PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dahulu Indonesia dikenal
sebagai negara yang ramah, berpenduduk penuh etika dan sopan santun. Masyarakat
masih menjunjung tinggi tata krama dalam pergaulan sebagaimana anak bersikap
kepada orang yang lebih tua maupun hubungan antar teman.
Namun seiring laju perkembangan zaman dan perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah sebagian besar masyarakat dunia terutama remaja. Sebagaimana telah diketahui dengan adanya kemajuan informasi di satu sisi remaja merasa diuntungkan dengan adanya media yang membahas seputar masalah dan kebutuhan mereka. Dengan adanya hal tersebut, media telah menyumbang peran besar dalam pembentukan budaya dan gaya hidup yang akan mempengaruhi moral remaja. Namun sebagian besar media ini membawa dampak negatif khususnya bagi remaja yang notabenenya lebih banyak menggunakan. Berbagai masalah yang muncul tak terkendali, generasi muda terpelajar baik pelajar maupun mahasiswa harapan bangsa tawuran antara sesama bagaikan lawan yang abadi. Oleh karena itu generasi muda memerlukan perbaikan yang lebih melalui membangun pendidikan karakter.
Namun seiring laju perkembangan zaman dan perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah sebagian besar masyarakat dunia terutama remaja. Sebagaimana telah diketahui dengan adanya kemajuan informasi di satu sisi remaja merasa diuntungkan dengan adanya media yang membahas seputar masalah dan kebutuhan mereka. Dengan adanya hal tersebut, media telah menyumbang peran besar dalam pembentukan budaya dan gaya hidup yang akan mempengaruhi moral remaja. Namun sebagian besar media ini membawa dampak negatif khususnya bagi remaja yang notabenenya lebih banyak menggunakan. Berbagai masalah yang muncul tak terkendali, generasi muda terpelajar baik pelajar maupun mahasiswa harapan bangsa tawuran antara sesama bagaikan lawan yang abadi. Oleh karena itu generasi muda memerlukan perbaikan yang lebih melalui membangun pendidikan karakter.
Hilangnya moral para remaja
adalah suatu hal yang telah banyak disaksikan di seluruh pelosok bumi
nusantara, termasuk di Indonesia. Moral remaja yang telah hilang termasuk dalam
kenakalan remaja. Yaitu masalah yang telah mengancam bangsa ini.
Remaja yang seharusnya menjadi tumpuhan masa depan bangsa tidak lagi dapat diharapkan. Walaupun tidak sedikit juga para remaja yang telah banyak menulis tinta emas dalam sejarah bangsa di dunia Internasional. Namun tidak sedikit juga para remaja ini yang salah jalan. Mereka bahkan tidak sadar akan keberadaannya dan siapa dirinya sendiri.
Remaja yang seharusnya menjadi tumpuhan masa depan bangsa tidak lagi dapat diharapkan. Walaupun tidak sedikit juga para remaja yang telah banyak menulis tinta emas dalam sejarah bangsa di dunia Internasional. Namun tidak sedikit juga para remaja ini yang salah jalan. Mereka bahkan tidak sadar akan keberadaannya dan siapa dirinya sendiri.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah
ini, antara lain:
1. Apakah yang dimaksud
krisis moral yang sedang melanda remaja Indonesia?
2. Apa saja faktor yang menyebabkan
terjadinya krisis moral?
3. Apa saja solusi yang dapat
dilakukan untuk mengatasi krisis remaja?
C. Tujuan Penulisan makalah
ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana krisis moral yang dialami para
remaja dan solusi untuk mengatasinya.
D. Pembatasan Masalah
1. Krisis
Dalam kamus umum bahasa
Indonesia karangan Poerwadaminta, Krisis diartikan sebagai kemelut atau keadaan
yang genting. Dengan adanya suatu krisias maka perlu adanya solusi sebagai
jalan keluar agar krisis tersebut dapat diatasi.
2. Moral
Moral menurut bahasa berarti
baik atau buruknya perbuatan. Sedangkan dari segi istilah moral adalah ajaran
tentang tindakan seseorang. Dalam hal sifat, kehendak, pendapat atau perbuatan
yang layak dilakuka.
Menurut Drs Sidi Ghozalba,
moral adalah kesesuian dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan
manusia man yang baik dan yang wajar.
3. Remaja
Remaja berasal dari kata
latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah
tersebut mempunyai arti yang lebih kuas yang mencakup kematangan mental,
emosional sosial dan fisik. Pada masa ini sebenarnya tidak mempuanyai tempat
yang jelas karena tidak termasuk golongan anak namun tidak juga golongan dewasa
atau tua.
PEMBAHASAN
Kenakalan remaja berupa krisis moral para remaja merupakan masalah yang telah meluas dan secepatnya harus segera diselesaikan, karena dapat mengancam masa depan kehidupan mereka sendiri dan masa depan bangsa. Namun sebagian besar masyarakat tidak menyadari akan hal tersebut. Krisis moral adalah permasalahan yang sangat kompleks, namun selalu merupakan interaksi.Faktor lingkungan yaitu tentang keluarga, kelompok sebaya, kehidupan sekolah, dan masyarakat luas termasuk media massa serta penegakan hukum setempat. Dari ketiganya yang paling penting adalah faktor individu. Seseorang harus bertanggungjawab atas perilakunya. Faktor krisis moral yaitu tentang perilaku sehari-hari yang telah menyimpang, misal tidak sopan kepada orang yang lebih tua, tidak mentaati tata tertib sekolah, merokok, dan lain-lain.
Dalam sumber lain juga disebutkan bahwa faktor penyebab krisis moral remaja terbagi menjadi dua, yaitu
Kenakalan remaja berupa krisis moral para remaja merupakan masalah yang telah meluas dan secepatnya harus segera diselesaikan, karena dapat mengancam masa depan kehidupan mereka sendiri dan masa depan bangsa. Namun sebagian besar masyarakat tidak menyadari akan hal tersebut. Krisis moral adalah permasalahan yang sangat kompleks, namun selalu merupakan interaksi.Faktor lingkungan yaitu tentang keluarga, kelompok sebaya, kehidupan sekolah, dan masyarakat luas termasuk media massa serta penegakan hukum setempat. Dari ketiganya yang paling penting adalah faktor individu. Seseorang harus bertanggungjawab atas perilakunya. Faktor krisis moral yaitu tentang perilaku sehari-hari yang telah menyimpang, misal tidak sopan kepada orang yang lebih tua, tidak mentaati tata tertib sekolah, merokok, dan lain-lain.
Dalam sumber lain juga disebutkan bahwa faktor penyebab krisis moral remaja terbagi menjadi dua, yaitu
1. Faktor Internal
a. Keluarga
Keluarga mempunyai fungsi
sebagai pengawas sosial, keluarga memberi pengertian kepada semua anggota
keluarga tentang peranannya, baik di dalam maupun di luar rumah atau dalam
masyarakat. Keluarga merupakan agen sosial pertama dan utama dalam mengenalkan
nilai-nilai sosial dan kebudayaan.
Dengan demikian orang tua
mempunyai peranan penting dalam mendidik anak, jika orang tua benar dan
sungguh-sungguh dengan ikhlas maka akan menghasilkan anak yang sopan dan patuh.
Namun, melihat perkembangan zaman sekarang banyak orang tua yang lebih
mengedepankan kepentingan pekerjaan daripada kepentingan anak, sehingga banyak
remaja yang kurang perhatian dan merasa bebas mengatur jalan hidupnya sendiri.
b. Basik agama
Agama merupakan faktor
penting dalam mempengaruhi kepribadian seorang remaja untuk mengontrol jiwanya
lebih baik dan jika seseorang mempunyai basik agama yang kurang maka akan
kurang juga moral yang dimilikinya.
2. Faktor Eksternal
a. Pengaruh lingkungan sekolah
Salah satu dari penyebab
krisis moral remaja adalah lingkungan sekolah, hal itu terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain:
- Kurangnya perhatian dari
pihak guru
- Terlalu bebas bergaul
- Lemahnya peraturan sekolah,
dan lain-lain
b. Pengaruh lingkungan tempat
tinggal
Lingkungan tempat tinggal
sangat berpengaruh dalam perkembangan moral remaja. Tempat tinggal merupakan
tempat bergaul yang nyata.
c. Lingkungan bergaul
Pergaulan juga merupakan
salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya krisis moral remaja.
Seseorang yang bergaul dengan teman-teman yang berperilaku buruk, maka dia juga
akan terseret ke dalamnya.
Krisis moral yang melanda
remaja Indonesia telah terbukti oleh penelitian Direktur Remaja dan
Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
Pusat (BKKBN) M Masri Muadz bahwa 63% remaja usia SMP SMA di 33 propinsi di
Indonesia telah mengalami krisis moral. Ini sangat memalukan bagi masyarakat
Indonesia yang terkenal kental dengan adat ketimuran. Sangat ironis memang,
karena krisis moral ini telah meluas ke individu remaja masing-masing yang
seharusnya menjadi penerus bangsa Indonesia ini.
Jika para remaja terus mengalami krisis moral, maka akan membawa dampak negatif terhadap dirinya sendiri, seperti: masa depan yang tidak jelas, dijauhi teman-teman, kemiskinan mental, ketidakharmonisan dalam keluarga, dan lain-lain.
Jika para remaja terus mengalami krisis moral, maka akan membawa dampak negatif terhadap dirinya sendiri, seperti: masa depan yang tidak jelas, dijauhi teman-teman, kemiskinan mental, ketidakharmonisan dalam keluarga, dan lain-lain.
