Penanggulangan juvenile
delinquency ini demikian
kompleks karena masalahnya saling berkaitan antara satu dan yang lainnya. Hal
ini dapat dipahami mengingat interaksi dalam masyarakat merupakan suatu sistem.
Menurut Kartini Kartono penanggulangan kenakalan remaja dapat ditempuh sebagai
berikut:
a. Menghilangkan semua sebab-musabab timbulnya kejahatan remaja, baik
yang berupa pribadi familiar, sosial ekonomis dan kultural.
b. Melakukan perubahan lingkungan dengan jalan mencarikan orang tua
angkat/asuh dan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi perkembangan jasmani
dan rohani yang sehat bagi anak-anak remaja.
c. Memindahkan anak-anak nakal ke sekolah yang lebih baik, atau ke
tengah lingkungan sosial yang baik.
d. Memberikan latihan bagi para remaja untuk hidup teratur, tertib dan
berdisiplin.
e. Memanfaatkan waktu senggang di kamp latihan, untuk membiasakan diri
bekerja, belajar dan melakukan rekreasi sehat dengan disiplin tinggi.
f. Menggiatkan organisasi pemuda dengan program-program latihan
vokasional untuk mempersiapkan anak remaja delinkuen itu bagi pasaran kerja dan
hidup di tengah masyarakat.
g. Memperbanyak lembaga latihan kerja dengan program kegiatan
pembangunan.
h. Mendirikan klinik psikologi untuk meringankan dan memecahkan konflik
emosional dan gangguan kejiwaan lainnya. Memberikan pengobatan medis dan terapi
psikoanalitis bagi mereka yang menderita gangguan kejiwaan.[1]
Sodjono Dirdjosisworo memandang perlu adanya azas sebagai dasar dalam
memberikan penanggulangan. Adapun asas umum dalam penaggulangan kenakalan anak
menurutnya ada dua sistem:
a. Cara moralitas, dilaksanakan dengan penyebarluasan ajaran-ajaran
agama dan moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat
menekan nafsu untuk berbuat kejahatan.
b. Cara abolisionistis, berusaha memberantas, menanggulangi kejahatan
dengan sebab musababnya.[2]
Azas moralitas merupakan hal urgen karena mempunyai tujuan memberikan
pembinaan yang cukup terutama tentang agama, moral dan mengajar anak tentang
perundang-undangan dan konsekwensinya jika melanggarnya. Jika pembinaan
diberikan sebelum terjadinya kenakalan anak. Hal ini merupakan langkah
preventif yang efektif. Namun, jika diberikan pada anak deliquent, maka
termasuk rehabilitasi anak. Diharapkan dari cara moralitas, anak akan kembali
normal dengan tatanan hidup yang sesuai dengan ajaran agama bermasyarakat dan
bernegara.
Sedangkan azas abolisionistis, mempunyai peranan penting terutama dalam
menaggulangi anak deliquent dengan usaha-usaha menagani
permasalahan anak. Dengan langkah mengidentifikasi penyebab-penyebab deliquent, hingga mencari cara
yang tepat untuk menanggulangi kenakalan tersebut.
Kedua azas tersebut mempunyai peran masing-masing dalam memberikan
pembinaan dan menaggulangi anak deliquent.
Sehingga keterpaduan dalam implementasinya diharapkan dapat mencegah dan
meminimalisir terjadinyadeliquent. Karena pada dasarnya anak telah
diberikan bekal yang cukup dan baik untuk mengarungi kehidupannnya. Sedangkan
pada anak yang terlanjur melakukan kenakalan akan memperoleh cara rehabilitasi
yang tepat sehingga anak akan dapat kembali normal dalam menjalani
kehidupannya.
Menurut Sarwono, untuk mengurangi benturan gejolak remaja dan untuk
memberi kesempatan agar remaja dapat mengembangkan dirinya secara lebih
optimal, perlu diciptakan kondisi lingkungan terdekat yang setabil mungkin,
khususnya lingkungan keluarga. Keadaan keluarga yang ditandai dengan hubungan
suami-isteri yang harmonis akan lebih menjamin remaja yang bisa melewati masa
transisinya dengan mulus daripada jika hubungan suami-istri terganggu. Kondisi
di rumah tangga dengan adanya orang tua dan saudara-saudara akan lebih menjamin
kesejahteraan jiwa remaja daripada asrama atau lembaga pemasyarakatan anak.
