dalam perkembangan sosial yang lebih kompleks (masyarakat modern), ternyata seseorang akan sulit untuk mengelak dari beberapa hubungan sosial jenis lain, seperti hubungan sebangsa dan setanah air, hubungan sesama umat manusia dalam konteks internasional.
Oleh sebab itu, ukhuwah menjadi berkembang horizonnya, bukan hanya terbatas pada ukhuwah Islamiyah, namun disamping itu ada pula ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah insaniyah , yang kesemuanya masih dalam kerangka pengamalan ajaran Islam, meskipun mempunyai perbedaan bobot dan konotasi makna.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Makna Ukhuwah

Ukhuwah biasa diartikan sebagai persaudaraan. Terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti memperhatikan. Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.[1]
Ukhuwah (brotherhood) adalah persamaan di antara umat manusia. Dalam arti luas, ukhuwah melampaui batas-batas etnik, rasial, agama, latar belakang sosial, keturunan dan sebagainya. Ukhuwah secara hierarki mencari saling pengertian dan membangun kerja sama keduniaan seoptimal mungkin dalam menunaikan tugas-tugas kekhalifahan. Dengan konsep ukhuwah diharapkan ada  persaudaraan dan persamaan yang tidak membeda-bedakan umat manusia atas jenis kelamin, asal-usul, etnis, warna kulit, latar belakang historis, sosial, status ekonomi, mengingat umat Muhammad adalah umat yang satu.[2]
Ukhuwah berarti persamaan dan keserasian dalam banyak hal. Karena itu, persamaan dan keserasian dalam keturunan mengakibatkan persaudaraan dan persamaan dalam sifat-sifat juga mengakibatkan persaudaraan, sebagaimana yang terdapat dalam surah Al-Isra’ ayat 27 yang berbunyi:[3]

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Artinya:
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Isra’:27)
Dalam Al-Quran term ukhuwah terdapat dua bentuk. Pertama ikhwan yang digunakan untuk persaudaraan dalam arti tidak sekandung (QS. At-Taubah:11).

فَإِن تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ ۗ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya:
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui”. (QS. At-Taubah:11).

Kedua ikhwat yang digunakan untuk makna persaudaraan seketurunan, kecuali satu ayat dalam QS. Al-Hujurat: 10

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat:10).

Konsep ukhuwah yang dikembangkan menjadi suatu istilah sekarang  “inklusifisme” berarti kesediaan untuk merangkul semuanya sambil meningkatkan pemahaman yang bersifat lebih prinsip dan ideologis. Dengan begitu, maka yang dimaksud dengan “ukhuwah Islamiyah” berarti hubungan persaudaraan yang didasarkan atas persamaan dan keserasian prinsip kehidupan dan ditopang oleh pemahaman Islam secara universal. Karena itu dalam ukhuwah Islamiyah tidak diisyaratkan adanya kesamaan pendapat umat secara keseluruhan, karena dalam ukhuwah dimungkinkan adanya perbedaan dan ketidaksesuaian, hanya saja semua itu tidak bersifat esensi dan prinsipil dan tidak menyalahi kaidah pokok Islam. Ukhuwah Islamiyah hanya menghendaki sikap hidup yang toleran dan menghormati hasil kreasi serta pandangan hidup seseorang, selama pandangan hidup itu masih dalam kategori furu’iyah (cabang).[4]

B.   Bentuk-Bentuk Ukhuwah

Term ukhuwah yang berkembang banyak dinisbatkan pada term “Islamiyah” yang secara esensial mencakup totalitas makhluk Allah yang menyerahkan diri (taslim), ia tidak hanya dinisbatkan pada “muslim” yang terkesan hanya mencakup manusia, sehingga ia mencakup alam abiotik (ghairu nami), karena pada prinsipnya alam abiotik selalu tunduk, pasrah pada hukum-hukum Allah dengan cara mengikuti sunnah-sunnahnya. Penyelewengan kepasrahan alam pada Sunnah-sunnah Allah SWT. Mengakibatkan kegoncangan dan kehancuran dunia, padahal kehancuran itu bersumber dari ulah manusia sendiri. Karena itu, keislaman alam abiotik lebih mendalam daripada keislaman alam manusia.[5]
Sesuai dengan pemaknaan ukhuwah menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah, maka ukhuwah dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu:[6]
Pertama,  ukhuwah fi al-ubudiyah, yaitu seluruh makhluk adalah bersaudara dalam arti memiliki kesamaan (QS. Al-An’am:3).
وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الْأَرْضِ ۖ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ
Artinya:
“Dan Dialah Allah (yang disembah), baik dilangit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” (QS. Al-An’am:3)
 Persamaan ini antara lain, bahwa semua manusia merupakan ciptaan Allah dan tunduk kepada-Nya (QS. Al-Baqarah: 28).