Hal-hal yang bisa dilakukan
untuk mencegah krisis moral remaja diantaranya: adanya motivasi dari keluarga,
guru, sahabat, untuk mendorong remaja ke pergaulan yang lebih baik. Peran
orangtua serta pemerintah sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini,
karena ini merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa Indonesia.
Berikut adalah solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis moral remaja Indonesia, antara lain:
Berikut adalah solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis moral remaja Indonesia, antara lain:
1. Kegagalan mencapai
identitas peran dan lemahnya kontrol diri dapat dicegah atau diatasi dengan
prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur
orang-orang dewasa yang telah melampau masa remajanya dengan baik juga yang
berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap remajanya.
2. Pihak sekolah mendidik
pelajar dengan tuntunan pelajaran yang berbasis agama serta lebih mengedepankan
intelektualitas yang berwawasan etika dan moral yang tinggi.
3. Adanya motivasi dari
keluarga, guru, teman sebaya.
4. Kemauan orang tua untuk
membenahi kondisi keluarga sehimgga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif,
dam nyaman bagi remaja.
5. Remaja haruslah pandai
memilih teman dan lingkungan yang baik serta orang tua memberi arahan dengan
siapa dan di komunitas mana remaja harus bergaul.
6. Remaja membentuk ketahanan
diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman sebaya atau komunitas
yang ada tidak sesuai dengan harapan.
DEKADENSI moral sudah menjadi fenomena umum
yang melanda umat manusia sekarang ini. Terutama peradaban barat yang menyuarakan
kebebasan telah mengalami kerusakan moral yang luar biasa. Ironisnya budaya
barat yang sudah mengalami kerusakan moral itu mereka sebarkan ke negeri-negeri
muslim. Akibatnya, budaya lokal masyarakat muslim terkontaminasi dengan budaya
barat, dan pada akhirnya budaya lokal mengalami kegoncangan dan semakin dekat
dengan gaya hidup barat. Indonesia adalah salah satu korbannya.
Melihat perkembangan terakhir umat Islam di
Indonesia tergambar dengan jelas betapa merosotnya akhlak sebagian umat Islam. Dekadensi
moral terjadi terutama di kalangan remaja. Sementara pembendungannya masih
berlarut-larut dan dengan konsep yang tidak jelas.
Rusaknya moral umat tidak terlepas dari upaya jahat dari pihak luar umat yang dengan sengaja menebarkan berbagai penyakit moral dan konsepsi agar umat goyah dan berikutnya tumbang. Sehingga yang tadinya mayoritas menjadi minoritas dalam kualitas. Keadaan semakin buruk ketika pihak aparat terlibat dan melemahnya peran ulama dan tokoh masyarakat.
Rusaknya moral umat tidak terlepas dari upaya jahat dari pihak luar umat yang dengan sengaja menebarkan berbagai penyakit moral dan konsepsi agar umat goyah dan berikutnya tumbang. Sehingga yang tadinya mayoritas menjadi minoritas dalam kualitas. Keadaan semakin buruk ketika pihak aparat terlibat dan melemahnya peran ulama dan tokoh masyarakat.
Generasi muda sekarang sudah tercengkeram
fenomena pergaulan bebas (free life style). Gaya hidup seperti ini sebenarnya
sangat jauh dari nilai-nilai Islam dan budaya Indonesia. Namun karena ada
kalangan tertentu yang ingin merusak moral bangsa, maka lambat laun generasi
muda kita akhirnya terjebak juga. Dalam hal ini, peran media sangatlah besar,
baik media cetak maupun elektronik. Coba kita lihat tayangan televisi yang
bertema dunia sekolah, bukannya mengajak anak-anak Indonesia untuk rajin
belajar, film-film yang ada malah mengajak mereka untuk berpacaran, hura-hura
dan bergaul bebas. Imbasnya benar-benar dirasakan oleh anak-anak Indonesia,
dari masyarakat kota sampai masyarakat desa. Akibatnya mereka mengalami
kemerosotan moral yang cukup signifikan.
Kaum perempuan terseret jauh kepada peradaban
Barat dengan slogan kebebasan dan feminisme yang berakibat kepada rusaknya
moral mereka, maka tak jarang mereka menjadi sasaran eksploitasi. Dengan dalih
kebebasan berekspresi, setiap inci tubuh perempuan dijadikan komoditi. Membuka
aurat, bahkan sampai adegan berzina pun dilakoni, asal mendatangkan materi.
Aurat perempuan dilombakan dan dinilai, mana yang paling mendatangkan ‘hoki’.
Anehnya, dengan penuh kesadaran, kaum perempuan antri minta diekploitasi;
bahkan semakin hari kian menggila.
Untuk mengatasi kerusakan moral yang sudah
kronis seperti ini, Islam mempunyai solusi tepat untuk dapat mengurangi dan
meredakan hal itu. Konsep Islam yang mengajarkan akhlak al-karimah adalah satu
hal yang ampuh dalam mengatasi kerusakan moral. Bahkan Rasulullah SAW
mengatakan bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Dekadensi moral yang berupa pergaulan bebas,
apabila umat Islam kembali kepada ajaran Islam, maka secara tegas Islam
melakukan tindakan preventif dengan ayat al-Qur’an yang mengatakan “wala
taqrabu zina”, jangan kamu mendekati zina. Prakteknya, Islam melarang umat
melakkan perbuatan yang bisa mengarah ke perzinaan, seperti: SMS-an, chatting,
facebook-an, pacaran, lelaki dan perempuan bukan mahrom berduaan di tempat
sepi, goncengan, dll.
Hal ini adalah tindakan antisipatif yang Islam berikan untuk mencegah terjadinya pergaulan bebas. Dalam Islam juga dikenal istilah mahrom, dua orang lawan jenis yang bukan mahrom dilarang melakukan hubungan, kecuali keduanya telah menikah. Selain itu, Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga kesucian dengan menutup aurat dimana ia tak didapati dalam ajaran-ajaran lain. Dalam Islam menutup aurat adalah hukumnya wajib bagi pria dan wanita. Ha itu tidaklah lain untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya.
Hal ini adalah tindakan antisipatif yang Islam berikan untuk mencegah terjadinya pergaulan bebas. Dalam Islam juga dikenal istilah mahrom, dua orang lawan jenis yang bukan mahrom dilarang melakukan hubungan, kecuali keduanya telah menikah. Selain itu, Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga kesucian dengan menutup aurat dimana ia tak didapati dalam ajaran-ajaran lain. Dalam Islam menutup aurat adalah hukumnya wajib bagi pria dan wanita. Ha itu tidaklah lain untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya.
Jika sistem Islam diterapkan secara kafah
tentu persoalan pergaulan bebas tidak akan terjadi. Dalam sejarah panjang
penerapan Syariah Islam dari masa Rasulullah hingga jatuhnya Kekhilafahan Turki
Utsmani, kita tidak pernah mendapatkan persoalan ini mengemuka di tengah
masyarakat.
Peristiwa yang terjadi berapa
waktu terakhir menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mengalami krisis. Mulai dari
krisis ekonomi, identitas, sampai dengan krisis moral. Identifikasi penggunaan
kekerasan dalam upaya mendirikan Negara Islam di Indonesia, misalnya,
menjadikan masalah yang bersifat sangat segera untuk diatasi. Bermula dari
penanaman ideologi dan kepercayaan pada satu bidang kepercayaan tertentu dari
agama Islam, di halalkanlah berbagai cara untuk mewujudkan tujuan. Tragedi yang
terjadi kemudian adalah berjatuhannya banyak nyawa, kerusakan berbagai
infrastruktur dan lain sebagainya. Peristiwa bom Cirebon dan ancaman bom pada
hari Wafat Isa al-Masih adalah contoh nyata. Betapa para sarjana yang
berpendidikan bisa terlibat dan melibatkan diri dalam ancaman dan pengrusakan
tersebut.
Dimanakah akar kekerasan dan
kejahatan kolektif semacam itu? Apakah sebagian masyarakat kita tengah
mengalami krisis identitas diri yang bermuara pada krisis moral dan spiritual?
Bangsa Indonesia mulai tercerabut dari akar kepribadian, bangsa Indonesia tidak
lagi berkarakter. Berbedakah dengan jaman dahulu, apakah jaman dahulu lebih
baik dari saat ini?
Pertanyaan-pertanyan tersebut
muncul karena tindakan masyarakat saat ini tidak rasional, dan ambang batas
toleransi masyarakat dalam menghadapi persoalan sangat tipis sekali. Hal-hal
kecil dan sepele tidak jarang menyulut kekerasan kolektif ratusan bahkan ribuan
massa, dan tidak jarang menimbulkan korban yang tidak sedikit.
Pada sisi lain semakin
transparannya KKN dalam kehidupan pemerintahan mengindikasikan bahwa selain
masyarakat, ternyata pemerintah yang menjadi panutan warga Negara dalam
berperilaku juga telah kehilangan legitimasi akhlak.
Sampai dengan saat ini,
paling tidak sistem pendidikan nasional bangsa Indonesia masih menyisakan
persoalan-persoalan yang terkait dengan pemerataan kesempatan, mutu, relevansi,
dan efisiensi. Begitu pun aspek Iain yang juga masih terkait dengan pendidikan,
seperti kemerosotan akhlak dan moral masyarakat Indonesia. Beberapa
indikatornya adalah masih banyaknya tawuran di berbagai tempat, pengedaran dan
konsumsi narkoba, penyebaran HIV/AIDS, human traficking, dan
sebagainya.