Karena itu tindakan pencegahan yang paling utama adalah berusaha menjaga
perilaku menyimpang pada remaja, keutuhan dan keharmonisan keluarga
sebaik-baiknya.
Kalau terjadi masalah dengan suami-istri (ada yang meninggal, atau ada
perceraian) lebih baik anak dipindahkan ke sanak keluarga lain atau kalau perlu
dipindahkan keluarga lain yang tidak ada hubungan darah (misalnya tidak ada
sanak-keluarga atau harus kost) perlu dicarikan yang hubungan antar-anggota
keluarganya cukup harmonis. Baru sebagai jalan terakhir, kalau tidak ada jalan
lain yang lebih baik, bisa dianjurkan asrama atau lembaga pengasuhan anak
lainnya seperti Panti Asuhan dan sebagainya, akan tetapi jika dikehendaki
perkembangan jiwa anak yang seoptimal mungkin, perlu diusahakan agar keadaan di
asrama atau lembaga itu semirip mungkin dengan keadaan dalam keluarga biasa.[3]
Jadi, tindakan represif ini harus bersifat paedagogis, bukan bersifat
“pelanggaran” ataupun “kejahatan”. Semua usaha penanggulangan tersebut
hendaknya didasarkan atas sikap dan pandangan bahwa remaja adalah hamba Allah
yang masih dalam proses perkembangan/pertumbuhan menuju kematangan pribadinya
yang membutuhkan bimbingan dari orang dewasa yang bertanggung jawab.
Menurut Daradjat, faktor-faktor terjadinya kenakalan remaja perlu
mendapat penanggulangan sedini mungkin dari semua pihak, terutama orang tua,
karena orang tua merupakan basis terdepan yang paling dapat mewarnai perilaku
anak. Untuk itu suami atau isteri harus bekerja sama sebagai mitra dalam
menanggulangi kenakalan remaja. Yang perlu mendapat perhatian sebagai berikut:
Pertama adalah soal peningkatan pendidikan Islam. Pendidikan Islam harus dimulai
dari rumah tangga, sejak si anak masih kecil.[4] Kadang-kadang
orang menyangka bahwa pendidikan Islam itu terbatas kepada ibadah, sembahyang,
puasa, mengaji dan sebagainya. Padahal pendidikan Islam harus mencakup
keseluruhan hidup dan menjadi pengendali dalam segala tindakan.
Bagi orang yang menyangka bahwa Islam itu sempit, maka pendidikan Islam
terhadap anak-anak dicukupkannya saja dengan memanggil guru mengaji ke rumah,
atau menyuruh anaknya pergi belajar mengaji ke sekolah atau ke tempat-tempat
kursus lainnya. Padahal yang terpenting dalam pembinaan jiwa Islam, adalah
keluarga, dan harus terjadi melalui pengalaman hidup si anak dalam keluarga.
Apa yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh si anak sejak ia kecil, akan mempengaruhi
pembinaan mentalnya.
Menurut Zakiah Daradjat, supaya pembinaan jiwa Islam itu betul-betul
dapat membuat kuatnya jiwa si anak untuk menghadapi segala tantangan zaman dan
suasana di kemudian hari, hendaknya ia dapatterbina sejak lahir, bahkan sejak dalam
kandungan sampai ia mencapai usia dewasa dalam masyarakat. Untuk itu, kiranya
pemerintah, pemimpin masyarakat, alim ulama dan para pendidik juga mengadakan
usaha peningkatan pendidikan Islam bagi keluarga, sekolah dan masyarakat.
Perkembangan Islam pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya
sejak kecil, dalam keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat lingkungan.
