Thursday 28 May 2015

KUMPULAN CERITA HIKAYAT

KUMPULAN CERITA HIKAYAT

1. “PERKARA SI BUNGKUK DAN SI PANJANG”
 Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit sebagai ternyata dari contoh yang di bawah ini:
Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya perahu hendak menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka ditantinya 1) kalau-kalau ada orang lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang itu terlalu baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tua, lagi bungkuk belakangnya. Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga. Katanya, “Apa upayaku hendak menyeberang sungai ini?”
Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang itu, “Hai tuan hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya.” Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, “Untunglah sekali ini!”
Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu, “Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu, “Sebagaimana 3) hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang juga dahulu maka boleh, karena air ini dalam.”
Maka kata orang tua itu kepada istrinya, “Pergilah diri dahulu.” Setelah itu maka turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi itu, “Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba seberangkan.” Maka diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu. Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu, “Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba.” Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.
Maka kata perempuan itu kepadanya, “Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu.”
Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah, setelah sudah maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu semuanya dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi itu.
Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan, maka ia pun berkata-kata dalam hatinya, “Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku mati.”
Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya sungai itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi itu. Dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Masyhudulhakk itu.
Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk, “Istri siapa perempuan ini?”
Maka kata Bedawi itu, “Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan; sudah besar dinikahkan dengan hamba.”
Maka kata orang tua itu, “Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba.”
Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orang pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk kepada perempuan itu, “Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang laki-laki ini?”
Maka kata perempuan celaka itu, “Si Panjang inilah suami hamba.”
Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, “Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, “Si Panjang itulah suami hamba.”
Maka kata Masyhudulhakk, “Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?”
Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, “Berkata benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?”
Maka kata Bedawi itu, “Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya.”
Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu perempuan ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana kampung tempat ia duduk?”
Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-laki Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Masyhudulhakk, “Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?”
Maka kata orang tua itu, “Daripada mula awalnya.” Kemudian maka dikatakannya, siapa mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya
Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali. Kemudian maka disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan demikian itu.
Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
Unsur Intrinsik dan ekstrinsik HIKAYAT
Judul           :  HIKAYAT MASHUDULHAKK (perkara si bungkuk dan si panjang)
Unsur intrinsik :
·         Tema               : Kesetiaan dan Pengkhianatan dalam Cinta
·         Tokoh             :
ü  Masyhudulhakk : arif, bijaksana, suka menolong, cerdik, baik hati.
ú  …Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu.
ú  Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
ú  …..Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk,”Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
ü  Si Bungkuk : setia pada istrinya, suka mengalah, mudah percaya.
ú  Maka kata orang tua itu, “Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba.
ú  Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu, “Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini.
ú  Maka kata orang tua itu kepada istrinya, “Pergilah diri dahulu.” Setelah itu maka turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu.
ü  Si Panjang / Bedawi : licik, egois.
ú  Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, “Untunglah sekali ini!
ú  Maka kata Bedawi itu, “Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya.
ü  Istri Si Bungkuk : mudah dirayu, tidak setia, suka berbohong, egois.
ú  hamba jadikan istri hamba.” Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.Maka kata perempuan itu kepadanya, “Baiklah.
ú  ….maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, “Si Panjang itulah suami hamba.
·         Setting :
ü  tempat :
ú  tepi sungai : Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya.
ú  Sungai : turunlah perempuanitu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu
ü  Suasana :
ú  menegangkan: Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga.
ú  Mengecewakan:  “Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku mati.Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu.
ú  Membingungkan: Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah.
ü  Waktu : tidak diketahui
·         Alur : Alur maju
ü  Eksposisi         :
Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit  maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai.
ü  Complication   :
….serta dilihatnyaperempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, “Untunglah sekali ini!
ü  Rising action   :
Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu, “Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba.”
ü  Turning point :
Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu. Masyhudulhakk, “Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
ü  Ending                        :
Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali.
·         Poin of View :
ü  orang ke-3 :
Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
·         Amanat :
ü  Jangan berbohong karena berbohong itu tidak baik, merupakan dosa, dan hanya akan menimbulkan kerugian pada diri kita sendiri
ü  Bantulah dengan ikhlas orang yang membutuhkan bantuan
ü  Syukurilah jodoh yang telah diberikan Tuhan, yakini bahwa jodoh itu baik untuk kita
ü  Jangan mengambil keputusan sesaat yang belum dipikirkan dampaknya
ü  Jadilah orang yang bijaksana dalam mengatasi suatu masalah
Unsur ekstrinsik :
·         Nilai religiusitas : kita harus selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah. Jangan pernah merasa iri dengan apa yang tidak kita miliki karena apa yang te;ah diberikan Allah kepada kita adalah sesuatu yang memang terbaik untuk kita. Janagn seperti yang ada pada hikayat mashudulhakk.
·         Nilai moral :
Janganlah  sekali-kali  kita memutar balikkan fakta, mengatakan bahwa yang salah itu benar dansebaliknya, karena bagaimanapun juga kebenaran akan mengalahkan ketidak benaran.
·         Nilai social budaya :
Sebuah kesalahan pastilah akan mendapat sebuah balasan, pada hikayat ini diterangkan bahwa seorang yang melakukan keslahan seperti berbohong maka akan did era sebanyak seratus kali. (Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali.)
·         Kepengarangan :
Hikayat mashudulhakk ini dari salah satu naskah lama (Collectie v.d. Wall) dengan diubah di sana-sini setelah dibandingkan dengan buku yang diterbitkan oleh A.F. v.d. Wall (menurut naskah yang lain dalam kumpulan yang tersebut).Dalam Volksalmanak Melayu 1931 (Balai Pustaka) isi naskah yang dipakai v.d. Wall itu diringkaskan dan sambungannya dimuat pula, dengan alamat “Masyudhak”.. Dinantinya.
================================================================================================================================================
2.  “IBNU HASAN”
Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan, banyak harta banyak uang, terkenal kesetiap negeri, merupakan orang terkaya, bertempat tinggal du negeri Bagdad, yang terkenal kemana-mana, sebagai kota yang paling ramai saat itu.
Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan, menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik, walaupun harus  mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.
Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak, laki-laki yang sangat tampan, pendiam, dan baik budi, berusia sekitar tujuh tahun. Ibnu Hasan namanya.
Ibnu Hasan sedang lucu-lucuya, semua orang senang melihatnya, apalagi orang tuanya, namun demikian anak itu, tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun hidupnya dimanjakan, tidak kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka bersolek, karena itulah kedua orang tuanya sangat menyayanginya.
Ayahnya berfikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas, tanpa pertimbangan, bagaimana kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak dapat mendidik anak, mengkaji ilmu yang bermanfaat.”
Dipanggilnya putranya. Anak itu segera mendatanginya, diusap-usapnya putranya sambil dinasihati, bahwa Ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku, sebenarnya aku kuatir, tapi, pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.”
Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan ku tolak, siang malam hanya perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.”
Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah dengan kedua orangtuanya, hatinya sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis terisak-isak, harus berpisah dengan putranya, yang masih sangat kecil, belum cukup usia.
“Kelak, apabila ananda sudah sampai, ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri, karena jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras kepala, angkuh dan menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu menghina sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan senangkaena dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-hatilah menjaga diri jangan menganggap enteng segala hal.”
Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan kucatat dalam hati, doakanah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan yang salah, pesan Ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”
Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin dan Mairun,mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan pakaian, sementara Mairin mengikuti dari belakang, sesekali menggantikan tugas Mairun.
Perasaan sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan yang makan waktu berhari-hari namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir, dengan selamat berkat do’a Ayah dan Ibunda, selanjutnya, segera Ian menemui seorang alim ulama, terus berguru padanya.
Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang bernama Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari mana?”
Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,” Sekolah itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum tahu?”
“sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap sesama, harus sesuai dengan aturan.”
Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, di segera  pulang, menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna mencari ilmu. Sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.”
Kyai berkata demikian, tujuan untuk  menguji muridnya, apakah betul-betul ingin mencari ilmu atau hanya alasan supaya mendapat pujian.
Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa hamba besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu.
Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang, ternaknyapun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan.
Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah sudah tiada, sudah menunggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba.
Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis, bukan bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini bodoh.
Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.
Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihiorang tua, paling tidak harus sama dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin, ibaratnya anak seorang patih.”
Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.
           UNSUR INSTRINSIK
Ø  Tema    : Bakti seorang anak terhadap orang tuanya
Ø  Tokoh   :
o   Ibnu Hasan
o   Syekh Hasan
o   Ibu Ibnu Hasan
o   Mairin
o   Mairun
o   Saleh
o   Kyai guru
Ø  Penokohan :
o   Ibnu Hasan = Baik, tidak sombong, kalem, pendiam, penurut
o   Syekh Hasan = Baik, Bijaksan, Penyayang
o   Ibu Ibnu Hasan = Baik, Penyayang
o   Mairin dan Mairum = Setia
o   Saleh = Sopan
o   Kyai guru = Baik
Ø  Plot/Alur : Alur Maju
Ø  Latar :
o   Latar tempat = Negeri Bagdad, Mesir, Pesantren
o   Latar waktu = Zaman dahulu kala, Saat ba’da Dzuhur
o   Latar suasan = Mengahrukan, sedih, Prihatin
Ø  Sudut pandang : Orang ketiga tunggal
Ø  Amanat : Patuhlah kepda kedua orangtuamu, berbuat baiklah kesesama manusia dan janganlah sekali-kali engkau menyombongkan diri.
UNSUR INSTRINSIK
Ø  Agama : Menganut agama Islam
Ø  Pendidikan : Ibnu Hasan baru saja ingin menuntut ilmu pada kyai guru
Ø  Adat istiadat : Sopan, mengasihi yg kekurangan, dll
Ø  Status ekonomi : Syekh Hasan sangat kaya raya.
================================================================================================================================================