Bagaimana
memperbaiki manifestasi dari krisis moral dan akhlak tersebut? Apakah hanya
melihat keberhasilan masa lampau yang sanggup menciptakan orang-orang yang
berakhlak dan berkarakter atau lebih melihat ke depan guna menghadapapi era
baru yang lebih menantang lagi?
B. Moral dan Krisis Moral
1.
Moral
(Akhlak)
Apabila membicarakan krisis moral (akhlak), yang perlu
dipahami adalah pengertian dari moral (akhlak) itu sendiri agar tidak terjadi
kesalahan semantik. Bertens memandang moral (akhlak) sebagai keseluruhan asas
dari nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Semua bangsa mempunyai pengalaman
terhadap baik dan buruk, tetapi tidak selalu ada pendapat yang sama tentang apa
yang harus dianggap baik atau buruk itu. Pengertian tentang baik dan buruk
merupakan sesuatu yang umum yang terdapat di mana-mana dan di segala zaman.
Dengan kata lain akhlak atau moralitas merupakan fenomena manusiawi
(kemanusiaan) yang universal.
Moral atau "ethos" seseorang
atau sekelompok orang adalah bukan hanya apa yang dilakukan oleh orang atau
sekelompok orang itu, melainkan juga apa yang menjadi pemikiran dan pendirian
mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut
dan tidak patut untuk dilakukan. Perbuatan-perbuatan atau perilaku orang pada
umumnya, tidak selalu adalah tanda, adalah manifestasi keyakinan atau pandangan
hidup orang.
Dalam penggunaannya sebagai kata sifat, moral dapat
dimaknakan sebagai
(1) sesuatu yang menyangkut penilaian atau pengajaran
tentang kebaikan atau keburukan watak atau kelakuan;
(2) sesuatu yang bersetujuan dengan ukuran-ukuran maupun
kelakuan yang baik;
(3) sesuatu yang timbul dari hati nurani;
(4) hal yang punya dampak kejiwaan bukan keragaan;
(5) hal yang didasarkan atas kelayakan daripada bukti;
(6) prinsip yang diajarkan (atau disimpulkan) lewat sebuah
cerita atau kejadian;
(7) aturan-aturan kebiasaan tingkah laku (khususnya tingkah
laku seksual).
Dalam konteks Islam, moral (akhlak) dimaknai sebagai
pandangan dan sikap hidup terpuji berlandaskan ajaran Allah yang termaktub
dalam al-Qur'an dan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Secara lebih
terperinci, objek atau lapangan akhlak dalam Islam meliputi bagaimana
seharusnya hubungan manusia dengan penciptanya, manusia terhadap dirinya,
manusia terhadap keluarganya, manusia terhadap masyarakatnya, manusia yang satu
dengan masyarakat lainnya, manusia terhadap hewan, dan manusia terhadap makhluk
lainnya.
Beberapa pengertian tentang baik atau buruk, baik dari
sudut rasionalitas akal,- maupun dari sudut pandang agama di atas, dapat
mengarahkan bahwa moral (akhlak) bukan merupakan sesuatu yang inheren dalam
diri manusia sewaktu dilahirkan, melainkan akhlak terus muncul melalui proses
pendidikan (pembinaan) dan proses sosialisasi. Jadi moral seseorang akan sangat
ditentukan oleh seberapa jauh proses pendidikan (pembinaan) berlangsung pada
individu. Pendidikan tersebut tentu saja melibatkan banyak
unsur. Lingkungan sesama individu, mulai dari keluarga, lingkungan
pendidikan (sekolah), dan lingkungan masyarakat luas sampai
pada negara atau pemerintah.
2. Krisis Moral Bangsa
Krisis moral seseorang yang kemudian juga akan memberikan
sumbangsih pada krisis moral suatu bangsa terjadi ketika seseorang berbuat,
berbudi, dan berperangai tidak lagi didasarkan kepada tuntutan ideal yang
seharusnya (dass soleri) dijadikan pegangan, yaitu nilai agama
dan nilai budaya.
Mengapa Indonesia begitu lama bangkit dari
"keterpurukan nasional" semenjak terjadinya perubahan kontelasi
politik dan ekonomi global, sementara negara-negara lain di Asia Tenggara,
sudah mampu melewatinya meskipun sumber daya alamnya tidak sekaya indonesia?
Krisis moral adalah jawabannya. Krisis moral dalam hal ini dapat ditempatkan
dalam titik sentral dan merupakan causa prima dari krisis
lainnya.
Krisis adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada
sesuatu sehingga tidak bisa berjalan sebagaimana yang seharusnya atau tidak
normal, atau—menurut Durkheim—natural order of the things yang ada
mengalami gangguan. Krisis dengan pengertian inilah yang terjadi di bangsa
Indonesia. Bangsa yang mengalami anomie, mengalami keadaan
dimana norma-norma dan nilai-nilai budaya yang dimiliki seseorang atau suatu
kelompok masyarakat tidak mampu memberi makna terhadap perubahan dan
perkembangan yang berlangsung di berbagai bidang kehidupan.
Empat indikator terjadinya
krisis moral:
a)Unsur-unsur moralitas mengalami erosi
Erosi dalam hal ini berarti berkurangnya nilai-nilai,
norma-norma dan keyakinan yang merupakan bagian dari moralitas yang dimiliki
secara oleh setiap anggota suatu masyarakat. Reduksi terjadi dari yang semula
adalah bagian dari moralitas hidup suatu kelompok menjadi hanya sekedar
kebiasaan yang boleh diikuti boleh juga tidak. Norma-norma dan nilai-nilai lama
(tradisi) runtuh sementara norma-norma dan nilai-nilai bam belum ada yang
disepakati untuk menjadi bagian dari moralitas hidup.
b) Masyarakat tidak lagi terikat pada aturan moral
Transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat
modern melemahkan daya kohesi(fitas) sosial yang ada. Sebagian masyarakat tidak
lagi merasa terikat dengan aturan-aturan moral yang telah menjadi kesepakatan
bersama. Aturan-aturan moral semakin tidak jelas, sehingga menimbulkan anomie
dan indivisualisme yang berlebihan menggejala dalam masyarakat, terutama
masyarakat perkotaan.
c) Moralitas mengalami pelemahan intensitas
Intensitas menunjukkan sejauh mana moralitas atau kesadaran
kolektif memiliki kekuatan untuk mengarahkan pikiran, sikap, dan tindakan
seseorang. Moralitas menghendaki orang untuk mematuhi dari dalam. Karena,
"sementara moralitas berada di atas kita, ia juga berada dalam diri kita
dan hanya bisa menjadi ada oleh dan melalui kita". Oleh karena itu, bila
telah ditinggalkan dan tidak lagi dipatuhi, maka dengan sendirinya moralitas
tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengendalikan sikap dan tindakan anggota
masyarakat.
d) Tidak terjadi kemarahan moral atau moral
outrage
Kemarahan moral berupa reaksi keras dari sebagian besar
anggota masyarakat terhadap seseorang yang dianggap melanggar aturan moral
tertentu merupakan mekanisme yang penting dan diperlukan untuk menjaga
moralitas hidup. Membiarkan pelanggaran aturan moral terjadi tanpa ada reaksi
dan protes dapat menimbulkan anggapan pada si pelanggar bahwa sikap atau
tingkah Iaku yang diperlihatkannya tidak bertentangan dengan moralitas.
Norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan yang tadinya merupakan bagian dari moralitas
hidup akan tereduksi menjadi sekedar moral custom atau
kebiasaan moral yang tidak menuntut kepatuhan seseorang. Akhirnya terserah pada
kemauan setiap individu untuk mengikuti atau tidak, tidak ada mekanisme yang
dapat memaksanya dan tidak ada sanksi sosial apabila ia tidak menyesuaikan
sikap dan tindakan dengan aturan-aturan moral yang ada.
Krisis moral dapat berperan penting dalam segala kondisi
krisis lainnya yang muncul. Krisis moral ini tidak dapat dipisahkan dari
praktek-praktek kekuasaan pada masa lalu yang mengabaikan pentingnya
pembangunan moralitas hidup bangsa {character building)secara
keseluruhan.
C. Pendidikan
Moral dan Pendidikan Karakter
1. Pendidikan Moral
Pendidikan Agama telah diwajibkan di sekolah, lantas
mengapa kemerosotan moral, atau setidaknya tingkah laku siswa yang
"amoral" masih saja terjadi? Apakah pendidikan agama harus
dihapuskan? Nampaknya mempertahankan pelaksanaan pendidikan agama di
sekolah-sekolah akan jauh lebih baik daripada menghapuskannya. Pendidikan agama
akan dapat ikut menanggulangi serta memberi prevensi terhadap masalah moralitas
bangsa.
Pendidikan moral adalah pendidikan keteladanan. Tanpa
keteladanan dan panutan, moral akan semakin pudar. Akhir-akhir ini kalangan
birokrat, pendidik, orangtua, dan generasi muda Indonesia resah, khawatir, dan
kecewa karena adanya krisis keteladanan.
Beragam respons muncul: ada yang bersikap counter-agresif,
pasif, dan ada juga yang memutuskan untuk hanya mengikuti arus. Berbeda dengan
mereka yang memilih respons kedua dan ketiga, bagi mereka yang memilih sikap
pertama, ada kecenderungan untuk menggunakan tindak kekerasan dan radikal.