Semakin banyak pengalaman yang bersifat Islam, (sesuai dengan ajaran Islam) dan
semakin banyak unsur Islam, maka sikap, tindakan, kelakuan dan caranya
menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran Islam.[5]
Kedua, Orang tua
harus mengerti dasar-dasar pendidikan. Menurut Daradjat, apabila pendidikan dan
perlakuan yang diterima oleh si anak sejak kecil merupakan sebab-sebab pokok
dari kenakalan anak-anak, maka setiap orang tua haruslah mengetahui dasar-dasar
pengetahuan, minimal tentang jiwa si anak dan pokok-pokok pendidikan yang harus
dilakukan dalam menghadapi bermacam-macam sifat si anak.[6]
Untuk membekali orang tua dalam menghadapi persoalan anak-anaknya yang
dalam umur remaja, orang tua perlu pengertian sederhana tentang ciri-ciri
remaja atau psikologi remaja. Orang tua dapat mewarnai perilaku anak karena
pengaruh orang tua sangat besar dalam membentuk perilaku anak. Dalam proses
pendidikan, anak sebelum mengenal masyarakat yang lebih luas dan mendapat
bimbingan dari sekolah, terlebih dahulu memperoleh perawatan dan bimbingan dari
kedua orang tuanya. Perawatan dan bimbingan tersebut dengan dilandasi penuh
edukatif yang diberikan kedua orang tua, kemudian disusul pengaruh yang lain,
seiring dengan Sabda Rasul SAW:
حدثنا آدم حدثنا ابن ابي ذئب عن الزهري بن ابي سلمة بن عبد الرحمن عن ابي
هريرة رضي الله عنه قال قال النبي صلى الله عليه و سلم كل مولود يولد على الفطرة
فأبواه يهوّدانه او ينصّرانه او يمجّسانه (رواه البخاري)
Telah mengabarkan Adam kepada kami dari Ibnu Dzi’bu dari az-Zuhri dari
Abi Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah bersabda:
semua anak dilahirkan suci, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani
atau Majusi. (HR. al-Bukhari)[7]
Hadis di atas pada intinya menyatakan bahwa setiap anak itu lahir dalam
keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang akan menjadikan ia Yahudi,
Nasrani, atau Majusi. Dari kedua orang tua terutama ibu, dan untuk pertama kali
pengaruh dari sesuatu yang dilakukan ibu itu secara tidak langsung akan
membentuk watak atau ciri khas kepada anaknya.
Ibu merupakan orang tua yang pertama kali sebagai tempat pendidikan
anak. Karena ibu ibarat sekolah, jika ibu mempersiapkan anak berarti ibu telah
mempersiapkan generasi yang kokoh dan kuat. Dengan generasi yang kuat berarti
telah menginvestasikan sesuatu pada diri anak agar bermanfaat kelak mengarungi
kehidupan yang lebih global bila dibandingkan waktu awal ada di dalam kandungan
yang hidup dalam lingkungan sempit.
Keluarga merupakan bagian dominan yang sangat mudah mewarnai karakter
seorang anak. Sebagian besar anak tumbuh dan dibesarkan oleh keluarga. Selain
itu realita menunjukkan bahwa di dalam keluargalah perilaku anak mendapat
pembentukan, pendidikan dan pembinaan yang pertama kali. Hal ini sebagaimana
dikatakan oleh Soekanto,
Masa remaja dikatakan sebagai suatu masa yang berbahaya, oleh karena pada
periode itu seseorang meninggalkan tahap kehidupan anak-anak, untuk menuju ke
tahap selanjutnya yaitu tahab kedewasaan. Masa ini dirasakan sebagai suatu
krisis, oleh karena belum adanya pegangan, sedangkan kepribadiannya sedang
mengalami pembentukan. Pada waktu itu dia memerlukan bimbingan, terutama dari
orang tuanya.[8]
Pada asasnya keluarga merupakan lingkungan kelompok masyarakat yang
paling kecil, akan tetapi juga merupakan lingkungan paling dekat dan terkuat di
dalam mendidik anak terutama bagi anak-anak yang belum memasuki sekolah. Itulah
sebabnya keluarga sebagai benteng pertama dan utama yang memiliki pengaruh yang
besar dalam menentukan prilaku anak. Pada hakekatnya, kondisi keluarga yang
menyebabkan timbulnya kenakalan remaja bersifat kompleks.
