Friday 19 June 2015

MAKALAH KEDUDUKAN TUGAS DAN WEWENANG MPR SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945




I.              PENDAHULUAN
Salah satu hasil dari reformasi pada tahun 1998 adalah adanya perubahan yang mendasar pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dari sejak awal berdirinya negara yang telah mengalami empat kali pergantian konstitusi dari UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, konstitusi RIS Tahun 1949, UUDS Tahun 1950 dan kembali ke UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dari sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 juli tahun 1950. Pada tahun 1999 sampai tahun 2002 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami empat kali perubahan. Salah satu hasil dari perubahan Undang-undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 adalah pada lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dari kedudukan tugas dan wewenangnya telah mengalami perubahan.

Dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu menganalisis obyek penelitian dengan menggunakan peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum yang ada dalam Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan memperbandingkan kedudukan tugas dan wewenangnya MPR yang diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



Berdasarkan hasil perbandingan, kedudukan tugas dan wewenang MPR sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka penulis menyimpulkan bahwa kedudukan MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara melainkan sebagai lembaga tinggi negara yang sama dengan lembaga-lembaga negara yang lain, tugas MPR yang sebelumnya Menetapkan UUD dan GBHN (pasal 3) dan Memilih Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6), berubah menjadi Melantik Presiden dan Wakil Presiden (pasal 3 ayat 2) dan melakukan peninjuan materi dari status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR (pasal I aturan peralihan), sebelum perubahan wewenang MPR ada sembilan macam salah satunya adalah mengubah UUD, setelah perubahan wewenang MPR mengubah dan menetapkan UUD. Jadi setelah adanya perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia banyak mengalami perubahan dan mempengaruhi sistem ketatanegaraan indonesia.



II.            KEDUDUKAN TUGAS DAN WEWENANG MPR SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945

1.    Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar

MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.
Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul pengubahan, pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan diubah yang disertai alasan pengubahan yang paling lama dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan.


Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.
Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.

2.    Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum

MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak, namun sejak reformasi bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri oleh MPR. Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 09 November 2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).


3.    Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya

MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.
MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir.

4.    Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden

Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya.


Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat,Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

5.    Memilih Wakil Presiden

Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

6.    Memilih Presiden dan Wakil Presiden

Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.


Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.

III.           KEDUDUKAN TUGAS DAN WEWENANG MPR SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945

Pasca perubahan UUD 1945, maka ada 6 (enam) lembaga Negara yang diberikan kekuasaan secara langsung oleh konstitusi. Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam Bab I Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan rumusan itu dimaksudkan, bahwa kedaulatan itu pada hakekatnya tetap melekat dan berada di tangan rakyat, dan Undang-Undang Dasar yang mengatur pelaksanaannya. Sebagian kedaulatan itu tetap dipegang dan dilaksanakan sendiri oleh rakyat, yaitu dalam hal memilih Presiden dan Wakil Presiden, memilih anggota DPR, anggota DPRD, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.



Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar itu, Undang-undang kemudian juga menetapkan, rakyat tetap memegang kedaulatannya secara langsung, yaitu dalam hal memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, memilih Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Untuk selebihnya Undang-Undang Dasar menetapkan dibentuknya lembaga-lembaga negara (DPR, MPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi), dan kepada masing-masing lembaga itu ditetapkan secara definitif fungsi dan kewenangannya sesuai dengan posisi/kedudukannya. Lembaga-lembaga negara itu berada dalam kedudukan yang setara. Antara lembaga yang satu dengan yang lain dilaksanakan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi atau checks and balances.

Tugas dan Wewenang MPR Pasca Perubahan

Salah satu perubahan penting setelah dilakukannya perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945 adalah perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi:

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Hal ini membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR yang sering menghadirkan kesalahpahaman terhadap MPR dan Pimpinan MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, yaitu: Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.

Berubahnya kedudukan MPR juga berimplikasi kepada tugas dan wewenang MPR. MPR tidak lagi mempunyai tugas dan wewenang untuk memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, kecuali jika Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, MPR juga tidak mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945 sebelum diubah.

Berubahnya kedudukan, tugas, dan wewenang MPR tersebut memang tidak berarti menghilangkan peran penting MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR masih berwenang untuk:

a.    Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;

b.    melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam Sidang Paripurna MPR;

c.    memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR;



d.    melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya; memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;

e.    serta memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.



IV.          KESIMPULAN
Melihat kewenangan-kewenangan diatas, maka apabila ada pendapat yang menyatakan bahwa MPR adalah “forum Joint Session” dan “tidak dapat dilembagakan” adalah pendapat yang tidak berdasar dan tidak mempunyai argumentasi yang kuat. Sebagai lembaga negara yang mempunyai eksistensi dalam sebuah bangunan negara, MPR secara konstitusional diberikan fungsi dan wewenang sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3), dan Pasal 8 ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun sebatas yang tercantum dalam pasal-pasal dan ayat-ayat itu fungsi dan kewenangan MPR sekarang, substansinya adalah menyangkut hal-hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan bernegara, yang terkait dengan rujukan hukum tertinggi di Indonesia yaitu UUD NRI 1945 dan terkait dengan kekuasaan eksekutif tertinggi yaitu Presiden dan Wakilnya.
Kewenangan MPR yang sangat mendasar sebagaimana tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945 semacam itu, tidak mungkin dapat dilaksanakan apabila tanpa melalui mekanisme pengorganisasian. Oleh karena itu MPR dibutuhkan keberadaannya secara permanen dan terus menerus sebagai sebuah organisasi atau lembaga negara, bukan hanya terbentuk karena joint session dari lembaga-lembaga negara lainnya. Hal ini juga bisa dilihat dalam melaksanakan impeachment sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3). Setelah pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) terbukti melanggar hukum atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden maka DPR menindaklanjutinya dengan menyampaikannya kepada Pimpinan MPR yang selanjutnya wajib mengundang Sidang MPR.
Demikian juga dalam hal kalau sekurang-kurangnya sepertiga anggota MPR mengajukan usul Perubahan UUD NRI 1945 yang harus disampaikan pada Pimpinan MPR. Dengan adanya fakta-fakta dan argumentasi sebagaimana terangkai di atas, jelas diperlukan Pimpinan MPR yang nyata dan tidak dirangkap, atau hanya eksis kalau ada Joint Session saja.

Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai institusi negara secara eksplisit telah tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa MPR adalah lembaga yang nyata ada, dan bukan sekedar satu forum yang terbentuk sebagai hasil joint session antara DPR dan DPD. Penegasan lebih lanjut bahwa MPR adalah “lembaga negara yang nyata ada” tercermin dalam susunan dan kedudukan MPR itu sendiri yang diatur secara implisit-eksplisit dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan.

0 comments:

Post a Comment