3. “SI MISKIN”
Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang dari keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si Miskin.
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.
Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada di taman raja. Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi istri itu makin menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah. Tuan jangan menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada tuan.”
Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskin menghadap raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera. Isterinya menyambut dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.
Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih sayang.
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal, didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya.
Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.
Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan Puspa Sari dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.
Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya, dicarinya ahli-ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.
Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi orangtuanya.
Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.
Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar.
Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena disangka mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemu oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.
Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk akan dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan–jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.
Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya berjual bunga. Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali antara suami-isteri itu.
Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah bahwa puteri tersebut adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang jahat itu dibunuhnya.
Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali. Dengan kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala perlengkapannya seperti dahulu kala.
Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).
Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi raja di Palinggam Cahaya.
Unsur Intrinsik dalam hikayat Si Miskin
1.    Tema :  Kunci kesuksesan adalah kesabaran. Perjalanan hidup seseorang yang mengalami banyak rintangan dan cobaan.
2.    Alur : Menggunakan alur maju, karena penulis menceritakan peristiwa tersebut dari awal permasalahan sampai akhir permasalahan.
3.    Setting/ Latar :
¯ -Setting Tempat : Negeri Antah Berantah, hutan, pasar, Negeri Puspa Sari, Lautan, Tepi Pantai Pulau Raksasa, Kapal, Negeri Palinggam Cahaya.
¯ Setting Suasana : tegang, mencekam dan Ketakutan, bahagia, menyedihkan
4.    Sudut Pandang Pengarang : orang ketiga serba tahu.
5.    Amanat :
¯  Seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang adil dan pemurah.
¯  Janganlah mudah terpengaruh dengan kata-kata oran lain.
¯  Hadapilah semua rintangan dan cobaan dalam hidup dengan sabar dan rendah      hati.
¯  Jangan memandang seseorang dari tampak luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam hatinya.
¯  Hendaknya kita dapat menolong sesama yang mengalami kesukaran.
¯  Janganlah kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.
¯  Hidup dan kematian, bahagia dan kesedihan, semua berada di tanan Tuhan, manusia hanya dapat menjalani takdir yang telah ditentukan.
Unsur Ekstrinsik dalam Hikayat Si Miskin
1. Nilai Moral
Kita harus bersikap bijaksana dalam menghadapi segala hal di dalam hidup kita.
Jangan kita terlalu memaksakan kehendak kita pada orang lain.
2. Nilai Budaya
Sebagai seorang anak kita harus menghormati orangtua.
Hendaknya seorang anak dapat berbakti pada orang tua.
3. Nilai Sosial
Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih. Hendaknya kita mau berbagi untuk meringankan beban orang lain.
4. Nilai Religius
Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.
Percayalah pada Tuhan bahwa Dialah yang menentukan nasib manusia.
5. Nilai Pendidikan
Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.
Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.
================================================================================================================================================

asal nama, asal usul, bakti anak, bunga, cerita anak, Cerita Rakyat, iri hati, jahat, kecantikan, kejam, kerajaan, pemalas, saudara 47
Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang cantik-cantik. Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri sang raja sudah meninggal ketika melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja diasuh oleh inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya suka bermain di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak mau membantu ayah mereka. Pertengkaran sering terjadi di antara mereka.
Kesepuluh puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan Puteri Kuning, Baju yang mereka pun berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang sudah tua dapat mengenali mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka berpergian dengan inang pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya.
Pada suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya. “Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian inginkan?” tanya raja.
“Aku ingin perhiasan yang mahal,” kata Puteri Jambon.
“Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau,” kata Puteri Jingga. 9 anak raja meminta hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka. Tetapi lain halnya dengan Puteri Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu memegang lengan ayahnya.
“Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat,” katanya. Kakak-kakaknya tertawa dan mencemoohkannya.
“Anakku, sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat dan kubawakan hadiah indah buatmu,” kata sang raja. Tak lama
kemudian, raja pun pergi.
Selama sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. Karena sibuk menuruti permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak sempat membersihkan taman istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya karena taman adalah tempat kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu dan mulai membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya, rumput liar dicabutnya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga rapi. Semula inang pengasuh melarangnya, namun Puteri Kuning tetap berkeras mengerjakannya. Kakak-kakak Puteri Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras. “Lihat tampaknya kita punya pelayan baru,” kata seorang diantaranya.
“Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil melemparkan sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam saja dan menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang sampai Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan para pelayan yang dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-kakaknya.
“Kalian ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa untuk kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!” Kata Puteri Kuning dengan marah.
“Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!” ajak Puteri Nila. Mereka meninggalkan Puteri Kuning seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap hari, sampai ayah mereka pulang. Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan puterinya masih bermain di danau, sementara Puteri Kuning sedang merangkai bunga di teras istana. Mengetahui hal itu, raja menjadi sangat sedih.
Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain kalung batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!” kata sang raja. Raja memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda itu tak pernah ditemukannya.
“Sudahlah Ayah, tak mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku yang berwarna kuning,” kata Puteri Kuning dengan lemah lembut.
“Yang penting, ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah,” ucapnya lagi. Ketika Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak-kakaknya berdatangan. Mereka ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri Kuning, apalagi menanyakan hadiahnya.
Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. “Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku adalah Puteri Hijau!” katanya dengan perasaan iri.
“Ayah memberikannya padaku, bukan kepadamu,” sahut Puteri Kuning. Mendengarnya, Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara-saudaranya dan menghasut mereka.
“Kalung itu milikku, namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita harus mengajarnya berbuat baik!” kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat untuk merampas kalung itu. Tak lama kemudian, Puteri Kuning muncul. Kakak-kakaknya menangkapnya dan memukul kepalanya. Tak disangka, pukulan tersebut menyebabkan Puteri Kuning meninggal.
“Astaga! Kita harus menguburnya!” seru Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai mengusung Puteri Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut mengubur kalung batu hijau, karena ia tak menginginkannya lagi. Sewaktu raja mencari Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi. Kakak-kakaknya pun diam seribu bahasa. Raja sangat marah. “Hai para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning!” teriaknya.
Tentu saja tak ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. “Aku ini ayah yang buruk,” katanya.” Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk belajar dan mengasah budi pekerti!” Maka ia pun mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah di negeri yang jauh. Raja sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih memikirkan Puteri Kuning yang hilang tak berbekas.
Suatu hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran melihatnya. “Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.!” kata raja dengan senang. Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan, bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan rambut. Batangnya dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit kayunya dibuat orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih memberikan kebaikan.