Mengkaji lebih lanjut tentang peran keluarga yang berhubungan dengan
kenakalan remaja, maka dalam hal ini dapat ditemukan adanya beberapa penyebab kenakalan
remaja. Dari berbagai sebab yang dikemukakan, maka salah satu sebab yang paling
menonjol adalah kurangnya pendidikan Islam. Yang dimaksud dengan pendidikan
Islam bukanlah sekedar ajaran tentang halal dan haram saja melainkan juga
tentang hikmah larangan dan halalnya suatu perbuatan, hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Zakiah Daradjat bahwa:
Yang dimaksud dengan didikan Islam bukanlah pelajaran Islam yang
diberikan secara sengaja dan teratur oleh guru sekolah saja. Akan tetapi yang
terpenting adalah penanaman jiwa Islam yang dimulai dari rumah tangga, sejak si
anak masih kecil, dengan jalan membiasakan si anak kepada sifat-sifat dan
kebiasaan yang baik, misalnya dibiasakan menghargai hak milik orang lain,
dibiasakan berkata terus terang, benar dan jujur, diajarkan mengatasi
kesukaran-kesukaran yang ringan dengan tenang, diperlakukan adil dan baik,
diajarkan suka menolong, mau memaafkan kesalahan orang, ditanamkan rasa kasih
sayang sesama saudara dan sebagainya.[9]
Kebiasaan-kebiasaan baik yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam itu, akan
dapat tertanam dengan mudah pada jiwa anak, apabila orang dewasa di sekitarnya
(terutama ibu-bapak) memberikan contoh-contoh dari sifat yang baik itu dalam
kehidupan mereka sehari-hari, karena anak-anak lebih cepat meniru daripada
mengerti kata-kata yang abstrak.[10]
Tidak berlebihan bila keadaan dewasa ini dikatakan munculnya beberapa
gejala orang tua yang bertendensi sangat memanjakan anak-anaknya, di samping
mereka kurang memiliki bekal pengetahuan dalam membina atau menumbuh-kembangkan
anak yang baik. Fenomena tersebut merangsang anak atau remaja melakukan deviasi
(penyimpangan). Penyimpangan ini bukan saja bersifat kenakalan biasa melainkan
telah berpindah pada tingkat kriminalitas dengan melanggar berbagai rambu atau
kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Indonesia, terutama norma-norma kesusilaan
dan norma Islam.
Dalam hubungannya dengan keluarga dewasa ini ada sebagian orang tua
beranggapan bahwa kebutuhan primer anak adalah yang bersifat jasmaniah atau
biologis saja. Padahal secara rohaniah anak remaja atau yang disebut juga
sebagai masa pubertas membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tua. Kasih
sayang tidak akan dirasakan oleh anak, jika di dalam hidupnya mengalami hal-hal
seperti orang tua terlalu keras, orang tua terlalu sering membanding-bandingkan
dengan kelebihan anak tetangga, dan yang lebih parah lagi bila kedua orang tua
memiliki persepsi yang berbeda atau berlawanan dalam mengarahkan anak. Keadaan
ini tentunya bisa dibayangkan bagaimana bentuk prilaku anak di kemudian hari.
Dalam realitasnya tidak banyak ditemukan suatu keluarga yang dibangun di
atas landasan kerjasama suami dan isteri dalam membina anak. Yang terjadi dalam
membina anak antara metode ayah dan ibu merupakan suatu dikotomi, sehingga anak
menjadi tidak mengerti harus mengikuti pandangan siapa atau harus berpegang
kepada siapa, apakah kepada ayah ataukah ibu. Ini dilatar belakangi oleh sikap
egoistis dari seorang suami atau boleh jadi seorang isteri. Padahal adanya
perspektif yang sama dan persepsi yang tidak berbeda antara suami dan isteri
maka akan sangat mudah membangun pribadi seorang anak. Sebaliknya seorang anak
yang dibangun dari persepsi yang berbeda antara kedua orang tua itu, maka
pembinaan yang demikian tidak akan berjalan efektif, melainkan akan berakibat
fatal yaitu anak akan mengambil jalan sendiri.