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya:
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah:28)
Bentuk ukhuwah ini mirip dengan ukhuwah alamiyah, yaitu adanya kesesuaian manusia dengan alam semesta, mengingat manusia merupakan bagian kecil (alam mikro) dari alam makro, walaupun alam mikro sebagai intinya. Konsekuensi bentuk ukhuwah ini adalah keharusan manusia untuk melestarikan semua ciptaan Allah SWT. menggunakan karunia Allah melalui pemanfaatan alam secara proporsional, tidak kikir dan tidak berlebihan, mengingat alam bukan merupakan warisan nenek moyang tetapi merupakan pinjaman dari anak cucu kita. Dan tidak membuat kerusakan, karena kerusakan alam pada dasarnya akibat ulah manusia sendiri. Sebagaimana yang tercantum dalam QS. Ar-Rum:41 yang berbunyi:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
 Artinya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum:41).

Kedua, ukhuwah fi al-insaniyah, yaitu seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka bersumber dari ayah ibu yang satu (QS. Al-Hujurat:12).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat:12)

Lagi pula Nabi SAW. pernah bersabda:

ﻜﻭ ﻨﻮﺍ ﻋﺑﺎﺪ  ﺍﺨﻭﺍﻨﺎ . ﺍﻠﻌﺑﺎﺪ ﻜﻠﻬﻢ ﺍﺨﻮﺍﻥ

“ Jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara, karena semua hamba itu semuanya bersaudara”
Ukhuwah kedua ini cakupannya lebih sempit dari ukhuwah yang pertama, karena lingkup persaudaraan sebatas manusia dengan manusia yang hidup di dunia, tanpa dibedakan bangsa, ras, suku, bahasa, dan adat istiadat, semuanya adalah saudara tanpa terkecuali. Implikasi ukhuwah kedua ini adalah anjuran interaksi sosial secara makro, mengadakan transaksi sosial yang global, sehingga semua manusia di dunia ini benar-benar bersaudara dalam rangka menunaikan tugas-tugas kekhalifahan dan tugas-tugas kemanusiaan.

Ketiga, ukhuwah fi al-wathaniyah wa al-nasab, yaitu saudara dalam seketurunan dan kebangsaan seperti yang diisyaratkan dalam QS. Al-A’raf:65, QS. Hud:50 yang berbunyi:
وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا ۗ…….
Artinya:
“Dan kepada kaum ‘Aad (Kami utus) saudara mereka...”( QS. Al-A’raf:65, QS. Hud:50)
QS. Hud:61, al-A’raf:73
وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۚ……

Artinya:
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh...”(QS. Hud:61, al-A’raf:73)
QS. Al-A’raf:85, Hud:84
وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا…….
Artinya:
“Dan kepada penduduk Mad-yan (Kami utus) saudara mereka Syu’aib…”( QS. Al-A’raf:85, Hud:84)
Ukhuwah ketiga ini juga lebih sempit dari bentuk kedua ukhuwah di atas, karena lingkup persaudaraan hanya meliputi persaudaraan sebangsa dan setanah air. Lebih lanjut ukhuwah ini tidak mengkonsentrasikan pada pemerintahan Islam, hanya saja masing-masing warga Negara mempunyai kewenangan untuk berpartisipasi dalam mengembangkan Negara, dapat menunaikan kewajiban dan menuntut haknya, tanpa membedakan perbedaan agama, bagi warga yang tidak menganut agama resmi Negara mempunyai jaminan (dzimi) keselamatannya, asal warga tersebut memenuhi peraturan yang ada.
Prinsip paling cocok dalam ukhuwah ini adalah berpijak pada“al-tasamuh” (toleransi), yaitu adanya interaksi timbal balik antar umat beragama, menghargai kebebasan beragama bagi orang yang tidak sepaham, tidak mengganggu peribadatan serta tetap menjaga ukhuwah wathaniyah nya.
Keempat, ukhuwah fi din al-Islam, yaitu persaudaraan antarintern umat Islam, sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Ahzab:5
 ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ ۚ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَـٰكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Artinya:
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, (maka panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab:5). 
Dan juga Sabda Nabi SAW., “Antum Ashaby, ikhwanuna al-ladzina yu’tuna ba’dhi” (kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang dating setelah wafatku).
Dilihat dari sifatnya, ukhuwah bentuk terakhir ini lingkupnya lebih sempit, karena hanya mencakup umat Islam saja. Namun jika dilihat dari isinya, maka cakupan ukhuwah fi dinil Islam lebih luas, karena tidak dibatasi wilayah Negara bahkan tidak dibatasi alam yang ditempati, apakah masih hidup atau sudah mati, kesemuanya saudara dalam seagama, sehingga masing-masing orang muslim mempunyai kewajiban terhadap muslim lainnya. Misalnya mengucapkan dan menjawab salam, mengantarkan dan mengurus jenazah, mendatangi undangan perkawinan, member nasihat tentang kebenaran dan kesabaran, mengembalikan bacaan hamdallah ketika ada orang bersin, dan menjenguk sesama orang sakit. (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Keempat bentuk ukhuwah di atas esensial mempunyai kesamaan, yaitu adanya anjuran untuk hidup rukun, saling menghormati, bantu-membantu, kerja sama, tenggang rasa, solidaritas, sosial, dengan mendudukkan pada posisinya masing-masing sesuai dengan cirri khas bentuk ukhuwah yang dilakukan. Tentunya bentuk pelaksanaan ukhuwah pertama tidak sama persis dengan bentuk pelaksanaan ukhuwah yang lain, mengingat masing-masing ukhuwah mempunyai ciri tersendiri.