================================================================================================================================================

Nun,di sebuah hutan belantara tumbuhlah sebatang pohon yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan jutaan pohon yang lainnya. Ia memiliki batang yang sangat lurus dan tegak, akarnya yang kukuh, serta aroma khasnya yang harum, semerbak, memenuhi seluruh isi hutan. Sehingga tidaklah menjadi hairan, ramai sekali para pencari kayu bakar yang merasa tertarik kepada pohon itu. Bahkan ramai yang berniat baik untuk turut memelihara keindahan pohon itu. Dengan senang hati mereka membiarkan pohon tersebut tetap tumbuh.
Sering kali mereka menyempatkan diri untuk menyiraminya dengan air yang diperoleh dari lubuk bening di pinggir hutan. Semua itu mereka lakukan dengan penuh harap agar suatu saat kelak, di alam yang mulai penuh dengan kerosakkan ini, Sang Pohon Cantik akan tumbuh dengan sejuta pesona. Memberikan warna perubahan bagi siapa saja, untuk lebih mencintai lingkungan mereka dan berhenti membuat kerosakan.
Sementara bagi para penebang pohon yang liar, keberadaan pohon cantik itu sangatlah mengganggu. Mereka sedar, apabila pohon tersebut tumbuh dengan baik, maka akan banyak perhatian yang akan tertuju kepada hutan itu. Perhatian yang tentu saja membuat langkah mereka semakin sulit dalam membuat kerosakan di dalam hutan itu. Para penebang pohon yang liar itu berikrar, mereka akan memindahkan pohon cantik itu ke halaman rumah-rumah mereka. Tetapi kalau tujuan itu tidak tercapai, maka mematikan pohon itu adalah cara terbaik yang harus mereka tempuh.
Beruntung, pohon cantik tersebut mendapat penjagaan yang sangat rapi dari para pencari kayu bakar yang baik hati. Mereka secara bergiliran mengiring berjalan dengan sangat waspada agar pertumbuhan Sang Pohon terjaga . Selain itu, pohon tersebut rupanya memiliki akar yang dapat menumbuh dengan cepat. Sehingga sari-sari makanan yang ada dalam tanah dapat diserap dengan baik. Demikian juga dengan air yang ada, dapat digunakan oleh Sang Pohon untuk menampung kehidupannya.
Dipendekkan cerita,pohon tersebut telah tumbuh besar, daunnya yang rimbun menghijau membuat mata tak lelah untuk memandang, dari dahan-dahannya lahir wangian semerbak harum yang menyeliputi seluruh hutan, dan satu lagi, pohon cantik tersebut memiliki buah yang sangat manis. Selain dapat menghilangkan dahaga, juga dapat mengenyangkan para penikmatnya. Terasalah berkah Sang Pencipta bagi para pencari kayu bakar, meskipun para penebang pohon yang liar masih saja mencari helah untuk selalu menghapuskan pohon itu.
Namun, demikianlah kudrat keberadaan setiap makhluk yang hidup dan tumbuh di atas muka bumi ini, tak satupun yang abadi! Tak terkecuali dengan keadaan pohon cantik yang disanjung para pencari kayu bakar dan seluruh penghuni hutan. Pada suatu petang, ketika langit mulai gelap, angin pun kencang berhembus. Pucuk pohon cantik bergoyang dengan hebatnya. Ia sekuat tenaga mengimbangi keadaan yang mana pada bila-bila masa boleh menumbangkannya. Sang Pucuk terus bergerak, awalnya hanya berniat untuk mempertahankan diri dari keadaan alam yang ia hadapi.
Tetapi lama-kelamaan ia sedar, bahwa sebenarnya ia dapat mengatasi sepenuhnya serangan angin tersebut. Ia yakin benar telah ditampung oleh akar yang kuat, dan dahan-dahan yang kukuh, serta dedaunan yang dapat menahan laju dan kencangnya angin dengan sempurna. Kerana keyakinannya itulah tiba-tiba ia membuat sebuah gerakan yang tidak disangka-sangka oleh Sang Akar, yang sekuat tenaga mencengkam tanah.
Sang Pucuk menari, bukan hanya mengikut arah angin, namun terkadang ia membuat gerakan yang membingungkan Sang Akar dalam mempertahankan keseimbangannya. Dan, Sang Akar pun mengeluarkan bantahannya; “Hai, pucuk. Berhentilah menari! Aku bingung melihatmu!” “Kenapa mesti bingung, Akar? Aku tahu benar situasi yang ada. Ikut sajalah!” “Bagaimana aku hendak mengikuti tarianmu, kalau kamu susah diikuti” “Percayalah, akar. Aku diatas mampu melihat semuanya. Bukan hanya batang, daun, dan kau akarku sendiri. Tetapi jarak puluhan batu di sekeliling kita pun dapat aku lihat dengan jelas” “Hai, apa salahnya aku mengingatkanmu, pucuk?” “Kau salah akar, harusnya kau ikut saja apa kataku. Kerana posisimu di bawah, dan kau tidak tahu apa-apa tentang dunia ini!”
“Aduhai…angkuh nian kau, pucuk! Kalaulah tak ada aku, mana mungkin kau dapat berdiri dan berada di atas sana!” “Sudahlah, kenapa kalian malah bertengkar, hah?!” Sang Daun menegahi suasana yang semakin panas. “Kerana dia mulai merasa angkuh, daun!” akar mengarahkan serabut akarnya kepada Sang Pucuk. “Apa urusanmu, akar?! Ikuti sajalah kataku, dan kau akan selamat” “Apakah kalian lupa, hah? Kalian itu saling memerlukan! Tidak akan ada kehidupan kalau tidak aku, kau, dan si akar itu. Sedarlah, saudaraku! kawanku!” Sang Daun kembali berkata-kata dengan perasaan yang sedih kerana pertelingkahan saudaranya sendiri.
Perdebatan demi perdebatan terus bergulir di antara keduanya. Sang Pucuk tidak merasa harus mengalah sedikit pun terhadap Sang Akar. Ia merasa bahawa ialah segalanya, dialah ketua kerana berada di tempat yang paling atas. Ia merasa ditakdirkan Tuhan untuk berada di atas dengan segala penglihatannya yang luas akan dunia ini. Ia merasa Tuhan telah memberikan kekuasaan mutlak kepadanya untuk berbuat sesuka hati. Sementara, Sang Akar merasa kecewa, Sang Pucuk telah mengambil langkah yang keliru dalam melaksanakan upaya menjaga kelangsungan hidup seluruh bagian pohon tersebut. Dan, Sang Daun yang berusaha meleraikan perdebatan itu pun tak berdaya menenangkan keduanya, meski ia tak pernah merasa lelah untuk mendamaikan perseteruan dua saudara satu tubuh itu.
Waktu yang digariskan mungkin saja telah tiba, kerana perdebatan yang berlarutan itu, Sang Akar bermalas-malasan untuk menyerap air dan zat-zat yang dibutuhkannya. Demikian juga Sang Daun, kerana kelelahan melerai perdebatan kedua saudaranya, ia lupa untuk mengolah makanan meskipun matahari terus bersinar sepanjang hari. Dan, Sang Pucuk rupanya semakin terlena. Ia tidak menyadari dua saudara dibawahnya sudah mengalami gangguan. Ia tetap berlenggok mengikuti arah angin dengan irama yang menghiburkan hatinya. Hingga tibalah saat di mana angin justeru berhembus dengan sangat perlahan.
Sang Pucuk terlena kerana desirnya, ia merasa ngantuk dan ia biarkan gerakannya yang tidak beraturan, dan ia pun mulai terpejam. Terlelap dalam tidur yang tidak disedarinya, dan angin datang menyerang. Tubuhnya terkulai. Sang Daun yang lapar tidak berdaya menahan tubuh Sang Pucuk yang datang tiba-tiba. Ia ikut terjatuh. Sementara di bawah, Sang Akar yang bermalas-malasan tidak lagi memiliki cengkaman yang kuat terhadap tanah di sekelilingnya. Sang Akar tidak berkuasa menahan tubuh kedua saudaranya yang terjatuh lebih dulu. Ia tercabut, bercerai-berai.
Beginilah akhirnya kisah pohon cantik,sebuah cerita yang menyedihkan.Para pencari kayu bakar yang baik hati bermuram durja, sementara para penebang liar bergelak tawa, “Tak perlu kita robohkan, kawan. Mereka roboh sendiri kerana permusuhan…!! ” “O, bahkan tak perlu angin yang kencang rupanya…….kasihan betul…..” demikianlah kata penebang pohon yang liar.
Dari sini saudara-saudaraku dapatkah kita mengambil sedikit iktibar dari cerita ini?
Marilah kita jauhi permusuhan yang meleraikan silaturrahim antara kita,
janganlah berdendam kerana dendam itu tidak membawa kedamaian..
saling hormat menghormati dan bersatu padulah kita agar syiar Islam dapat diteruskan dan digemilangkan.. dan agar kita tetap menjadi orang yang beriman..
InsyaAllah..
================================================================================================================================================