Semakin banyaknya tindakan abuse of power, seperti korupsi dan tindakan
semacamnya, menjadi humus bagi munculnya tindakan kekerasan, agresif, dan radikal
tersebut.
Para elite politik, pejabat pemerintah, dan intelektual
saat ini memiliki tingkat pendidikan serta prestasi yang relatif sejajar
sehingga tak ada lagi satu sosok bintang yang paling menonjol. Jadi, tiadanya
figur idola generasi muda saat ini bisa dimaknai positif karena hal tersebut
menunjukkan terjadinya mobilitas intelektual secara masif dan berlangsung
demokratisasi dalam berbagai bidang secara mengesankan. Dalam konteks ini yang
diperlukan adalah kepemimpinan kolektif dan penguatan sistem.
Namun, tiadanya sosok menonjol sebagai idola dan panutan
mengindikasikan krisis kepemimpinan dan keteladanan pada era transisi ini.
Krisis moral telah menggerogoti prestasi kinerja pemerintah yang sedikit demi
sedikit mengikis kepercayaan masyarakat, khususnya generasi muda. Ada indikasi
sikap seperti itu telah ikut menyemai tindakan kekerasan, termasuk radikalisme,
dalam masyarakat.
Remaja saat ini tumbuh tanpa pemahaman yang dalam tentang
ideologi berbangsa yang menjadi jati diri dan acuan visi ke depan di tengah
pergaulan dunia yang kian mengglobal. Generasi muda mendatang tidak saja
dituntut memahami dan menjaga multikulturalisme dan pluralisme yang menjadi
realitas sosial bangsa Indonesia. Mereka juga mesti siap masuk dalam pergaulan
dan persaingan lintas bangsa dan negara.
Yang dimaksud ideologi di sini adalah satu set nilai,
cita-cita mulia, yang menjadi acuan dan pegangan hidup yang diperjuangkan
secara militan secara individu dan kolektif sebagai warga bangsa. Bagi warga
Indonesia, ideologi yang dimaksud adalah Pancasila yang secara intrinsik
disarikan dari nilai-nilai agama dan tradisi yang hidup di tengah masyarakat.
Pendidikan moral merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam
pendidikan, baik di keluarga,ataupun lingkungan masyarakat. Tiga hal yang
berkaitan dengan pendidikan moral adalah:
a) Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang
bersentuhan langsung dengan perkembangan moral
anak. Pendidikan karakter adalah proses mengajari anak
dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan
tindakan-tindakan yang tidak bermoral yang membahayakan
orang lain dan membahayakan dirinya sendiri seperti
perilaku berbohong, menipu dan mencuri. Dengan adanya proses pendidikan ini
peserta didik dapat memahami bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku yang
keliru. Menurut pendidikan karakter setiap sekolah harus memiliki aturan moral
yang kemudian dikomunikasikan dengan jelas kepada seluruh siswa. Setiap
pelanggaran terhadap aturan harus dikenai sanksi sesuai dengan kesepakatan.
Klarifikasi nilai adalah proses memberikan bantuan kepada
setiap anak untuk memahami dan menyadari untuk apa hidup serta mengklarifikasi
bentuk-bentuk perilaku apa yang layak dikerjakan. Dalam pendekatan ini, anak
didorong untuk mendefinisikan nilai dari mereka sendiri dan memahami nilai diri
orang lain.
Pendidikan moral kognitif
adalah pendekatan yang didasarkan pada
keyakinan bahwa murid harus mempelajari hal-hal seperti demokrasi dan keadilan
saat moral mereka sedang berkembang (santrock, 2007). Teori Kohlberg banyak
mendasari pendidikan moral kognitif yakni menyadari
bahwa atmosfer moral di sekolah sangat berpengaruh terhadap
perkembangan moral anak. Dengan kata lain, iklim sekolah dalam
pendidikan moral akan menentukan keberhasilan pendidikan moral.
2. Pendidikan Karakter
Karakter (watak) anak bangsa, dilihat dari
fenomena-fenomena sosial remaja dan anak muda saat ini, sungguh sudah sangat
lemah. Hal ini terjadi pada anak bangsa yang juga adalah generasi penerus,
anak-anak muda masa depan. Mungkin karena itu pula, para pendidik bahkan juga
pemerintah melalui Kementerian Diknas dan Kementerian Agama mendengungkan
pendidikan watak atau karakter. Pendidikan watak intinya rangkaian
latihan-Iatihan untuk mengendalikan diri.
Ada dua hal yang harus diketahui. Pertama, pengendalian
diri untuk melaksanakan apa yang menurut hati nurani harus dilakukan. Kedua,
pengendalian diri untuk tak melakukan segala sesuatu yang menurut hati nurani
tak boleh dilakukan. Dalam istilah agama, pengertian ini rasanya sejalan dengan
takwa; menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhkan diri dari apa yang
dilarang Tuhan. Jadi, pendidikan watak seharusnya merupakan Iatihan takwa.
Dalam pendidikan watak secara luas, referensi-referensi untuk melakukan yang
baik dan diperintahkan dan menjauhi larangan tentu tak hanya berasal dari
perintah agama, tetapi juga dari sumber etik lain.
Orang yang telah mendapatkan pendidikan watak secara baik
akan tampil sebagai manusia yang konsisten dalam perilaku. Pendidikan watak
mengasumsikan dua hal: pengetahuan tentang etika dan pengetahuan tentang diri
sendiri. Anak yang berwatak pasti mengenai siapa dirinya sendiri. Dengan
pengetahuan tersebut, ia akan tahu apa yang harus dipelajari dan apa yang tak
perlu dipelajari. Dia tahu betul apa yang diinginkan dan yang tidak
dibutuhkannya.
Menghubungkan dua ini pengetahuan etika dan pengetahuan
tentang diri sendiri tampak mudah bagi orang dewasa. Tetapi, bagi anak yang
sedang tumbuh sering kali bukan perkara sederhana. Dalam kasus yang menimbulkan
keraguan inilah, guru atau pendidik memegang peranan penting. Segala hal yang
diterangkan tak boleh menggoyahkan keyakinan anak mengenai siapa dirinya, apa
yang baik dan utama, juga apa yang nista.
Pendidikan Karakter akan efektif jika diselenggarakan
dengan mengintegrasikan tiga basis desain sebagai berikut:
a) Desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain
ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di
dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas
kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog,
melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan
siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan
pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam
konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah
noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas,
dan Iain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.
b)Desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah
yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah
agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa.
Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan
memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat
dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah
yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.
c)Desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak
berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga
memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan
karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam
penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi
yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang .tidak menghargai makna tatanan
sosial bersama.
Karakter dapat dibentuk jika setiap individu memiliki
teladan yang mampu menggiring mereka dalam ranah yang jelas, tegas, dan benar.
Maka, sebaiknya pendidikan karakter dilakukan kepada para siswa di tingkat
dasar dan menengah. Para siswa ini disiapkan untuk mampu menyikapi pilihan
hidup dengan bijak. Namun, sekolah tentu bukan tempat satu-satunya untuk
mendidik setiap pribadi. berkarakter, tempat lain yang utama adalah keluarga dan
masyarakat. Rumah adalah istana, tetapi rumah juga mampu menjadi penjara jika
tanpa komunikasi. Masyarakat mampu menjadi sahabat, tapi dapat pula menjadi
penyekat apabila tidak ada empati yang dirasakan. Semua individu adalah pelaku
pendidikan karakter.
Lebih fokus di sekolah, pendidikan karakter harus dimulai
dari guru. Guru bukan hanya mengajarkan pelajaran karakter, tetapi guru harus
mampu menempa dirinya agar berkarakter. Siswa bukan barang mati yang dapat
diperdaya dengan berbagai contoh baik, tetapi guru tidak melakukan hal itu.
Pendidikan karakter mengedepankan contoh dan perilaku dari pada ilustrasi angka
yang mere'duksi hakikat karakter sendiri. Materi pendidikan karakter dipahamkan
melalui kegiatan belajar mengajar dalam metode, dan bukan ditagihkan melalui
tes.
Pendidikan karakter dapat diimplementasikan dalam setiap
ranah pelajaran atau diberikan secara tersendiri. Guru harus benar-benar
memiliki sikap yang jelas dalam menjalani kesehariannya karena itulah hakikat
karakter. Sikap dan perilaku yang tegas dan jelas didasarkan pada kebenaran
moral tentu menjadi acuan siswa dalam berpikir. Guru tidak Iagi harus duduk di
meja sambil membaca buku atau menikmati tontonan presentasi siswa. Guru harus
mampu menjadi inspirator setiap siswa dalam belajar.
Mata pelajaran adalah sarana yang menjembatani antara guru
dan siswa dalam berelasi. Guru tidak mungkin lepas dari materi pelajaran. Guru
juga harus mampu mengembangkan materinya sehingga mampu melahirkan kebiasaan
diskusi dan eksplorasi akademis. Wajar jika dalam pendidikan kewarganegaraan,
siswa mampu diajak berpikir mendasar mengenai fungsi disiplin diri dalam
bermasyarakat. Hal ini akan menumbuhkan semangat saling menghargai tanpa harus
memaksa atau dipaksa untuk memahami orang Iain. Dalam pelajaran Materaatika,
guru harus mengutamakan proses penyelesaian soal walaupun ada cara singkat. Hal
ini melatih siswa untuk berpikir struktural dan setia pada proses (tekun). Jika
latihan model tersebut diberikan secara teratur, karakter akan terbentuk tanpa
disadari siswa sendiri.