Jalan yang ditempuh oleh anak tersebut, kalau pilihannya benar barang
kali itu bukan masalah. Namun, jika pilihannya salah apalagi hanya mengadopsi
dari pergaulan atau dari kawan-kawannya yang berkelakuan buruk, akan sangat cepat
anak itu melakukan proses peniruan. Oleh sebab itu, kerja sama antara suami dan
isteri sangat diperlukan dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kenakalan
remaja, apalagi bila hal itu sudah terjadi.
Di tengah-tengah persaingan hidup yang makin tajam, telah memunculkan
individu-individu yang gelisah dan penuh kecemasan. Kegelisahan dan kecemasan
itu sering kali tampak mewarnai kehidupan sebuah keluarga. Suatu keluarga yang
dikungkung oleh rasa gelisah dan kecemasan yang berkepanjangan adalah sebagai akibat
kurangnya pengamalan dan penghayatan Islam. Suatu keluarga yang tidak didasari
oleh kendali Islam maka didikan yang akan dikembangkan kepada anaknya pun sudah
dapat dibayangkan yaitu akan lahir anak-anak yang sekuler dan menjauhi
kaidah-kaidah Islam. Ketika seorang anak telah berani merusak sebagian atau
seluruh kaidah-kaidah Islam tentunya akan mewujudkan perilaku-perilaku yang
menyimpang dan merugikan bagi orang lain atau masyarakat bahkan bangsa. Atas
dasar itu kerjasama yang baik ayah dan ibu dalam membina anak harus dilandaskan
kepada pengamalan dan penghayatan Islam menuju pada insane yang beriman dan
bertaqwa. Sebuah keluarga yang dibangun di atas landasan iman dan taqwa
kemudian dipancarkan keimanan dan taqwa itu kepada anak-anaknya, maka bukan
mustahil akan menghasilkan anak-anak yang sesuai dengan harapan bangsa dan
negara.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam
keluarga disebut pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan peletak
fondasi dari watak dan pendidikan anak. Oleh karena itu, konsep pendidikan
Islam perlu diterapkan terutama dalam pendidikan keluarga karena pendidikan
keluarga sebagai fondasi terhadap lembaga pendidikan sekolah dan luar sekolah,
atau dalam masyarakat.
Dari sekian luas penanggulangan yang bisa dilakukan, dapat dikelompokkan
usaha-usaha penanggulangannya, sebagai berikut,
a. Tindakan preventif
Tindakan preventif ini merupakan pencegahan terhadap perilaku meyimpang.
Pada dasarnya tindakan preventif ini merupakan suatu pencegahan sebelum
seseorang melakukan perbuatan menyimpang. Menurut Kartini Kartono, tindakan
preventif yang bisa dilakukan antara lain berupa:
1) Meningkatkan kesejahteraan keluarga.
2) Perbaikan lingkungan, yaitu daerah slum, kampung-kampung miskin.
3) Mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki
tingkah laku remaja dan kesulitan mereka.
4) Menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remja.
5) Membentuk badan kesejahteraan anak.
6) Mengadakan panti asuhan.
7) Mengadakan lembaga reformatif untuk memberikan latihan korektif,
pengoreksian, dan asisten untuk hidup mandiri dan susila kepada anak-anak
danpara remaja yang membutuhkan.
8) Membuat badan supervisi dan pengontrolan terhadap kegiatan anak delinquen, disertai program
yang korektif.
9) Mengadakan pengadilan anak.
10) Menyusun undang-undang khusus untuk pelanggaran dan kejahatan yang
dilakukan olehseorang anak dan remaja.
11) Mendirikan sekolah bagi anak gembel (miskin).
12) Mengadakan rumah tahanan khusus untuk anak dan remaja.