Syahdan,disuatu masa hidup seorang laki2 yang punya sifat kikir (pelit).ia mempunyai sebuah rumah yang cukup besar.didalam rumah itu dia tinggal bersama seorang istri dan 3 orang anaknya yang masih kecil2.laki2 ini merasa rumahnya sudah sangat sempit dengan keberadaannya dan keluarganya.namun,untuk memperluas rumahnya,sang lelaki merasa sayang untuk mengeluarkan uang.ia putar otak bagaimana caranya agar ia bisa memperluas rumahnya tanpa mengeluarkan banyak.akhirnya,ia mendatangi abunawas,seorang cerdik dikampungnya.pergilah ia menuju rumah abu nawas.
si lelaki : “salam hai abunawas,semoga engkau selamat sejahtera.”
abu nawas : “salam juga untukmu hai orang asing,ada apa gerangan kamu mendatangi kediamanku yang reot ini ?”
si lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi.abunawas mendengar dengan seksama.setelah si lelaki selesai bercerita,abunawas tampak tepekur sesaat,tersenyum,lalu ia berkata :
“hai fulan,jika kamu menghendaki kediaman yang lebih luas,belilah sepasang ayam,jantan dan betina,lalu buatkan kandang didalam rumahmu.3 hari lagi kau lapor padaku bagaimana keadaan rumahmu.”
si lelaki bingung,apa hubungannya ayam dengan luas rumah,tapi ia tak membantah.sepulang dari rumah abunawas,ia membeli sepasang ayam,lalu membuatkan kandang untuk ayamnya didalam rumah.
3 hari kemudian,ia kembali kekediaman abunawas,dengan wajah berkerut.
abunawas : “bagaimana fulan,sudah bertambah luaskah kediamanmu?”
si lelaki : “boro boro ya abu.apa kamu yakin idemu ini tidak salah?rumahku tambah kacau dengan adanya kedua ekor ayam itu.mereka membuat keributan dan kotorannya berbau tak sedap.”
abu nawas : “( sambil tersenyum ) kalau begitu tambahkan sepasang bebek dan buatkan kandang didalam rumahmu.lalu kembali 3 hari lagi.”
silelaki terperanjat.kemarin ayam sekarang bebek,memangnya rumahnya peternakan?.atau sicerdik abunawas ini sedang kumat jahilnya?namun seperti pertama kali,ia tak berani membantah,karena ingat reputasi abunawas yang selalu berhasil memecahkan berbagai masalah.pergilah ia ke pasar,dibelinya sepasang bebek,lalu dibuatkannya kandang didalam rumahnya.
setelah 3 hari ia kembali menemuai abunawas.
abu nawas : “bagaimana fulan,kediamanmu sedah mulai terasa luas atau belum ?”
si lelaki : “aduh abu,ampun,jangan kau menegerjai aku.saat ini adalah saat paling parah selama aku tinggal dirumah itu.rumahku sekarang sangat mirip pasar unggas,sempit,padat,dan baunya bukan main.”
abunawas : “waah,bagus kalau begitu.tambahkan seekor kambing lagi.buatkan ia kandang didalam rumahmu juga.lalu kembali kesini 3 hari lagi.”
si lelaki : “apa kau sudah gila abu ?kemarin ayam,bebek dan sekarang kambing.apa tidak ada cara lain yang lebih normal?”
abunawas : “lakukan saja,jangan membantah.”
lelaki itu tertunduk lesu,bagaimanapun juga yang memberi ide adalah abunawas,sicerdik pandai yang tersohor.maka dengan pasrah pergilah ia ke pasar dan membeli seekor kambing,lalu ia membuatkan kandang didalam rumahnya.
3 hari kemudian dia kembali menemui abunawas
abunawas : “bagaimana fulan ? sudah membesarkah kediamanmu ?”
si lelaki : “rumahku sekarang benar2 sudah jadi neraka.istriku mengomel sepanjang hari,anak2 menangis, semua hewan2 berkotek dan mengembik,bau,panas,sumpek,betul2 parah ya abu.tolong aku abu,jangan suruh aku beli sapi dan mengandangkannya dirumahku,aku tak sanggup ya abu.”
abu nawas : “baiklah,kalau begitu,pulanglah kamu,lalu juallah kambingmu kepasar,besok kau kembali untuk menceritakan keadaan rumahmu.”
si lelaki pulang sambil bertanya2 dalam hatinya,kemarin disuruh beli,sekarang disuruh jual,apa maunya si abunawas.namun,ia tetap menjual kambingnya kepasar.keesokan harinya ia kembali kerumah abunawas.
abu nawas : “bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?”
si lelaki :”yah,lumayan lah abu,paling tidak bau dari kambing dan suara embikannya yang berisik sudah tak kudengar lagi.”
abu nawas : “kalau begitu juallah bebek2mu hari ini,besok kau kembali kemari”
si lelaki pulang kerumahnya dan menjual bebek2nya kepasar.esok harinya ia kembali kerumah abunawas
abunawas : “jadi,bagaimana kondisi rumahmu hari ini?”
si lelaki : “syukurlah abu,dengan perginya bebek2 itu,rumahku jadi jauh lebih tenang dan tidak terlalu sumpek dan bau lagi.anak2ku juga sudah mulai berhenti menangis.”
abunawas.bagus.”kini juallah ayam2mu kepasar dan kembali besok “
si lelaki pulang dan menjual ayam2nya kepasar.keesokan harinya ia kembali dengan wajah yang berseri2 kerumah abunawas
abunawas : “kulihat wajahmu cerah hai fulan,bagaimana kondisi rumahmu saat ini?”
si lelaki :”alhamdulillah ya abu,sekarang rasanya rumahku sangat lega karena ayam dan kandangnya sudah tidak ada.kini istriku sudah tidak marah2 lagi,anak2ku juga sudah tidak rewel.”
abunawas : “(sambil tersenyum) nah nah,kau lihat kan,sekarang rumahmu sudah menjadi luas padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas tanah banguanmu.sesungguhnya rumahmu itu cukup luas,hanya hatimu sempit sehingga kau tak melihat betapa luasnya rumahmu.mulai sekarang kau harus lebih banyak bersyukur karena masih banyak orang yang rumahnya lebih sempit darimu.sekarang pulanglah kamu,dan atur rumah tanggamu,dan banyak2lah bersyukur atas apa yang dirizkikan tuhan padamu,dan jangan banyak mengeluh.”
silelaki pun termenung sadar atas segala kekeliruannya,ia terpana akan kecendikiaan sang tokoh dan mengucap terima kasih pada abunawas…
================================================================================================================================================