3. Pendidikan Moral (Karakter) Kementerian Agama (Kemenag)
dan Kemendiknas; Perbandingan Rencana Strategis (Renstra) 2010-2014 Renstra
Kemenag menyebutkan bahwa salah satu arah kebijakan dan rencana strategi
nasional 2010-2014 adalah peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan agama
melaui penguatan peran agama dalam pembentukan karakter dan peradaban bangsa.
Renstra Kemenag memiliki sembilan prioritas yang untuk
mencapainya, salah satunya adalah dengan cara peningkatan karakter bangsa peserta
didik termasuk internalisasi nilai-nilai budaya ke dalam proses pembelajaran,
kurikulum, dan kegiatan ekstrakurikuler, serta peningkatan mutu bahasa
Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan teknologi dan seni serta bahasa
perhubungan luas antara bangsa.
Cita-cita nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
dilandasi keinginan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju, unggul,
mandiri, bermartabat, beradab dan sejahtera. Untuk mewujudkan hal itu,
pemerintah perlu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan
nasional yang dapat membentuk manusia Indonesia yang memiliki penguasaan dan
keterampilan yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki
etos kerja dan daya saing, serta memiliki karkater dan jati diri bangsa yang
kuat, dengan bertumpu pada keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia.
Di dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 3 dan 4 dinyatakan:
"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang,"
dan "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia."
Upaya pembentukan karakter dan jati diri bangsa, di samping
peningkatan penguasaan dan ketrampilan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
serta peningkatan etos kerja dan daya saing, dilaksanakan melalui pembangunan
agama dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan Raudhatul
Athfal (RA), madrasah, perguruan
tinggi agama, pendidikan agama dan
pendidikan keagamaan, guna mewujudkan masyarakat Indonesia
yang mandiri, maju, berakhlak mulia, bermartabat, dan beradab.
Jika dibandingkan dengan Renstra Kemendiknas, Renstra
Kemenag terlihat lebih umum, tidak spesifik dan kurang detail. Hal ini
disebabkan karena pendidikan karakter lebih dinisbatkan kepada pendidikan
akhlak dan pendidikan agama yang memang sudah menjadi ciri khas satuan-satuan
pendidikan di lingkungan Kementerian Agama.
Pada Renstra Kemendiknas, salah satu arah kebijakannya
adalah penerapan metodologi pendidikan akhlak mulia dan karakter bangsa.
Pendidikan karakter hams telah dimulai pada Pendidikan Usia Dini (PAUD) dengan
menerapkan pembelajaran yang membangun karakter (kejujuran, kepedulian,
tanggung jawab dan toleransi) dan menyenangkan bagi anak.
Penerapan pendidikan karakter pada satuan pendidikan
tingkat dasar dan menengah dengan- target persentase pada awal 2009 adalah 0%
diperkirakan tahun 2010 kemarin telah mencapai 10%, kemudian 2011 ini 30%, 2012
50%, 2013 75% dan Tahun 2014 diharapkan mencapai 100%.
Sistem pembelajaran saat ini dipandang belum secara efektif
membangun peserta didik memiliki akhlak mulia dan karakter bangsa. Hal ini
ditunjukkan dengan terjadinya degradasi moral seperti penyalahgunaan narkoba,
radikalisme pelajar, pornografi dan pornoaksi, plagiarisme, dan menurunnya
nilai kebanggaan berbangsa dan bernegara. Kebijakan untuk menanggulangi masalah
ini antara lain adalah sebagai berikut:
-Menanamkan pendidikan moral yang mengintegrasikan muatan
agama, budi pekerti, kebanggaan warga negara, peduli kebersihan, peduli
lingkungan, dan peduli ketertiban dalam penyelenggaraan pendidikan;
-Mengembangkan kurikulum pendidikan yang memberikan
muatan soft skills yang hieningkatkan akhlak mulia dan
menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara;
Rencana Strategis Kementerian Agama
Tahun 2010-2014. Lihat Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Rencana Strategis Kementerian AgamaTahun 2010-2014.
-Menutnbuhkan budaya peduli kebersihan, peduli lingkungan,
dan peduli ketertiban melalui pembelajaran aktif di lapangan;
-Penilaian prestasi keteladanan peserta didik yang
mempertimbangkan aspek akhlak mulia dan karakter berbangsa dan bernegara.
4. Penyelenggaraan Pendidikan Moral (Karakter)
a)Perubahan Mindset Pendidikan (Islam);
Proses dan Output Orientasi pendidikan Islam harus didasari oleh bagaimana
mempelajari Islam untuk kepentingan mengetahui bagaimana beragama yang benar
dan mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan.
Marujuk kepada taksonomi tujuan belajar Benjamin S Bloom,
bahwa tingkat keberhasilan belajar dapat diukur dalam tiga domain, yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedangkan dalam Islam ada konsep ilm,
amal, akhlak, dan Iman. Perbedaannya adalah term-term dalam Islam tersebut
sifatnya integratif, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Dalam prosesnya, pendidikan seringkali berhenti pada ranah
kognitif. Standar evaluasinya pun atau kelulusan diukur dari seberapa tinggi
daya kognitif siswa. Selama ini kurang terevaluasi bagaimana pendidikan akhlak,
pendidikan karakter yang merupakan ranah afektif. Outputnya pun kemudian tidak
akan berbanding lurus, siswa yang tingkat kognitifnya tinggi tidak selalu baik
moralnya.
b)Peran Orang Tua/Wali Murid
Dari usia balita hingga remaja, anak adalah imitator ulung.
Mereka akan mencari tokoh yang akan diidolakan dan akan ditiru dalam setiap
langkahnya. Yang pertama kali adalah ayah dan ibunya. Orang tua yang berhasil
meneladankan sikapnya kepada anaknya, maka anaknya adaiah
seperti apa yang diteladankan, namun sebaliknya jika
tingkah laku orang tua tidak patut untuk ditiru, sang anak akan tetap diam-diam
menirunya.
Di rumah dan di lingkungan, orang tua juga harus
mengawasi anaknya, denga'n siapa
bergaul, kegiatan apa yang dikutinya dan seterusnya. Anak yang
bergabung dengan klub olahraga, remaja masjid, kelompok bakti sosial akan lebih
positif kegiatan-kegiatannya daripada kelompok-kelompok yang sukar untuk
diawasi.
Di lingkungan lembaga pendidikan (sekolah) juga, orang tua
seharusnya tidak serta merta menyerahkan anaknya kepada sekolah (guru), tetapi
orang tua juga berperan sebagai mediator antara anaknya dan sekolah (guru),
sehingga orang tua juga tau perkembangan keilmuan, sikap dan perilaku anaknya.
c) Pengembangan Kurikulum Pendidikan Moral (Karakter)
Hal-hal apa yang harus dikembangkan dalam kurikulum
Pendidikan moral? Disiplih diriadalah kunci pertama untuk mengatur
mekanisme pribadi. Apabila setiap pribadi mampu mengolah dan mengatur dirinya,
ia akan membentuk manajemen diri sehingga siswa mampu menghargai waktu.
Hal kedua yang dapat dilakukan adalah melatih kejujuran. Kejujuran
sering diucapkan tetapi sulit dilakukan. Kejujuran tidak muncul dan tumbuh
secara alamiah mengingat salah satu sifat manusia adalah egois. Berlaku jujur
harus dilatih dan diawasi secara ketat. Hal ini memberikan keuntuugan ganda,
yaitu pembentukan pribadi yang jujur dan melatih siswa melakukan kontrol
sosial.
Hal ketiga adalah memberikan ruang ekspresi yang
cukup. Siswa harus diberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk
mengekspresikan dirinya. Hal ini penting untuk penyaluran emosional. Aktivitas
belajar di kelas dengan jadwal yang ketat membuat siswa menjadi lemah kreasi.
Kebiasaan nongkrong di luar sekolah terjadi karena tidak ada ruang ekspresi
bagi siswa di sekolah. Anggapan yang muncul bahwa sekolah favorit adalah
sekolah dengan kemampuan kognitif tinggi tidak sepenuhnya benar. Kognitif
tinggi tanpa disertai karakter yang baik akan menghasilkan siswa dalam
"cangkang-cangkang akademis" yang minus nurani. Saluran emosional
sangat penting dalam ranah pendidikan karakter. Jika sekolah sebagai lembaga
pendidikan mampu menyeimbangkan hal tersebut, fenomena remaja nongkrong mungkin
dapat berkurang, karena sekolah telah memberikan ruang bagi mereka. Keuntungan
lain dari ekspresi adalah mampu menghargai perbedaan orang lain atau kultur
lain tanpa hams mengerutkan dahi.
Melatih siswa berpikir kritis adalah
bagian sangat penting selanjutnya. Berpikir kritis akan menghasilkan sikap
keberpihakan. Hal ini dapat dilakukan dengan berdiskusi atau berdebat di kelas.
Berpikir kritis dengan model debat untuk melatih siswa mampu mendengarkan
argumen atau opini orang lain. Debat bukan melatih siswa asal berpendapat,
tetapi memberi kesempatan saling mencermati. Ranah terakhir adalah ranah
empati. Karakter harus mampu mencerminkan sikap empati. Sikap inilah
yang akan mewarnai kehidupan setiap siswa. Siswa harus dilatih untuk mengerti
keadaan orang lain secara utuh. Jika hal ini dapat dilatihkan kepada setiap
individu siswa, sikap tolong-menolong, ramah, sopan, dan tata krama akan
terwujud.
d) Integrasi Kurikulum; Pengayaan Pendidikan Agama Islam
pada Mata Pelajaran umum
Integrasi sepintas dan secara sederhana dapat dipahami
dengan proses perpaduan pengetahuan dengan dikotomisasi ilmu yang terjadi.