13) Menyelenggaran diskusi kelompok dan bimbingan kelompok untuk
membangun kontak manusiawi di antara para remaja delinquent dengan masyarakat luar. Diskusi
tersebut akan bermanfaat bagi pemahaman kita mengenai jenis kesulitan dan
gangguan pada diri remaja.
14) Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreativitas para remajadelinquent dan yang non-delinquent.[11]
Tindakan preventif ini bersifat mencegah sehingga sebelum perbuatan juvenile delinquency tersebut semakin parah, maka
diperlukan tindakan preventif untuk meminimalisi perilaku juvenile delinquency atau sedia payung sebelum hujan.
Sedangkan Sudarsono menyatakan bahwa tindakan preventif dengan cara
moralistis yakni menitik-beratkan pada pembinaan moral dan membina kekuatan
mental anak.[12] Pembinaan
mental merupakan usaha untuk melakukan pembaharuan atau untuk menyempurnakan
batin dan watak anak agar ia memiliki mental yang sehat dan diharapkan akan
menjauhkan anak dari perbuatan-perbuatan deliquent.
Usaha lain yang dapat dilakukan pendidik adalah dengan cara abolisionistisadalah usaha
untuk memperkecil atau meniadakan faktor-faktor yang membuat anak terjerumus
pada perbuatan deliquent.[13] Faktor-faktor
tersebut antara lainbroken home, frustasi, pengangguran, dan kurangnya
sarana hiburan untuk remaja. Terhadap anak yang mengalami deliquent diperlukan monitoring secara continue dan konsisten agar
tidak mempunyai peluang untuk kambuh lagi. Oleh karena itu, diperlukan tindakan
rehabilitasi. Dalam kamus ilmiah, rehabilitasi diartikan sebagai pemulihan,
(perbaikan/pembetulan) seperti sedia kala.[14]
Tindakan rehabilitasi ini terletak pada pusat-pusat rehabilitasi anak
seperti Wisma Pamardisiwi (Kepolisian), panti asuhan untuk rehabilitasi anak
nakal/korban narkotika (Depsos), rehabilitasi anak nakal Tanggerang (Dep.
Kehakiman) perlu meningkatkan sarana dan prasarana, personil profesional/pendidik
dan tenaga ahli (psikolog/psikiater/pekerja sosial). Balai Latihan Kerja (BLK)
perlu didirikan kepada mereka yang putus sekolah untuk memberi bekal
keterampilan agar hidup mandiri dimasyarakat. Sedangkan, tindakan rehabilitasi
secara keagamaan yaitu memasukkan anak deliquent ke pesantren. Seperti ketergantungan
narkoba di Suryalaya, Tasikmalaya dan lain sebagainya.[15]
Monitoring anak deliquent tidak hanya pada lembaga-lembaga rehabilitasi
namun dibutuhkan adanya kerjasama yang aktif antara keluarga, pendidikan dan
masyarakat dalam membantu proses rehabilitasi. Setelah anak mendapatkan
rehabilitasi maka diperlukan tindakan resosialisasi. Yakni suatu usaha
penyatuan kembali antara anak delinquent dengan masyarakat.[16]
Resosialisasi anak deliquent memerlukan sebuah proses. Lingkungan
anakdeliquent memiliki
peranan penting dalam proses resosialisasi. Pendidik seharusnya memberikan
teladan serba baik seperti suka bergotong-royong, selalu cenderung melakukan
perbuatan-perbuatan baik. Selain itu, memberikan dinamika kelompok yang harus
dipatuhi. Di lingkungan pendidikan harus merupakan suatu modifikasi kehidupan
sosial dengan pretensi pembinaan anak deliquent sebagai persiapan untuk menjadi
anggota keluarga yang baik, atau anggota masyarakat. Oleh kerena itu, anak
perlu sebuah keterampilan sebagai modal kreativitas seperti berternak, bertani
dan berkebun, sebagai modal anak dalam hidup dimasyarakat. Sehingga mempermudah
resosialisasi.