Hikayat Panglima Burung justru menjadi sangat mencuat tatkala terjadi kerusuhan etnis tahun 2001 di Kalimantan Tengah. Saat itu Panglima Burung sebagai tokok gaib Dayak benar-benar dijadikan sandaran dalam menghadapi serangan etnis tertentu dari seberang. Apa boleh buat, sesuatu yang telah dilupakan menjadi bangun ke alam nyata. Lalu siapa Panglima Burung dan bagaimana latar belakang ketokohannya? Inilah sebagian kecil jawabannya, jawaban dari versi Suku Dayak yang mendiami DAS Barito.
Kerusukan etnis yang mulai pecah sejak 18 Pebruari 2001 di Sampit memaksa Panglima Burung hadir dan membantu warga suku Dayak berperang dan mengusir warga etnis Madura. Sebagai Panglima besar, tentu saja Panglima Burung tidak turun sendiri tetapi membawa sejumlah pengawal alias Pasukan Khusus. Kata Abdul Hadi Bondo Arsyad, seorang Temanggung Dayak dari Tumbang Senamang, Katingan Hulu, “Panglima Burung muncul dengan membawa 87 orang pasukan khususnya”. Kata Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali, Ketua Pondok Pesantren Ushuluddin, Martapura, “Panglima Burung (adalah) seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Selain itu ia juga bergelar hajjah”
Disamping Panglima Burung sebagai panglima tertinggi Dayak, rusuh Sampit juga menurunkan beberapa tokoh legenda alam gaib lainnya seperti Panglima Palai, Panglima Api, Panglima Angsa, Panglima Hujan Panas, Panglima Angin dan beberapa panglima sakti lainnya. Yang pasti dari beberapa panglima itu terdapat dua panglima wanita cantik yakni Panglima Burung dan Panglima Api.
Dan kembali kepada keberadaan Panglima Burung yang legendaris, kata Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali (56), “Keberadaannya memang nyata, berwujud seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Panglima Burung sudah ada jauh sebelum Indonesia terbentuk”. Namun begitu, yang mengejut­kan dari penuturan Kiyai Juhran ini adalah karena sosok Panglima Perang Suku Dayak ini juga beragama Islam dan menyandang titel seorang hajjah.
WA Samat dan Adonis Samat bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut keberaniannya luar biasa sekali. Salah satunya adalah saat berperang mendampingi Gusti (Ratu) Zaleha dalam Perang Barito. “Amuk Barito itu terjadi pada tahun 1900-1901, dimana suku-suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Kinyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam atau pun Kaharingan bersatu bahu membahu menghadapi serangan Belanda. Nama-nama pahlawan Banjar seperti Pangeran Antasari Gusti Muhammad Seman dan Gusti Ratu Zaleha selalu bersanding bahu membahu dengan (para pahlawan Dayak seperti) Temanggung Surapati, Antung, Kuing, Temanggung Mangkusari dan lain-lain yang merupakan kesatuan kekuatan dalam perjuangan”.
Dalam rentang perjuangannya melawan kolonialisme Belanda, Panglima Burung yang sangat cantik ini memiliki beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. “Ada yang menyebutnya “Ilum” atau “Itak” namun nama populernya adalah “Bulan Jihad”. Kabarnya, Bulan Jihad memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha kawan seperjuangannya.
Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah puteri Gusti Muhammad Seman, putera Pangeran Antasari yang memimpin Perang Banjar hingga memasuki kawasan Barito Utara dan (Barito) Selatan dengan semboyannya (yang terkenal): “Haram Manyarah, Waja Sampai ka Puting”.
Tjilik Riwut membenarkan keberadaan srikandi Dayak itu tetapi menurut beliau Bulan Jihad (bukan asli Dayak Kalteng tetapi) berasal dari Suku Dayak Kinyah (Kaltim). Yang pasti, “nama Bulan Jihad sangat terkenal diantero Barito Hulu dan Barito Selatan”, imbuh Tjilik Riwut. “Dia pendekar sakti mandraguna, punya ilmu kebal tahan senjata, bisa menghilang dan (mampu) melibas lawan hanya dengan selendang saja. Dia selalu berjuang berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang puteri Banjar”. Dengan demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat dan Adonis Samat (1948) sejalan dengan ceritera Pak Tjilik Riwut (1950).
Tatkala tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal dunia pada tahun 1905, lalu awal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan turun gunung, lantas apa keputusan Bulan Jihad dan sisa prajurit lainnya? Ternyata Bulan Jihad tetap bertekad meneruskan perjuangan dan terus mengembara. Maka terjadilah perpisahan yang sangat memilukan. Dengan berat hati keluarlah Gusti Zaleha dari hutan menuju Muara Teweh dan selanjutnya dia dibawa ke Banjarmasin bersama ibunya Nyai Salmah.
Sejak perpisahan itu, tidak banyak orang yang tahu dimana keberadaan Bulan Jihad dan kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11 Januari 1954, Bulan Jihad datang melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan setempat di Muara Joloi sehingga saat itulah dia baru mengetahui kalau Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun semakin luluh begitu mengetahui sahabat karibnya Ratu Zaleha telah lama meninggal dunia (24 September 1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat pemunculannya dan hari itu pula dia kembali mengembara ke hutan rimba untuk selama-lamanya. Inilah sekilas kisah muslimah Bulan Jihad yang setia berperang mendampingi perjuangan Gusti Puteri Zaleha (1903-1906), bahkan dia terus berjuang melewati masa juang pahlawan anti kolonialis lainnya di tanah Dayak ini.
Dari bukti sejarah yang ditunjukkan pendahulu kita menyatakan fakta bahwa kebulatan tekad persatuan, tekad perjuangan melawan penjajahan tertuang jelas di dalam Perang Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari, Demang Leman, Gusti Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan Jihad, Panglima Batur, Temanggung Mangkusari, Panglima Wangkang dan lainnya, adalah gambaran bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan, Kenyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan. Kata Kiyai Juhran Erpan Ali, “(Sejak) masa itu telah ada kesepakatan tekad bahwa suku Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah berperang sesamanya sampai kapan pun juga”.
================================================================================================================================================