Artinya, perpaduan antara ilmu umum dan ilmu agama. Iptek dan Imtaq.
Model kurikulum ini mungkin sudah biasa diterapkan pada
madrasah (sekolah umum berciri khas Islam), namun pada sekolah-sekolah umum
lainnya model kurikulum ini belumlah maksimal. Melihat hal ini, Kemendiknas
dalam renstranya kini menerapkan metodologi pendidikan akhlak mulia dan
karakter bangsa.
Pada madrasah, integrasi Iptek dan Imtaq tersebut meliputi:
1) menghubungkan konsep dan teori-teori yang tidak
bertentangan antara iptek dan imtaq;
2) rrienghubungan konsep atau teori-teori iptek dengan
teori atau konsep yang sama dalam imtaq yang dapat saling memperkuat;
3) mempertemukan konsep atau teori-teori iptek dan imtaq
yang kontroversial untuk menemukan solusinya.
Usaha ini pernah dilakukan atau saat ini juga masih
berlangsung di Kementerian Agama, salah satunya, yaitu membuat buku-buku
pengayaan mata pelajaran umum, baik pada tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, maupun
Aliyah. Buku pengayaan tersebut adalah buku pengembangan pelajaran-pelajaran
umum dengan memasukkan nilai-nilai Islam yang bersumber baik dari al-Qur'an,
Hadits, juga Ijma' dan sumber hukum Islam lainnya, yang dirangkai secara tematis
menyesuaikan dengan bahasan mata pelajaran umum tersebut.
e) Peran (Guru) Bimbingan dan Konseling
Selain kurikulum, pendidikan moral di sekolah tidak
terlepas dari guru, terutama guru Bimbingan dan Konseling (BK). Guru BK selama
ini terkesan dan di mata para siswa adalah pemberi hukuman, penegur, pembuat
jera. Ketika siswa bersalah atau melanggar aturan sekolah, maka guru BK akan
muncul dengan garangnya.
Untuk mewujudkan pendidikan moral (karakter), guru BK dapat
memegang peranan yang sangat strategis karena guru BK selain yang dipersepsikan
tersebut di atas, dapat juga mempersepsikan diri dengan tugas menjadi mediator
dan memberikan konsultasi terkait dengan kekurangan siswa. Jika siswa mengalami
kesulitan dan permasalahan, justru siswalah yang kemudian mencari guru BK untuk
meminta informasi bagaimana menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
f) Penghargaan dan Sanksi (Reward and Punishment)
Setiap sekolah pasti memiliki peraturan yang wajib dipatuhi
siswa. Penerapan peraturan tersebut harus diawasi dan dievaluasi. Jika ada
siswa yang sanggup mematuhi peraturan bahkan berprestasi ada baiknya guna
memacu, diberikan penghargaan, tentu saja penghargaan (hadiah) disesuaikan
dengan tingkatan umur dan lebih-lebih bisa mendukung proses belajar siswa.
Sebaliknya bagi siswa yang melanggar peraturan, juga harus
dikenakan sanksi. Sanksi yang diberikan harus bersifat mendidik. Tidak
menimbukan efek traumatik dan efek negatif lainnya. Sanksi yang berdampak pada
memancing empati siswa juga dapat dilakukan, seperti memberikan uang santunan
kepada fakir miskin, dan lain-lainnya.
Masyarakat berperan besar dalam upaya mewujudkan karakter
bangsa. Moral bangsa ini adalah tumpukan moral masyarakat. Semakin abai
masyarakat akan pentingnya pendidikan moral, maka semakin krisis pula moral
bangsa ini.
Norma-norma dan nilai yang ada di masyarakat yang telah
disepakati, harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan menerapkan sanksi
bagi yang melanggarnya.
D. Kesimpulan
Moralitas hidup yang merupakan roh bagi kelangsungan hidup masyarakat
bangsa guna mencapai tujuan bersama perlu mendapatkan perhatian sungguh-sungguh
jika bangsa ini hendak bangkit. Membiarkan krisis moral berlarut berarti
membiarkan bangsa ini mengalami keterpurukan.
Moral (karakter) dapat ditanamkan dengan pendidikan yang
bersifat advokasi, konsultasi ataupun edukasi. Namun yang tidak hanya berhenti
pada pembelajaran moral (karakter) pada level kognitif, yang hanya teoritis.
Pendidikan moral di sekolah juga harus menyentuh ranah
afektif-psikomotorik siswa sehingga katika siswa melakukan hal yang tidak
sesuai dengan tata nilai moral, maka siswa akan merasa bersalah, dan ia akan
segera
memperbaikinya. Ego siswa akan
dimarahi oleh superegonya sendiri, biarkan ego merasa bersalah, sehihgga
superegolah dengan transformasi pengetahuan baik dan tidak baiknya, patut dan
tidak patutnya, yang kemudian akan menentukan kemana langkah psikomotorik siswa.
Milieu (lingkungan) memberikan
kontribusi yang berbeda dan saling melengkapi dalam proses pendidikan moral
ini, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat di sekitar siswa. Termasuk
tempat (pusat) perkumpulan masyarakat, seperti masjid, karang taruna, stasiun, bahkan pos ronda.
Daftar Pustaka
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral
dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Kanisius Yogyakarta
dan BPK Gunung Mulia, 1997)
Abdur Rahman Assegaf, dkk, Pendidikan Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press, 2007)
Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam;
Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta:
PT. Raja Grafmdo Persada, 2011)
Achmad Mubarok, "Pribadi yang Kuat", dalam Hasan
M. Noer (Ed), Masyarakat Qur'ani, (Jakarta: Penamadani, 2010),
Cet. VI
Doni Koesuma A, Pendidikan Karakter Integral, Pendidikan.Karakter.Integral.
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1997)
Komaruddin Hidayat, Generasi Miskin
Keteladanan, Harian Kompas, Edisi02 Mei2011
Mochtar Buchori, Pendidikan Watak, Harian
Kompas, Edisi 03 Mei 2011
Nur Kholis Madjid, "Konsep dan Pengertian Akhlak
Bangsa", dalam Tim Kahmi Jaya (Ed.), Indonesia di Simpang
Jalan, (Bandung: Mizan Pustaka, 1998)
Rusdi Syahra, Krisis Moral: Determinan, Implikasi,
dan Strategi Pemecahan Masalahnya, Makalah pada Seminar Sehari,
"Kepemimpinan dan Moralitas Bangsa dalam Era Reformasi", yang
diadakan oleh Yayasan Perempuan Peduli Bangsa bekerjasama dengan Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI, 13 Juni 2002.
Rencana Strategis Kementerian Agama Tahun 2010-2014. Lihat
Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis
Kementerian Agama Tahun 2010-2014
Rencana Strategis Kemendiknas Tahun 2010-2014. Lihat
Permendiknas Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian
Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014.
Samsul Nizar dan M. Saifuddin, Isu-isu Kontemporer
tentang Pendidikan Islam,(Jakarta: Kalam Mulia, 2010)
Syaifuddin Sabda, Model Kurikulum Terpadu; Iptek
dan Imtaq, (Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2006)
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan
makalah ini adalah:
1. Krisis moral telah melanda sebagian besar remaja Indonesia yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
2. Krisis moral remaja Indonesia masih dapat diperbaiki dengan beberapa solusi yang melibatkan individu remaja sendiri dan lingkungan.
1. Krisis moral telah melanda sebagian besar remaja Indonesia yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
2. Krisis moral remaja Indonesia masih dapat diperbaiki dengan beberapa solusi yang melibatkan individu remaja sendiri dan lingkungan.
B. SARAN
1. Remaja hendaknya dapat
membatasi diri dari hal-hal negatif yang termasuk dalam kenakalan remaja.
2. Lingkungan hendaknya mendukung secara moral agar para remaja tidak terjerumus ke dalam kenakalan remaja.
2. Lingkungan hendaknya mendukung secara moral agar para remaja tidak terjerumus ke dalam kenakalan remaja.
3. Pemerintah, guru, dan
orang tua hendaknya memberikan pengarahan bagi para remaja dan membimbing para
remaja ke dalam kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat.
Krisis Moral di Indonesia
Moralitas merupakan suatu
fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan manusia dari
binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh
dan yang dilarang, yang harus dan yang tidak pantas dilakukan baik keharusan
alamiah maupun keharusan moral. Keharusan alamiah terjadi dengan sendirinya
sesuai hukum alam. Sedangkan, keharusan moral bahwa hukum yang mewajibkan
manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Orang yang memiliki
kepribadian dan budi pekerti yang baik akan tercermin dari setiap tindak-tanduknya.
Ia selalu mematuhi norma (aturan) yang berlaku di lingkungan masyarakat dimana
ia tinggal. Dengan demikian, moral adalah ajaran atau pedoman yang dijadikan
landasan untuk bertingkah laku dalam kehidupan agar menjadi manusia yang baik
dan beraklak mulia.
Akan tetapi saat ini
bangsa Indonesia tengah mengalami gejolak sehubungan dengan kemerosotan moral
dari generasi muda Indonesia. Perkembangan informasi dan teknologi yang begitu
cepat dan dengan mudah diakses baik melalui jaringan internet atau media cetak.