C.    Prinsip-Prinsip Ukhuwah dalam Islam

Berbicara tentang prinsip ukhuwah dalam Islam dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu:
1.       Prinsip ukhuwah fi din al-Islam;
2.       Prinsip ukhuwah diniyah (antarumat beragama); dan
3.       Prinsip ukhuwah alamiyah

Prinsip ukhuwah fi dinil Islam harus diorientasikan pada delapan prinsip pokok, yaitu:[7]
1.       Ukhuwah Islamiyah ditegakkan atas akidah yang mantap, yakni akidah yang disimpulkan dalam kalimat “La ilah illa Allah wa Muhammad Rasul Allah”. Perwujudan ukhuwah tersebut harus ditopang oleh persamaan konsep antropologi, yaitu siapa manusia, dan kosmologi, yaitu alam fana, dan teologis, yaitu siapa Tuhan.
2.       Al-Tasamuh fi al-ikhtilaf, yaitu adanya toleransi dalam setiap perbedaan pendapat. Karena, perbedaan pendapat pada dasarnya tidak berkaitan dengan ushuluddin (pokok agama), dan perbedaan itu hakikatnya merupakan rahmat bagi kita umat  Muhammad“ikhtilaf ummati rahmah” (perbedaan pendapat antara umatku, merupakan suatu rahmat). Dengan adanya ikhtilaf yang didasari sikap tasamuh, maka umat Islam berlomba-lomba dalam mencari dan menemukan kebenaran.
3.       Al-Ta’awwun, yakni bekerja sama antarperson dan antarorganisasi keislaman. Masing-masing person dan masing-masing organisasi bergerak di bidangnya sendiri, tanpa meninggalkan konsolidasi terhadap person atau organisasi yang bergerak di lain bidang.
4.       Al-Tawazun, yaitu sikap perimbangan antara semua bidang, baik perimbangan antara kepentingan person dengan kepentingan organisasi, kepentingan organisasi sendiri dengan organisasi keislaman lain. Karena semua ibarat sayap burung yang saling bergantian mengepak, suatu saat yang kanan tinggi, sedang yang kiri rendah. Demikian juga sebaliknya.
5.       Al-Tawassuth, yaitu bersikap sederhana dan tidak memihak diantara sesama muslim atau sesama organisasi . sabda Nabi SAW.,“khirul umur awsathuha” (sebaik-baik perkara adalah yang paling sederhana).
6.       Al-Wahdan wa ittishal, yaitu adanya integritas dan konsoliditas antara umat Islam, baik di bidang ibadah, muamalah, yang mencakup bidang ekonomi, politik, budaya, pendidikan, sosial, pertahanan-keamanan, dan sebagainya.
7.       Memandang Islam sebagai agama yang “rahmah li ‘alamin”, yakni agama yang memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia bahkan seluruh kosmis, konsep tersebut harus ditopang dengan landasan yang kuat, yaitu landasan kiblat umat yang disimpulkan dalam ka’bah sebagai sarana kesatuan tauhid seluruh umat Islam, serta berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai jalan hidup dan penengah bila terjadi perselisihan antara umat Islam.
8.       Membentuk pemerintah yang islami, dimana pemimpin dan undang-undang Allah dan Rasul-Nya.

D.   Meningkatkan Kesadaran Ukhuwah Islamiyah

Kiranya semua umat Islam menginginkan terwujudnya ukhuwah Islamiyah dalam komunitas muslim dimana saja. Hal ini terlihat dari banyaknya upaya baik struktural seperti adanya macam-macam lembaga konsultasi, lembaga musyawarah dan lain-lain, maupun yang kultural dengan adanya usaha saling memahami, sikap-sikap yang lebih terbuka, juga hubungan-hubungan individual antara beberapa kelompok muslim.
Dalam rangka peningkatan dan pengembangan kesadaran Ukhuwah Islamiyah diperlukan sikap-sikap dasar yang dapat mengkondisikan tumbuhnya budaya ukhuwah, seperti sikap sabar, lapang dada, terbuka, maupun mengakui kebenaran dan kebesaran dari manapun datangnya, juga tidak memaksakan “keseragaman” yang tidak atau belum diterima pihak lain, tidak menilai perbedaan pendapat sebagai permusuhan, lebih mengutamakan “kesamaan” yang ada daripada perbedaannya, dan lain sebagainya.
Upaya-upaya pendekatan lebih lanjut memang masih perlu disempurnakan. Masih cukup banyak jalan yang dapat ditempuh asal ada kemauan yang sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan.[8]

Abdul Qodir Audah dalam bukunya “Al-Islam wa Audha’una al-Qonuniyah” menyatakan 12 prinsip Islam, yaitu:[9]
1.       Adanya persamaan yang merata;


0 comments:

Post a Comment