Sejak peristiwa penghancuran barang-barang di istana oleh Abu Nawas yang dilegalisir oleh Baginda, sejak saat itu pula Baginda ingin menangkap Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara.
Sudah menjadi hukum bagi siapa saja yang tidak sanggup melaksanakan titah Baginda, maka tak disangsikan lagi ia akan mendapat hukuman. Baginda tahu Abu Nawas amat takut kepada beruang. Suatu hari Baginda memerintahkan prajuritnya menjemput Abu Nawas agar bergabung dengan rombongan Baginda Raja Harun Al Rasyid berburu beruang. Abu Nawas merasa takut dan gemetar tetapi ia tidak berani menolak perintah Baginda.
Dalam perjalanan menuju ke hutan, tiba-tiba cuaca yang cerah berubah menjadi mendung. Baginda memanggil Abu Nawas. Dengan penuh rasa hormat Abu Nawas mendekati Baginda.
“Tahukah mengapa engkau aku panggil?” tanya Bagla tanpa sedikit pun senyum di wajahnya.
“Ampun Tuanku, hamba belum tahu.” kata Abu Nawas
“Kau pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan Hutan masih jauh dari sini. Kau kuberi kuda yang lambat Sedangkan aku dan pengawal-pengawalku akan menunggang kuda yang cepat. Nanti pada waktu santap siang kita berkumpul di tempat peristirahatanku. Bila hujan turun kita harus menghindarinya dengan cara kita masing masing agar pakaian kita tetap kering. Sekarang kita berpencar.” Baginda menjelaskan.
Kemudian Baginda dan rombongan mulai bergerak.Abu Nawas kini tahu Baginda akan menjebaknya, la harus mancari akal. Dan ketika Abu Nawas sedang berpikir, tiba
tiba hujan turun
Baginda dan rombongan secepat memacu kuda untuk mencapai tempat perlindungan yang terdekat. Tetapi karena derasnya hujan, Baginda dan para pengawalnya basah kuyup. Ketika santap siang tiba Baginda segera menuju tempat peristirahatan. Belum sempat baju Baginda dan para pengawalnya kering,Abu Nawas datang dengan menunggang kuda yang lambat Baginda dan para pengawal terperangah karena baju Abu Nawas tidak basah. Padahal dengan kuda yang paling cepat pun tidak bisa mencapai tempat berlindung yang paling dekat.
Pada hari kedua Abu Nawas diberi kuda yang cepat yang kemarin ditunggangi Baginda Raja. Kini Baginda dan para pengawal-pengawalnya mengendarai kuda-kuda yang lamban. Setelah Abu Nawas dan rombongan kerajaan berpencar, hujan pun turun seperti kemarin. Malah hari ini lebih deras daripada kemarin. Baginda dan pengawalnya langsung basah kuyup karena kuda yang ditunggangi tidak bisa berlari dengan kencang
Ketika saat bersantap siang tiba, Abu Nawas tiba tempat peristirahatan lebih dahulu dari Baginda dan pengawalnya. Abu Nawas menunggu Baginda Raja. Selang beberapa saat Baginda dan para pengawalnya tiba dengan pakaian yang basah kuyup. Melihat Abu Nawas dengan pakaian yang tetap kering Baginda jadi penasaran. Beliau tidak sanggup lagi menahan keingintahuan yang selama ini disembunyikan.
“Terus terang begaimana caranya menghindari hujan , wahai Abu Nawas.” tanya Baginda.
“Mudah Tuanku yang mulia.” kata Abu Nawas sambil tersenyum.
“Sedangkan’ aku dengan kuda yang cepat tidak sanggup mencapai tempat berteduh terdekat, apalagi dengan kudamu yang lamban ini.” kata Baginda.
“Hamba sebenarnya tidak melarikan diri dari hujan.Tetapi begitu hujan turun hamba secepat mungkin melepas pakaian hamba dan segera melipatnya, lalu mendudukinya. Ini hamba lakukan sampai hujan berhenti.” Diam-diam Baginda Raja mengakui kecerdikan Abu Nawas.
================================================================================================================================================

Karena dianggap hampir membunuh Baginda maka Abu Nawas mendapat celaka. Dengan kekuasaan yang absolut Baginda memerintahkan prajurit-prajuritnya langsung menangkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara. Waktu itu Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim tanam kentang akan tiba. Ketika para prajurit kerajaan tiba, ia sedang mencangkul.
Dan tanpa alasan yang jelas mereka langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah Baginda. Abu Nawas tidak berkutik. Kini ia mendekam di dalam penjara. Beberapa hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam. Sedangkan istrinya tidak cukup kuat untuk melakukan pencangkulan. Abu Nawas tahu bahwa tetangga-tetangganya tidak akan bersedia membantu istrinya sebab mereka juga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Tidak ada yang bisa dilakukan di dalam penjara kecuali mencari jalan keluar. Seperti biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. Ia hanya makan sedikit. Sudah dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung. Hari ketiga Abu Nawas memanggil seorang pengawal. “Bisakah aku minta tolong kepadamu?” kata Abu Nawas membuka pembicaraan.
“Apa itu?” kata pengawal itu tanpa gairah.
“Aku ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk istriku. Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh diketahui oleh istriku saja.”
Pengawal itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas. Ternyata pengawal itu menghadap Baginda Raja untuk melapor. Mendengar laporan dari pengawal, Baginda segera menyediakan apa yang diminta Abu Nawas. Dalam hati, Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa mengalahkan Abu Nawas. Abu Nawas menulis surat yang berbunyi:
“Wahai istriku, janganlah engkau sekali-kali menggali ladang kita karena aku menyembunyikan harta karun dan senjata di situ. Dan tolong jangan bercerita kepada siapa pun.”
Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa sebenamya rahasia Abu Nawas. Setelah membaca surat itu Baginda merasa puas dan langsung memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas. Dengan peralatan yang dibutuhkan mereka berangkat dan langsung menggali ladang Abu Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran. Mungkinkah suaminya minta tolong pada mereka? Pertanyaan itu tidak terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit. Mereka hanya menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya.
Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu berbunyi: “Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena beberapa pekerja istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka menggali seluruh ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?”
Rupanya istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan bijaksana Abu Nawas membalas: “Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang tanpa harus menggali, wahai istriku.” Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi. Baginda makin mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih bisa melakukan pencangkulan.
================================================================================================================================================