Sehingga setiap waktu kejahatan akan terlihat secara kasat mata maupun
tersembunyi. Hal utama yang harus menjadi perhatian bagi bangsa ini adalah
secara tidak langsung tengah terjadi penjajahan moral terhadap generasi muda
kita.
Coba kita lihat banyak
anak putus sekolah, perkosaan dimana-mana, Guru memperkosa anak didik, orang
tua memperkosa anak kandung, dan banyak lagi yang bisa kita tuliskan di sini,
itu semua berdampak buruk terhadap psikologi anak. Untuk itu saya mengajak guru
dan para pembaca tulisan ini, untuk mendidik anak kita agar terhindar dari
krisis moral, dan khusus untuk para guru, selain mengajar bidang study seorang
guru dapat memberikan nasehat bagi anak murid didiknya.
Pada hakikatnya terjadinya
krisis moral jauh lebih berbahaya daripada krisis lainya karena krisis moral
akan melumpuhkan segala aspek/sendi dalam kehidupan bermasyarakat/bernegara.
Penyebab Utamanya adalah mereka tidak memiliki Ideologi yang bagus dalam
penerapanya. Sebenarnya Bangsa Indonesia memiliki Ideologi yang luhur yaitu
Pancasila. Akan tetapi Ideologi ini sekarang tidak dijalankan secara murni dan
konsekuen sehingga yang terjadi adalah keserakahan dan kekacauan dimana
mana. Jadi segala tindakannya tidak menyentuh Asas Ketuhan, Kemanusian, Persatuan,
Kerakyatan dan Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika diamati secara umum, maka ada tujuh masalah utama
moral bangsa diantaranya.
1. Hilangnya Kejujuran
Berdasarkan laporan hasil investigasi sebuah lembaga survei
dinyatakan bahwa korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh
hingga Papua. Karena itu dari tahun ke tahun posisi Indonesia sebagai negara
terkorup selalu menduduki peringkat 10 besar dunia dalam indeks persepsi
korupsi (CPI) menurut data dari Transperenscy International.
2. Hilangnya Rasa Tanggung Jawab
Sebelum bendungan Situ Gintung jebol, Kompas 28 Juli 2008
memberitakan bahwa sebanyak 50 bendungan dari total 106 dinyatakan rusak.
Rusaknya infrastruktur pengairan ini menurut penelitian disebabkan perawatan
operasional bangunan yang kurang memadai. Masalah seperti ini terjadi juga pada
infrastruktur lainnya seperti banyaknya gedung yang hampir roboh. Kasus
lain adalah rusaknya beberapa ruas rel kereta api yang diakibatkan besi baja
rel kereta diambil oleh oknum. Berita-berita tersebut merupakan cermin bahwa
telah terjadi penurunan moral tanggung jawab di masyarakat yang dapat berakibat
fatal bagi keselamatan masyarakat.
3. Tidak Berpikir Jauh ke Depan (Visioner)
Eksploitasi alam adalah salah satu bentuk dari produk
berpikir jangka pendek. Sebagai contoh, pembalakan hutan mencapai 0,6-1,3 juta
ha/tahun (Abdoellah, 1999), bahkan angka tersebut diperkirakan telah melonjak
menjadi 1,3–2 juta ha/tahun (KMNLH, 2002). Akibat dari berbagai
eksploitasi alam telah menimbulkan berbagai bencana. Dalam kurun waktu
2006-2007 bencana ekologis (banjir, longsor, gagal panen, gagal tanam,
kebakaran hutan) tercatat 840 kejadian bencana.
4. Rendahnya Disiplin
Pada Sabtu, 9 Februari 2008 Suara Karya memberitakan bahwa ribuan
pegawai negeri sipil (PNS) di DKI Jakarta dan berbagai daerah nekat tidak masuk
kerja alias mangkir pada hari pascalibur Imlek 2559 (8/2). Kasus mangkir,
selalu terjadi setiap hari kejepit atau pascalibur (cuti) nasional. Disebutkan
bahwa meski ada aturan PP No.30/1980 yang menyatakan bahwa ada tiga tingkatan
pemberian sanksi kepada PNS dari mulai hukuman disiplin ringan, sedang, dan
berat, namun budaya mangkir ini masih kental di kalangan pegawai negeri. Hal
ini merupakan cermin karakter bangsa yang mengabaikan budaya disiplin.
5. Kriris Kerjasama
Terjadinya perpecahan dan benturan di antara komponen masyarakat
menunjukkan bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis persatuan dan melunturnya
budaya kerjasama. Demikian juga dengan jumlah kasus tawuran di antara mahasiswa
dan pelajar yang cenderung meningkat.
6. Krisis Keadilan
Partnership for Governance Reform pada 2002 menempatkan
lembaga peradilan di Indonesia menempati peringkat lembaga terkorup menurut
persepsi masyarakat. Hal tersebut diperkuat dengan laporan Komisi Ombudsman
Nasional (KON) tahun 2002, bahwa berdasarkan pengaduan masyarakat menyebutkan
penyimpangan di lembaga peradilan menempati urutan tertinggi.
7. Krisis Kepedulian
Media masa beberapa waktu yang lalu melaporkan adanya beberapa
warga masyarakat yang meninggal akibat kelaparan. Berita ini menunjukan bahwa
kepedulian juga telah menipis dalam kehidupan masyarakat.
Jika kita melihat potret kehidupan bangsa saat ini, maka jelas
terlihat bahwa masalah moral sesungguhnya merupakan hal yang tidak kalah
penting dibanding masalah ekonomi. Jika hal itu dibiarkan, akan mengancam masa
depan bangsa. Namun sayang, masalah moral ini kerap terpinggirkan dari agenda
dan rencana para calon pemimpin bangsa.
A. Solusi untuk mengatasi Krisis
Moral
Apabila melihat uraian
diatas seolah-olah krisis moral sudah menjadi sebuah wabah penyakit yang sangat
meresahkan karena telah menjalar disetiap aspek kehidupan bangsa dan harus
segera dibasmi supaya tidak menjadi sebuah virus yang bisa mematikan mental
dari setiap generasi muda yang ada di negeri ini.
Sebenarnya sudah banyak
solusi yang dilakukan baik oleh Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
dan juga Lembaga akademik maupun non akademik. Beberapa solusi yang dilakukan
antara lain.
Pendidikan
Karakter
Pendidikan karakter kini memang
menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan
akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu menjadi
pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Di lingkungan Kemendiknas
sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang
pendidikan yang dibinannya. Tidak kecuali di pendidikan tinggi, pendidikan
karakter pun mendapatkan perhatian yang cukup besar.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selama ini, pendidikan informal
terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam
mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik.
Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya
pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh
pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa
berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta
didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan
kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di
sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu
dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam
pembentukan karakter peserta didik.
Menurut seorang pencetus Pendidikan Karakter dari Jerman
Foerster ada empat ciri
dasar dalam pendidikan karakter antara laing.
1. Keteraturan interior di mana
setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif
setiap tindakan.
2. Koherensi yang memberi
keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing
pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun
rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas
seseorang.
3. Otonomi. Di situ seseorang
menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau
desakan pihak lain.
4. Keteguhan dan kesetiaan.
Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang
baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang
dipilih.
Pendidikan Karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada
setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau
nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan,
dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran
nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada
internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari
di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan
sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan
peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan
kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta
didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui
kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga
kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan
ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung
jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan
manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana
pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam
kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut
antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum,
pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait
lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang
efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Training
Motivasi
Saat ini banyak lembaga yang menawarkan
berbagai macam Training Motivasi yang memiliki tujuan terutama yang berkaitan
erat dengan Perbaikan Moral Bangsa Indonesia dan objek utama yang menjadi
sorotan ialah para generasi muda. Karena ditangan merekalah masa depan bangsa
ini ditentukan.
Salah satu lembaga tersebut yaitu ESQ
Ways 165 yang diprakarsai seorang anak bangsa yang luar biasa. Beliau adalah
Bapak Ari Ginanjar Agustian. Secara umum terdapat 7 nilai Dasar ESQ, antara
lain : Jujur, Tanggung Jawab, Visioner, Disiplin, Kerjasama, Adil dan Peduli
atau Empati.
Training ESQ adalah sebuah fenomena.
Menggugah, dan mampu mengubah kehidupan seseorang. Itu salah satu kesimpulan
para peserta yang telah mengikuti training ESQ. Hal itu bisa terjadi karena ESQ
memang berbeda dari pelatihan lainnya dan bukan sekadar pelatihan kepemimpinan
atau manajemen biasa. Training ESQ merupakan pelopor pelatihan yang mengasah
sisi spiritual dengan mendalam, bersamaan dengan sisi emosi dan intelektual
seseorang. ESQ adalah suatu inovasi mutakhir yang bertujuan untuk membangkitkan
dimensi spiritual manusia.
ESQ dengan seksama memandu seseorang
dalam membangun prinsip hidup dan karakter berdasarkan ESQ Way 165. Angka 165
merupakan simbol dari 1 Hati pada Yang Maha Pencipta, 6 Prinsip Moral, dan 5
Langkah Sukses. ESQ hadir untuk siapa saja yang berkeinginan untuk membentuk
karakter manusia paripurna. ESQ juga merupakan upaya untuk menjembatani
rasionalitas dunia usaha dengan spirit ketuhanan. Melengkapi makna sukses
dengan nilai-nilai spiritual yang mendalam, menuju esensi bahagia yang
sesungguhnya.