Tindakan prevensi dan rehabilitasi dikulminsai dengan normalitas
resosialisasi. Komplementasi konsepsi perlu integralitas visualisasi dalam
aplikasi dengan mengacu pada suatu efisien yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar
anak deliquentdiakui keberadaannya ditengah-tengah masyarakat sebagai individu
dan anggota kelompok yang sanggup membina solidaritas sosial yang kokoh,
memiliki interelasi yang kuat, juga merasakan interdependen yang mapan.
b. Tindakan Represif
Tindakan represif ini berupa pemberian saksi atau hukuman ketika
seseorang melakukan pelanggaran. Tindakan represif pada dasarnya merupakan
pencegahan setelah terjadi pelanggaran. Metode tindakan represif yang selama
ini dijalankan oleh aparat keamanan/Polisi/ABRI cukup memadai, tetapi beberapa
hal di bawah ini menurut Dadang Hawari, antara lain sebagai berikut:
1) Aparat keamanan/penegak hukum perlu ditingkatkan kewibaannya.
2) Sarana dan prasarana (termasuk personil) kamtibmas perlu
ditingkatkan.
3) Untuk mengawasi perkelahian massal, cukuplah personil aparat keamanan
dipelengkapi dengan tongkat karet/pentungan. Penggunaan senjata api sebaiknya
dihindari, sebab yang dihadapi adalah remaja, anak sekolah/anak didik, bukan
kriminal ataupu kaum perusuh.
4) Mereka yang tertangkap hendaknya diperlakukan bukan sebagai perusuh,
tetapi sebagai anak nakal yang perlu “hukuman” atas perilaku menyimpangnya itu.
Selanjutnya mereka diberi terapi edukatif.
5) Dalam menghadapi perkelahian massal ini hendaknya petugas tetap
berkepala dingin, cukup pengendalian diri, tidak bersikap angresif dan
emosional.
6) Diupayakan pada mereka yang tertangkap dapat dilakukan pemeriksaan
awal yang membedakan mana yang berkepribadian antisosial yangmerupakan “biang
kerok”, dan mana yang hanya ikut-ikutan. Untuk maskud ini bantuan
psikolog/psikiater diperlukan penilaiannya. Pembedaan ini perlu guna tindakan
selanjutnya dalam upaya terapi pemantauan.
7) Selama mereka dalam “tahanan”, hendaknya petugas mampu menahan diri
untuktidak melakukan tindakan kekerasan/pukulan dan hal-hal lain yang tidak
manusiawi.[17]
Tindakan represif ini bersifat menekan, mengekang dan menahan sehingga
diharapkan dengan tindakan ini para pelaku juvenile
delinquency berfikir dua kali
untuk melakukan perbuatan-perbuatan asosial.
c. Tindakan kuratif
Setelah usaha-usaha yang lain dilaksanakan, maka dilaksanakan tindakan
pembinaan khusus untuk memecahkan dan menanggulangi problem juvenile delinquency. Pembinaan
khusus, menurut Salihun A. Nasir, diartikan sebagai kelanjutan usaha atau daya
upaya untuk memperbaiki kembali sikap dan tingkah laku remaja tersebut dapat
kembali memperoleh kedudukannya yang layak di tengah-tengah pergaulan sosial
dan berfungsi secara wajar.
Prinsip pembinaan khusus ini adalah:
1) Sedapat mungkin dilakukan ditempat orang tua/walinya.
2) Kalau dilakukan oleh orang lain, maka hendaknya orang lain berfungsi
sebagai orang tua atau walinya.
3) Kalau di sekolah atau asrama, hendaknya diusahakan agar tempat itu
berfungsi sebagai rumahnya sendiri.
4) Di mana pun remaja itu ditempatkan, hubungan kasih sayang dengan
orangtua atau familinya tidak boleh diputuskan.
5) Remaja itu harus dipisahkan dari sumber pengaruh buruk.[18]
Tindakan kuratif (penanggulangan) ini dengan prinsip untuk menolong para
remaja agar terhindar dari pengaruh buruk lingkungan dan nantinya dapat kembali
lagi berperan di masyarakat.
0 comments:
Post a Comment