Kadangkala untuk menunjukkan sesuatu kepada sang Raja, Abu Nawas tidak bisa hanya sekedar melaporkannya secara lisan. Raja harus mengetahuinya dengan mata kepala sendiri, bahwa masih banyak di antara rakyatnya yang hidup sengsara. Ada saja praktek jual beli budak.
Dengan tekad yang amat bulat Abu Nawas merencanakan menjual Baginda Raja. Karena menurut Abu Nawas hanya Baginda Raja yang paling patut untuk dijual. Bukankah selama ini Baginda Raja selalu mempermainkan dirinya dan menyengsarakan pikirannya? Maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang giliran
Abu Nawas mengerjai Baginda Raja.
Abu Nawas menghadap dan berkata kepada Baginda Raja Harun Al Rasyid.
“Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada Paduka yang mulia.”
“Apa itu wahai Abu Nawas?” tanya Baginda langsung tertarik.
“Sesuatu yang hamba yakin belum pernah terlintas di dalam benak Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas meyakinkan.
“Kalau begitu cepatlah ajak aku ke sana untuk menyaksikannya.” kata Baginda Raja tanpa rasa curiga sedikit pun.
“Tetapi Baginda … ” kata Abu Nawas sengaja tidak melanjutkan kalimatnya.
“Tetapi apa?” tanya Baginda tidak sabar.
“Bila Baginda tidak menyamar sebagai rakyat biasa maka pasti nanti orang-orang akan banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu.” kata Abu Nawas.
Karena begitu besar keingintahuan Baginda Raja, maka beliau bersedia menyamar sebagai rakyat biasa seperti yang diusulkan Abu Nawas.
Kemudian Abu Nawas dan Baginda Raja Harun Al Rasyid berangkat menuju ke sebuah hutan.
Setibanya di hutan Abu Nawas mengajak Baginda Raja mendekati sebuah pohon yang rindang dan memohon Baginda Raja menunggu di situ. Sementara itu Abu Nawas menemui seorang badui yang pekerjaannya menjuai budak. Abu Nawas mengajak pedagang budak itu untuk melihat calon budak yang akan dijual kepadanya dari jarak yang agak jauh. Abu Nawas beralasan bahwa sebenarnya calon budak itu adalah teman dekatnya. Dari itu Abu Nawas tidak tega menjualnya di depan mata. Setelah pedagang budak itu memperhatikan dari kejauhan ia merasa cocok. Abu Nawas pun membuatkan surat kuasa yang
menyatakan bahwa pedagang budak sekarang mempunyai hak penuh atas diri orang yang sedang duduk di bawah pohon rindang itu. Abu Nawas pergi begitu menerima beberapa keping uang emas dari pedagang budak itu.
Baginda Raja masih menunggu Abu Nawas di situ ketika pedagang budak menghampirinya. la belum tahu mengapa Abu Nawas belum juga menampakkan batang hidungnya. Baginda juga merasa heran mengapa ada orang lain di situ.
“Siapa engkau?” tanya Baginda Raja kepada pedagang budak.
“Aku adalah tuanmu sekarang.” kata pedagang budak itu agak kasar.
Tentu saja pedagang budak itu tidak mengenali Baginda Raja Harun Al Rasyid dalam pakaian yang amat sederhana.
“Apa maksud perkataanmu tadi?” tanya Baginda Raja dengan wajah merah padam.
“Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya.” kata pedagang budak dengan kasar.
“Abu Nawas menjual diriku kepadamu?” kata Baginda makin murka.
“Ya!” bentak pedagang budak.
“Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?” tanya Baginda geram.
“Tidak dan itu tidak perlu.” kata pedagang budak seenaknya. Lalu ia menyeret budak barunya ke belakang rumah. Sultan Harun Al Rasyid diberi parang dan diperintahkan untuk membelah kayu.
Begitu banyak tumpukan kayu di belakang rumah badui itu sehingga memandangnya saja Sultan Harun Al Rasyid sudah merasa ngeri, apalagi harus mengerjakannya.
“Ayo kerjakan!”
Sultan Harun Al Rasyid mencoba memegang kayu dan mencoba membelahnya, namun si badui melihat cara Sultan Harun Al Rasyid memegang parang merasa aneh.
“Kau ini bagaimana, bagian parang yang tumpul kau arahkan ke kayu, sungguh bodoh sekali !”
Sultan Harun Al Rasyid mencoba membalik parang hingga bagian yang tajam terarah ke kayu. la mencoba membelah namun tetap saja pekerjaannya terasa aneh dan kaku bagi si badui.
“Oh, beginikah derita orang-orang miskin mencari sesuap nasi, harus bekerja keras lebih dahulu. Wah lama-lama aku tak tahan juga.” gumam Sultan Harun Al Rasyid.
Si badui menatap Sultan Harun Al Rasyid dengan pandangan heran dan lama-lama menjadi marah. la merasa rugi barusan membeli budak yang bodoh.
“Hai badui! Cukup semua ini aku tak tahan.”
“Kurang ajar kau budakku harus patuh kepadaku!” kata badui itu sembari memukul baginda. Tentu saja raja yang tak pernah disentuh orang, ia menjerit keras saat dipukul kayu.
“Hai badui! Aku adalah rajamu, Sultan Harun Al Rasyid.” kata Baginda sambil menunjukkan tanda kerajaannya.
Pedagang budak itu kaget dan mulai mengenal Baginda Raja.
la pun langsung menjatuhkan diri sembari menyembah Baginda Raja. Baginda Raja mengampuni pedagang budak itu karena ia memang tidak tahu. Tetapi kepada Abu Nawas Baginda Raja amat murka dan gemas. Ingin rasanya beliau meremas-remas tubuh Abu Nawas seperti telur.
================================================================================================================================================

Nyamannya suasana rimba di pagi hari. Mergastua bergembira menikmati keindahan alam semula jadi. Di alam inilah tinggalnya sang kancil yang bijaksana dengan sahabat karibnya kura-kura. Mereka hidup rukun damai, bebas bergembira, tolong-menolong dan bekerjasama di taman peliharaan mereka.
Kelihatan seekor monyet berdekatan kawasan taman peliharaan sang kancil dan kura-kura. Sungguh lincah si monyet, bergayutan ke sana ke mari. Megah dengan kebolehannya. Awas, monyet! jangan ganggu ketenteraman penghuni yang lain.
Tiba-tiba monyet berhenti bergayut dan memerhatikan sesuatu, apa pula yang dilihatnya? “Ranumnya buah-buahan di sini. siapa punya agaknya?” kata monyet. “Oh, rupanya sang kancil dan kura-kura.” Balas monyet sendiri selepas melihat sang kancil dan kura-kura yang ada di situ. Begitu rajin mereka bekerja. bukan seperti engkau monyet.
Lantas itu, monyet bergerak ke arah sang kancil dan kura-kura sambil memegang perutnya. eh, ini mesti ada apa-apakan monyet? “Tolong, tolong! dah empat hari aku tak makan. Tolonglah, berikan aku sedikit makanan. kasihanlah aku.” Monyet berpura-pura sakit di depan dua sahabat baik itu. Sang kancil dan kura-kura saling berpandangan, lalu sang kancil berkata, “kesiannya, empat hari tak makan. Baiklah monyet. Ambil sajalah apa yang engkau nak dari taman kami. Makanlah sepuas hati engkau monyet.” Sang kancil yang begitu prihatin dengan kesakitan yang dihadapi monyet menghulurkan bantuan. “Terima kasih kancil, terima kasih kura-kura.” Ujar monyet setelah berjaya memperdaya sang kancil dan kura-kura.
“Aku nak itu, aku nak itu!” pinta monyet dalam nada mendesak, sambil jarinya menuding ke arah pokok cili yang nampak menarik itu. “Eh, tak boleh monyet. kita tak boleh makan buah tu.” larang sang kancil sambil dibantu kura-kura di sebelahnya. “Aku tak peduli, aku tak peduli, aku nak juga.” Monyet yang tamak dan degil itu masih berkeras mahu mengambil cili itu untuk dimakannya. “Jangan monyet, jangan!” belum pun sempat kancil menghabiskan ayatnya, monyet telah mengambil cili itu lalu memakannya beberapa batang sekali gus. Apa lagi, terasa berapi dan merah muka monyet akibat kepedasan yang melampau. “Ha, rasakan engkau monyet. Beginilah jadinya mereka yang tidak menerima nasihat orang.” Ujar kura-kura yang geram melihat kedegilan monyet.
Selang beberapa hari kemudian, sang kancil dan kura-kura bersiar-siar di taman peliharaan mereka. “Apa khabar pula dengan si monyet?” bicara sang kancil kepada kura-kura. “Kasihan, ingat-ingat monyet. jangan diulang lagi.” Kata kura-kura yang terlihatkan monyet yang masih berada di situ.
Pengajaran:
1. Jangan tamak
2. Mendengar nasihat orang lain
3. Jangan berdendam
================================================================================================================================================