Peserta akan dituntun untuk
membangkitkan 7 nilai dasar: jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin,
kerjasama, adil, dan peduli. Nilai-nilai ini sesungguhnya sudah tertanam dalam
diri manusia sejak lahir. Melalui training ESQ ini peserta diarahkan untuk
dapat mencapai nilai-nilai dasar tersebut dan membantu menyadarkan adanya
kekuatan tersembunyi serta mengerahkan seluruh potensi dirinya untuk kehidupan
dan pekerjaan yang lebih produktif.
Yang unik dan membedakan training ESQ
dari pelatihan lainnya adalah training dibuat sedemikian rupa sehingga peserta
akan merasa seperti menikmati sebuah pertunjukkan yang penuh makna dengan
berbagai unsur didalamnya seperti drama, parodi, dan komedi. Sebagai materi
pendukung, peserta juga akan diajak terlibat beberapa aktifitas dalam training
seperti permainan, simulasi, serta saling berbagi pengalaman diantara peserta.
Materi training akan disampaikan secara multimedia yang menggabungkan antara
animasi, klip film, efek suara, dan musik.
Ditampilkan dengan medium beberapa
layar besar, berukuran minimal 2 x 3 meter dengan tata suara sekitar 10.000
watt. Training dilaksanakan di berbagai tempat terpilih dengan standar tertentu
untuk memastikan bahwa training dapat berlangsung nyaman dan menyenangkan bagi
peserta. RagamTraining Untuk memperluas jangkauan ESQ, maka pelatihan ESQ
dikembangkan menjadi beberapa kelompok. Itu agar penyampaian materi lebih
efektif sesuai dengan target partisipan masing-masing. Hingga saat ini, ESQ
telah menyentuh hampir ke seluruh tingkatan umur, mulai dari anak-anak hingga
usia lanjut.
Suasana ESQ Training Eksekutif di Jakarta
Convention Center antara lain.
a. Training
Eksekutif
Ditujukan untuk para
pemimpin, akademis dan umum. Training ini berdurasi 4 hari dan telah mempunyai
alumni lebih dari ratusan ribu orang diseluruh Indonesia.
b. TrainingProfesional
Kategori ini dilaksanakan
dalam 3 hari. Dapat diikuti oleh para profesional, pejabat pemerintahan, dosen,
dan anggota masyarakat lainnya.
c. Training
Regular
Pelatihan dilakukan selama
2 hari. Diperuntukkan bagi usahawan, staf perusahaan, pegawai swasta maupun
pemerintahan, guru, dan kalangan masyarakat lainnya.
d. Training
Korporasi
ESQ pun dapat dikemas
secara khusus menjadi pelatihan korporasi (in house training) bagi organisasi,
lembaga, atau perusahaan yang menginginkan adanya perubahan total pada diri
karyawannya guna meningkatkan produktifitas. Tak kurang dari 50 perusahaan
telah mengikuti training ini, dan telah meluluskan lebih dari 47.000 alumni.
e. Training
Mahasiswa
Mahasiswa merupakan
generasi penerus bangsa. Sedemikian pentingnya posisi mahasiswa di suatu bangsa
membuat ESQ menyadari dibutuhkannya pelatihan khusus bagi mereka. Disampaikan
dengan bahasa ringan dan gaya yang sesuai dengan kalangan muda. Selama 2 hari
para peserta diajak untuk dapat lebih mudah memahami dan mendalami ESQ sebagai
bekal mereka menapaki masa depan.
f. Training
Remaja
Masa remaja merupakan masa
yang paling menentukan bagi kehidupan seseorang. Untuk itu diperlukan bekal
yang kuat agar pribadi remaja dapat kokoh menghadapi semua tantangan dan
permasalahannya. ESQ Training Remaja, bagi siswa siswi SMP dan SMA, hadir untuk
bisa menemani jiwa remaja untuk menemukan kedamaian dalam pencarian jati
dirinya melalui penempaan selama 2 hari.
g. TrainingAnak-anak
Pembangunan kecerdasan
emosi dan spiritual akan lebih mudah bila diterapkan sedini mungkin. Maka ESQ
pun melahirkan terobosan, yakni melaksanakan Training Anak. Ditujukan untuk
para siswa Sekolah Dasar, berlangsung selama 2 hari.
Pengetahuan
Agama
Agama dan moral memiliki keterkaitan
dalam perannya membentuk karakter manusia. Dalam hal ini dibutuhkan suatu
bentuk pengajaran agar keduanya dapat tersinkronisasi dengan baik.
Sebagaimana yang kita ketahui, pendidikan
merupakan suatu bentuk kegiatan yang bertujuan untuk membentuk manusia
berkualitas secara fisik dan mental. Secara fisik, pendidikan menjadikan
manusia bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, serta dapat menentukan arah
hidupnya ke depan. Sedangkan secara mental pendidikan diharapkan dapat membentuk
jiwa-jiwa berbudi, tahu tata krama, sopan santun dan etika dalam setiap gerak
hidupnya baik personal maupun kolektif. Hal ini mengandung arti bahwa
pendidikan akan membawa perubahan pada setiap orang sesuai dengant ataaturan.
Agama merupakan salah satu bentuk
pendidikan yang paling penting untuk membentuk moral manusia. Karena pada
dasarnya, agama mengajarkan kepada semua oang untuk memelihara perbuatannya
dari keburukan dan melakukan kebaikan.selain itu, setiap agama juga menganjurkan
umatnya untuk terus belajar dan menimba ilmu atau pendidikan. Karena pendidikan
agama akan memberi “imunisasi” pada jiwa seseorang untuk selalu berada dalam
jalan yang benar sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, yang selalu
mengajarkan kebenaran hakiki pada setiap aktifitas pemeluknya.
Pondok
Pesantren
Pesantren adalah sebuah institusi
pendidikan yang fokus pada pembelajaran dan praktek ilmu Islam. Di pesantren
para santri diajarkan ilmu islam mulai yang paling dasar yaitu aqidah sampai
kepada ilmu praktis seperti fiqih. Santri dibina agar memiliki aqidah yang
lurus dan akhlak yang baik, yang merupakan bekal penting agar selamat menjalani
kehidupan di dunia ini.
Berbagai tindakan tak bermoral yang
dilakukan oleh manusia adalah karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang
baik tentang agama, bahkan bisa jadi mereka hanya pernah belajar agama yaitu di
sekolah, yang hanya 2 jam seminggu. Bisa dibayangkan porsi ilmu agama apa yang
akan mereka dapat jika hanya mengharapkan dari sekolah? Nyatanya, inilah yang
banyak terjadi. Terkadang sampai dewasa pun membaca Al-Qur’an masih
terbata-bata, terhadap kitab suci saja begitu, bagaimana dengan ilmu agama yang
lain?
Pendidikan moral yang paling komplit
adalah agama, karena agama kita telah mengajarkan semua hal tentang tata cara
hidup, sampai tata cara masuk kamar mandi sekalipun. Oleh karena itu, jika
ingin merubah moral bangsa Indonesia, maka harus dimulai sejak dini, harus
dididik sejak kecil melalui pesantren. Setiap orang tua berkewajiban untuk
mengajarkan agama pada anaknya, boleh oleh mereka sendiri, atau jika merasa
kurang mampu karena kesibukan dan sebagainya, maka pesantren adalah alternatif
terbaik.
Rasanya, masyarakat modern dan kelas
atas masih kurang awam dengan yang namanya pesantren, beda halnya dengan
masyarakat pedesaan. Saya pernah dengar dari seorang pejabat departemen agama
kalau tidak salah, beliau mengatakan bahwa lebih dari 40 juta anak kurang mampu
bersekolah di pesantren. Apakah ini berarti pesantren hanya untuk warga kelas
bawah? Tentu saja tidak, mungkin ini karena banyak pesantren yang biayanya
lebih murah bahkan gratis.
Lebih dari itu, pesantren sebenarnya
adalah untuk semua kalangan yang menginginkan anaknya atau dirinya memiliki
pengetahuan agama serta akhlak yang bagus. Menurut saya masyarakat modern sudah
kurang berorientasi pada moral dan agama, tapi hanya melihat dari segi kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan duniawi. Bagi saya itu aneh, sangat aneh.
Rasanya manusia bisa hidup damai tanpa kemajuan teknologi, tapi bayangkan apa
yang terjadi jika tanpa kemajuan moral? Sebagian orang berpendapat bahwa
pesantren berhasil jauh lebih baik dari sekolah umum dalam hal menghasilkan
manusia yang bermoral dan berbudi luhur. Pernahkah santri tawuran antar
pesantren misalnya? Santri menjadi pemakai dan pengedar narkoba misalnya? Dan
sebagainya lah. Ada mungkin saja, tapi saya yakin persentasenya jauh lebih
kecil dibanding dengan yang bukan santri.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al A’raf : 97)
Ingin
melihat Indonesia yang damai, berkah, sejahtera atau Indonesia yang penuh
bencana? Jawabannya telah Allah jelaskan seperti firmannya di atas, yaitu
penduduknya haruslah beriman dan bertakwa jika ingin diberkahi atau sebaliknya
jika ingin disiksa. Seorang muslim sejati pasti percaya dengan firman ALLAH
SWT, Dia tak mungkin bohong atau ingkar janji.
Mari, percayakan pesantren untuk
mendidik generasi penerus bangsa ini, agar menghasilkan kader yang beriman dan
bertaqwa yang memiliki aqidah dan akhlak yang baik.
daftar pustakax ada nggk?
ReplyDeletebagi daftar pustakanya dong
ReplyDelete