Pada suatu hari, Sri Rama dan Laksamana pergi mencari Sita Dewi. Mereka berjalan menelusuri hutan rimba belantara namun tak juga mendapat kabar keberadaan Sita Dewi.
Saat Sri Rama dan Laksamana berjalan di dalam hutan, mereka bertemu dengan seekor burung jantan dan empat ekor burung betina. Lalu Sri Rama bertanya pada burung jantan tentang keberadaan Sita Dewi yang diculik orang. Burung jantan mengatakan bahwa Sri Rama tak bisa menjaga istrinya dengan baik, tak seperti dia yang memiliki empat istri namun bisa menjaganya. Tersinggunglah Sri Rama mendengar perkataan burung itu. Kemudian, Sri Rama memohon pada Dewata Mulia Raya agar memgutuk burung itu menjadi buta hingga tak dapat melihat istri-istrinya lagi. Seketika burung itu buta atas takdir Dewata Mulia Raya.
Malam tlah berganti siang. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seekor bangau yang sedang minum di tepi danau. Bertanyalah Sri Rama pada bangau itu. Bangau mengatakan bahwa ia melihat bayang-bayang seorang wanita dibawa oleh Maharaja Rawana. Sri Rama merasa senang karena mendapat petunjuk dari cerita bangau itu. Sebagai balas budi, Sri Rama memohon pada Dewata Mulia Raya untuk membuat leher bangau menjadi lebih panjang sesuai dengan keinginan bangau. Namun, Sri Rama khawatir jika leher bangau terlalu panjang maka dapat dijerat orang.
Setelah Sri Rama memohon doa, ia kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian datanglah seorang anak yang hendak mengail. Tetapi, anak itu melihat bangau yang sedang minum kemudian menjerat lehernya untuk dijual ke pasar. Sri Rama dan Laksamana bertemu dengan anak itu dan membebaskan bangau dengan memberi anak itu sebuah cincin.
Ketika dalam perjalanan, Sri Rama merasa haus dan menyuruh Laksamana untuk mencarikannya air. Sri Rama menyuruh Laksamana untuk mengikuti jatunya anak panah agar dapat menemukan sumber air. Setelah berhasil mendapatkan air itu, Laksamana membawanya pada Sri Rama. Saat Sri Rama meminum air itu, ternyata air itu busuk. Sri Rama meminta Laksamana untuk mengantarnya ke tempat sumber air dimana Laksamana memperolehnya. Sesampai di tempat itu, dilihatnya air itu berlinang-linang. Sri Rama mengatakan bahwa dulu pernah ada binatang besar yang mati di hulu sungai itu. Kemudian, Sri Rama dan Laksamana memutuskan untuk mengikuti jalan ke hulu sungai itu.
Mereka bertemu dengan seekor burung besar bernama Jentayu yang tertambat sayapnya dan yang sebelah rebah. Sri Rama bertanya padanya mengapa sampai Jentayu seperti itu. Jentayu menceritakan semuanya pada Sri Rama tentang pertarungannya melawan Maharaja Rawana. Setelah Jentayu selesai bercerita, ia lalu memberikan cincin yang dilontarkan Sita Dewi saat Jentayu gugur ke bumi saat berperang dengan Maharaja Rawana. Kemudian, cincin itu diambil oleh Sri Rama. Bahagialah Sri Rama melihat cincin itu memang benar cincin istrinya, Sita Dewi.
Jentayu berpesan pada Sri Rama jika akan pergi menyeberang ke negeri Langka Puri, Sri Rama tidak boleh singgah ke tepi laut karena di sana terdapat gunung bernama Gendara Wanam. Di dalam bukit tersebut ada saudara Jentayu yang bernama Dasampani sedang bertapa. Jentayu tak ingin saudaranya itu mengetahui bahwa dirinya akan segera mati. Setelah Jentayu selesai berpesan, ia pun mati.
Sri Rama menyuruh Laksamana  mencari tempat yang tidak terdapat manusia dengan memberinya sebuah tongkat. Tetapi, Laksamana tidak berhasil menemukan tempat itu. Lalu ia kembali pada Sri Rama. Laksamana mengatakan pada Sri Rama bahwa ia tidak dapat menemukan tempat sesuai perintah Sri Rama. Kemudian, Sri Rama menyuruh Laksamana untuk menghimpun semua kayu api dan meletakkannya di tanagn Sri Rama. Lalu diletakkannya bangkai Jentayu di atas kayu api itu dan di bakar oleh Laksamana. Beberapa lama kemudian, api itu padam. Laksamana heran melihat kesaktian Sri Rama yang tangannya tidak terluka bakar sedikitpun. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat itu.
Unsur-unsur intrinsik Hikayat Sri Rama:
Tema: Kesetiaan dan pengorbanan
bukti: Para patik Sri Rama berani berkorban nyawa demi membantu Sri Rama yang sedang kesulitan mencari Sita Dewi. Mereka bakti akan perintah Sri Rama dengan menunujukkan kesetiaan mereka pada Sri Rama.
Alur: Maju
bukti: Sri Rama mencari Sita Dewi yang dibawa lari oleh Maharaja Rawana. Dia berhasil menemukan petunjuk tentang keberadaan Sita Dewi saat bertemu dengan Jentayu. Namun, Jentayu mati setelah menceritakan tentang pertarungannya melawan Maharaja rawana. Mayat Jentayu dibakar di atas tangan Sri Rama.
Penokohan: diceritakan secara dramatik (tidak langsung)
Tokoh:
Tokoh utama: Sri Rama
Tokoh tambahan: Laksamana, Sita Dewi, Maharaja Rawana, Jentayu, Dasampani, burung jantan, dan bangau.
Setting/latar cerita
Latar waktu: siang hari
bukti: pada paragraf enam kalimat pertama pada hikayat
Latar tempat: di hutan rimba belantara
bukti: pada paragraf pertama kalimat kedua
Latar suasana: bahagia, mengaharukan
bukti: Sri Rama terharu melihat kesetiaan Jentayu atas pengabdiannya menolong Sita Dewi.
Sudut pandang: menggunakan orang ketiga sebagai pelaku utama
Amanat: hargailah pengorbanan seseorang yang telah rela mati demi menbantu kita


7 comments:

  1. Wah terimakasih banyak.
    kunjungannya source: http://www.infokekinian.com

    ReplyDelete


  2. Salam kenal..


    Bagi Anda yang berminat untuk berobat atau mengikuti pelatihan teknik hipnoterapi Islam, silahkan kunjungi website PELATIHAN HIPNOTERAPI ISLAMI BANDUNG untuk mendapat pengetahuan lebih tentang Hipnotherapi dan ilmu kejiwaan lainnya.

    ReplyDelete
  3. http://nalurerenewws.blogspot.com/2018/07/taipanqq-pernikahan-membuat-kesehatan.html

    Taipanbiru
    TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
    BandarQ
    AduQ
    Capsasusun
    Domino99
    Poker
    BandarPoker
    Sakong
    Bandar66

    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : E314EED5

    Daftar taipanqq

    Taipanqq

    taipanqq.com

    Agen BandarQ

    Kartu Online

    Taipan1945

    Judi Online

    AgenSakong

    ReplyDelete
  4. Bacot lu emang kamu penting anjin****

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete